Budiarsa Sastrawinata, President Director PT Ciputra Residence, Managing Director Ciputra Group
“Setiap proses adalah pembelajaran. Saya belajar mulai dari Bintaro Jaya kemudian CitraGarden City, bagaimana kita memulai sesuatu yang betul-betul mulai dari nol. Mulai dari cari tanah, beli tanah, ngurusin izin, sampai proyek jalan. Dengan pengalaman itu saya merasa sesuatu yang besar sekali. Tapi saya selalu berkomunikasi dengan Pak Ci dan beliau juga selalu membantu saya, termasuk juga tim yang sangat men-support kami. “
Raut wajahnya tak memancarkan gurat-gurat kelelahan, meski usianya menginjak 61 tahun. Dia adalah pelobi ulung, pekerja ulet yang mau belajar, dan selalu penuh dengan ide. Senyumnya selalu merekah menebar cinta dan kasih pada setiap mereka yang dijumpainya. Bahkan dia dan Ciputra Group kini seperti satu tarikan nafas.
Adalah Budiarsa Sastrawinata, penebar inspirasi yang kini menggawangi PT Ciputra Residence – salah satu anak perusahaan Grup Ciputra, pengembang properti yang fokus pada pengembangan skala kota serta mixed-use development. Budiarsa juga dipercayai memimpin sub-holding 1 Grup Ciputra yang menangani diantaranya CitraGarden City di Jakarta Barat, CitraRaya Tangerang, CitraGrand City di Palembang, CitraRaya City Jambi, dan proyek kota baru di Hanoi (Vietnam), Phnom Penh (Kamboja), dan Shenyang (China), dengan total development area di Indonesia dan luar negeri seluas 6.200 ha. Semua ini digapai bukan karena ‘kedekatan’ tapi oleh karena usaha dan kerja kerasnya.
Budiarsa lahir di Jakarta, 10 Agustus 1955 sebagai anak ke empat dari lima bersaudara. Ketertarikannya pada dunia seni dan desain bangunan seyogyanya sudah tertanam sejak ia masih kecil. Budiarsa kecil sering terpana dan membayangkan keunikan bangunan-bangunan tua di Jakarta. Dia pun mulai mewujudkan cita-citanya itu dengan menempuh pendidikan formal, sedari TK hingga SMA di Regina Pacis Jakarta. Di sinilah awal mula Budiarsa bertemu dengan Rina Ciputra, anak pertama dari Ir. Ciputra (founder Ciputra Group), yang kini adalah istrinya.
Meski kedua orang tuanya hanya lulusan SMA namun support penuh mereka berikan kepada Budiarsa untuk terus mengejar cita-citanya. Budiarsa pun melanjutkan pendidikannya di Fakultas Teknik Sipil, Universitas Plymouth (Plymouth Polytechnic), London, Inggris (1976-1981), setelah sebelumnya dia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Trisakti selama setahun. “Orang tua saya selalu mengingatkan kami akan pentingnya sekolah (belajar – red), padahal mereka cuma sampai SMA. Dan mereka juga bilang, jangan kita lakukan kepada orang lain, apa yang kita tidak mau mereka lakukan terhadap kita. Itu yang selalu saya ingat,” kisah Budiarsa dalam percakapan dengan Majalah Property and The City di kantornya, Kamis (11/2/2016).
Tahun 1981 Budiarsa kembali ke Indonesia dan mulai menggeluti dunia properti. Di tahun itu juga Ciputra mendirikan perusahaan Citra Habitat Indonesia (cikal bakal Ciputra Development), bersamaan dengan kembalinya Rina Ciputra dari belajar di luar negeri, dan sewaktu adik-adiknya masih sekolah di luar negeri. Perusahaan keluarga Ciputra tersebut didirikan dan menggarap proyek pertama CitraGarden City di Kalideres, Jakarta Barat yang langsung ditangani oleh Rina Ciputra sebagai Presiden Direktur.
“Setelah perusahaan dibentuk, saya dengan Pak Ci (sebutan untuk Ir. Ciputra -red), Rina, dan beberapa yang lain langsung mencari lokasi, jalan kaki di tengah persawahan kering, dekat dengan airport. Pak Ci melihat lokasi ini menjadi potensi yang bagus untuk dikembangkan. Di sinilah saya tahu bahwa Pak Ci memang sangat ahli dan visioner, bisa membaca jauh ke depan. Boleh dibilang, visi kita yang baru lulus ini belum sampai jauh ke sana, tapi Pak Ci sudah. Bahkan kita sampai pikir, buat apa cari lokasi sampai ke daerah terpencil ini,” terang Budiarsa.
Budiarsa memang tidak terlibat penuh di proyek perdana keluarga Ciputra ini. Tahun 1983 dia ditempatkan dan menangani cikal bakalnya Bumi Serpong Damai (BSD). Budiarsa sendiri menjadi satu-satunya anggota keluarga (menantu) Ciputra yang ditempatkan dan bekerja sebagai karyawan PT Pembangunan Jaya (PJ) di Bumi Serpong Damai (BSD) – salah satu anak perusahaan PT PJ (holding company Grup Jaya).
“Di BSD inilah saya betul-betul mulai dari nol. Mulai dari pembentukan perusahaan joint venture sampai memulai pengembangan proyeknya,” kata Budiarsa.
Berikut ini wawancara khusus Pius Klobor, Jurnalis Property and The City, dengan Budiarsa Sastrawinata, Managing Director Ciputra Group.
Apakah CitraGarden City adalah pengalaman pertama Anda di dunia properti?
Pengalaman pertama di Jaya Group dan CitraGarden City. Awalnya memang saya terlibat bersama Pak Ci. Kami mulai dari mencari lokasi sampai pembebasan tanah. Saya ingat pada mulanya CitraGarden City didirikan dengan tagline “Airline Village”. Mulai dipasarkan tahun 1984 dan dikembangkan hingga sekarang sudah jadi Citra 8, Aeroworld. Jadi memang saya tahu persis bagaimana pengembangan CitraGarden City ini. Hanya secara formal memang status saya tidak full time karena saya di BSD, Rina yang full time.
Lalu bagaimana Anda bisa bergabung ke BSD?
Tahun 1983, kebetulan saat itu saya sedang cari-cari tanah untuk pengembangan kawasan baru dan ketemulah dengan tanah yang sudah dimiliki oleh Grup Sinar Mas. Saat itu memang mereka belum ada divisi real estate, sehingga mereka ingin ketemu Pak Ci untuk sama-sama mengembangkan kawasan ini. Jadi memang cocok. Dan akhirnya bergabunglah Grup Sinar Mas, Grup Ciputra melalui Grup Jaya dan Metropolitan, dan Grup Salim. Dan saya lah yang ditempatkan di sana, dari awalnya sekadar sebagai staf. Betul-betul dari nol, bahkan belum ada PT BSD. Januari tahun 1984 baru resminya PT BSD dibentuk.
Awalnya kami berkantor 60 m2 di Gedung Jaya dengan hanya empat karyawan: kasir, akuntan, office boy, dan saya. Kami melakukan berbagai persiapan, mulai dari bereskan jual beli tanah, buat perencanaan, dan lainnya. Tahun 1986 saya diangkat menjadi general manager. Sekitar lima tahun persiapan, baru 16 Januari 1989 kami launching. Saya pilih tanggal yang sama dengan pembentukan PT yaitu 16 Januari 1984.
Waktu itu heboh sekali, proyek berskala besar yang saat peluncurannya dihadiri langsung oleh lima menteri dan satu gubernur.
Jadi setelah ini berhasil, baru saya diangkat menjadi direktur, tahun 1989. Dan tahun 1994 saya diangkat menjadi presiden direktur. Tapi sebetulnya, tahun 1994 ini juga Ciputra Group mau launching CitraRaya dimana saya juga presdir-nya.
Saya ingat waktu mau launching Oktober, bulan April saya diskusi dengan Pak Ci, apakah sebaiknya saya mundur dari BSD, karena presdir di dua perusahaan, yang satu joint venture dan satu lagi perusahaan keluarga. Akhirnya saya mengajukan surat pengunduran diri ke BSD. Tapi ternyata setelah sehari kemudian saya dikasih tahu kalau pengunduran diri saya ditolak. Mereka tidak keberatan karena mereka percaya saya tetap bisa menjalankan dan me-manage secara adil. Meski begitu, saya tetap jalankan secara profesional.
Pada waktu krisis, tahun 1997-1998 hampir semua perusahaan terkena dampak. Nah sejak saat itulah kita kehilangan saham di BSD. Tapi meskipun saham Pak Ci sudah tidak ada lagi, saya masih tetap dipertahankan di sana. Tahun 2003 baru saya berhenti sebagai presdir-nya, tapi masih diminta duduk sebagai komisaris. Baru tahun 2004 saya benar-benar selesai di BSD.
Tetapi di Damai Indah Golf saya masih sebagai direktur karena PT tersebut dipisah dari BSD dan sekarang saya sebagai Presiden Direktur-nya. Perusahaan ini hanya memiliki lahan lapangan golf di BSD dan di Kapuk. Jadi sejak saat itu baru saya full di Ciputra Group.
Apa yang Anda lakukan ketika diserahi tanggung jawab menangani proyek sebesar BSD, padahal pengalaman Anda masih sangat minim?
Setiap proses adalah pembelajaran. Saya belajar mulai dari Bintaro Jaya dan kemudian CitraGarden City, bagaimana kita memulai sesuatu yang betul-betul mulai dari nol. Mulai dari cari tanah, beli tanah, ngurusin izin, sampai proyek jalan. Dengan pengalaman itu saya merasa sesuatu yang besar sekali. Tapi saya selalu berkomunikasi dengan Pak Ci dan beliau juga selalu membantu saya, termasuk juga tim yang sangat men-support kami. Memang semua itu praktis menjadi hal baru yang saya alami. Bagaimana saya sendiri mencari konsultan untuk membuat master plan lahan seluas 6.000 ha sampai harus dari luar negeri karena konsultan lokal saat itu belum berpengalaman. Semua itu adalah bagian dari pembelajaran.
Apakah ini menjadi salah satu tantangan terberat Anda saat awal berkiprah di properti?
Sebenarnya memang banyak, tapi ini salah satu dari pengalaman saya di awal berkiprah di properti. Saya cari sendiri dan undang konsultan dari luar negeri, seperti dari Jepang, Prancis, Inggris, Belanda, dan Kanada. Saya undang mereka untuk melakukan pra studi. Bahkan karena saking besarnya proyek ini, maka ada beberapa konsultan tersebut yang berkoalisi. Seperti ada dua konsultan sama-sama dari Perancis yang kemudian mereka berkolaborasi, begitupun dari Jepang. Jadi saat itu praktis menjadi pertarungan antar negara.
Namun setelah kita seleksi akhirnya tinggal konsultan dari Perancis dan Jepang. Saya syaratkan mereka untuk juga bekerja sama dan mentransfer pengetahuannya ke konsultan lokal yang kami tunjuk. Jepanglah yang bersedia. Sehingga beberapa konsultan kita berangkat ke Jepang untuk belajar di sana. Karena saya bilang, dari hasil pra studi ini, jika suatu waktu saya mau melakukan perubahan, maka saya bisa minta mereka (konsultan lokal – red). Jadi istilahnya saya nggak mau beli makanan barang jadi yang saya nggak tahu bikinnya bagaimana. Selanjutnya karena saya bukan master planner atau arsitek, maka untuk mengawasi pekerjaan mereka, saya harus mencari sendiri lagi para ahli dari luar. Ketemulah saya dengan yang namanya International Executive Service – suatu badan/ahli yang memberikan bantuan kepada kita di bidang apa saja di manajemen.
Akhirnya saya dapat ahli master planner, seorang profesor dari Cincinnati University USA. Selama tiga bulan dia bersama isterinya tinggal di Jakarta. Jadi dia yang bantu saya untuk me-review kerjanya konsultan Jepang ini. Sampai jadilah studi itu. Dari situ baru kita mulai implementasi dan selanjutnya konsultan lokal kita yang jalankan.
Artinya sejak Anda meninggalkan BSD, semua sudah beres dan tinggal dijalankan saja?
Sudah semua, tinggal yang rutin saja, seperti IMB dan lainnya. Tetapi secara perizinan untuk pengembangan dan pembangunan kawasan yang saya sebut sebagai Kota Mandiri ini sudah ada semua. Tapi dalam perjalanannya pasti ada perubahan-perubahan sesuai dengan kondisi saat itu.
Cukup panjang perjalanan ini ya?
Perjalanannya memang sangat panjang. Sejak tahun 1986/1987, master plan kita belum bisa disahkan karena harus menunggu RUTR-P (Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan) dari Serpong yang sebesar 19 ribu hektar. BSD kan 6.000 ha jadi merupakan bagian dan harus menyesuaikan dengan RUTR-P. Dan setelah RUTR-P disahkan, mesti menunggu lagi RUTR-K (Rencana Umum Tata Ruang Kota) Serpong yang seluas 12 ribu hektar. Jadi kami juga merupakan bagian dari itu. Makanya kenapa kami juga baru bisa mulai tahun 1989, karena proses perizinannya harus melewati semua itu, dan kami juga harus menunggu tata ruang.
Kita tidak bisa mendahului semua itu. Jadi kalau cerita soal BSD memang prosesnya begitu panjang dan punya arti tersendiri bagi saya. Dan itu merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk saya. Karena kebetulan saya diberikan kesempatan, bukan karena saya bisa tetapi karena ada kesempatan itu dan saya berusaha sampai bisa jalan. Karena memang yang jauh lebih pintar dari saya pasti banyak, cuma kebetulan saya beruntung dapat kesempatan itu. Jadi saya berterima kasih kepada Pak Ci, Grup Jaya, Grup Metropolitan, Grup Salim, dan Grup Sinar Mas yang telah memberikan kesempatan kepada saya.
Selain di dalam negeri, Anda juga diberi kepercayaan menangani sejumlah proyek Ciputra Group di luar negeri, bagaimana ceritanya?
Pak Ci memang selalu punya visi yang jauh ke depan. Setelah beberapa proyek di Indonesia sudah berjalan dengan baik, sekitar tahun 1990-an, beliau melihat kesempatan untuk mengembangkan properti di luar negeri, khusus di negara-negara berkembang. Kebetulan waktu itu ada kesempatan di Vietnam yang diterima Pak Ci melalui temannya di sana. Sebetulnya waktu itu cuma pengembangan satu hotel. Nama Ciputra disana sudah juga diketahui oleh pejabat dan pemerintah setempat, termasuk gubernurnya.
Dia tahu Pak Ci adalah seorang pengembang besar di Indonesia, makanya dia tawarkan Pak Ci supaya mengembangkan hunian untuk investasi di sana. Karena ada kesempatan itu, maka kami langsung cari lokasi di sana dan dapatlah satu lokasi di Hanoi dengan luasan sekitar 300-an hektar. Pada waktu itu daerah tersebut belum berkembang, sehingga kami mengembangkannya menjadi sebuah kota satelit. Tetapi bagi pemerintah di sana, area ini sudah sangat besar, makanya gubernur pun masih ragu untuk memberikan persetujuan, sehingga harus mendapatkan support dari atasan, seperti menteri, perdana menteri, hingga ke sekjen partai karena di sana cuma ada satu partai. Kami presentasikan ke mereka semua, setelah itu mereka setuju baru kami mulai jalan.
Jadi proses untuk mendapatkan izin memang cukup panjang, bukan karena mereka mempersulit tetapi karena belum pernah ada yang membangun seluas ini sehingga belum ada aturannya. Hingga akhirnya kami mendapatkan izin yang ditandatangani pada 30 Desember 1996, namun penyerahannya baru Februari 1997 melalui sebuah proses upacara khusus yang dihadiri oleh menteri, gubernur, dan para duta besar, karena ini memang proyek besar.
Lantas apa tantangan terbesar saat menangani proyek perdana Ciputra di Hanoi tersebut?
adi kami sudah melakukan segala persiapan untuk mulai membangun, termasuk saya mendatangkan 20 orang lebih untuk belajar di Citra Raya sekaligus menimba pengalaman di sana. Tapi kegiatan ini terhenti saat Indonesia terkena krisis pada Agutus 1997. Karena krisis kami tidak bisa lanjut, maka saya datangi gubernur dan menteri setiap enam bulan untuk memastikan sekaligus meminta tolong supaya izin tersebut jangan dicabut. Saya bilang kami masih berbenah di dalam negeri, dan kami pastikan bahwa proyek tersebut tetap bisa dilanjutkan. Untung mereka komit dan percaya terhadap kami, walaupun mereka pernah mengatakan pada kami bahwa banyak pengembang lain yang tertarik dengan izin lokasi tersebut.
Padahal terus terang saat itu sudah tidak ada karyawan di lokasi proyek. Adapun satu direktur dan supirnya yang terpaksa bekerja dari sebuah kantor yang dipinjamkan oleh partner kami di sana. Jadi kami sudah benar-benar nol, bahkan ada beberapa rekan di sini yang sudah putus asa dan bilang untuk tidak dilanjutkan proyek tersebut. Tapi saya merasa sayang kalau tidak dilanjutkan sebab kami sudah susah mengurus perizinan ini. Masa mau dilepas begitu saja. Memang saat periode susah itu kami tidak inves ke sana, tapi saya datangi terus, komunikasi dan pastikan bahwa kami masih serius untuk garap lahan tersebut. Akhirnya tahun 2001 saya pastikan bahwa kami akan mulai, tapi tentu speed-nya tidak seperti rencana awal kita. Gubernur tidak persoalkan itu, dia bilang mulai jalankan saja. Sehingga 2002 kami mulai land clearing dan 2003 baru mulai jualan. Itu proyek yang hampir hilang tapi jalan lagi. Jadi itu yang namanya dinamika bisnis dan Tuhan masih mengizini dan merestui.
Dari Hanoi, kemudian berpindah ke negara lainnya?
Saat itu saya menjabat sebagai Vice President INTA – asosiasi kota baru internasional. Kami kongres di Paris, saya menjadi moderator dengan salah satu pembicaranya adalah Gubernur Phnom Penh, Kamboja. Dari perkenalan itu akhirnya dia menawarkan Ciputra bangun di Phnom Penh. Akhirnya jadi juga di Phnom Penh. Memang waktu itu kami juga sedang mencari-cari lokasi baru setelah Hanoi. Intinya kami mencari kesempatan, kalau di luar negeri itu di tempat-tempat yang masih punya nilai. Kalau kita pergi ke Singapura, Hong Kong, London, Tokyo, Los Angeles, New York, ilmu kita kalah sama mereka. Tapi kalau kita ke Hanoi, Phnom Penh, maka kita punya value terhadap mereka. Tapi sebetulnya sebelum ke Phnom Penh, saya juga sudah cari-cari yang potensial, yang ekonominya sedang tumbuh dan kotanya pun sudah siap, dari segi ekonomi maupun dari segi populasi.
{source}
<!– You can place html anywhere within the source tags –>
<div id=”myCarousel” class=”carousel slide” data-ride=”carousel”>
<!– Indicators –>
<ol class=”carousel-indicators”>
<li data-target=”#myCarousel” data-slide-to=”0″ class=”active”></li>
<li data-target=”#myCarousel” data-slide-to=”1″></li>
<li data-target=”#myCarousel” data-slide-to=”2″></li>
</ol>
<!– Wrapper for slides –>
<div class=”carousel-inner” role=”listbox”>
<div class=”item active”>
<img src=”images/artikel/Edisi-18-2016/Budiarsa3.png” alt=”Budiarsa”>
</div>
<div class=”item”>
<img src=”images/artikel/Edisi-18-2016/Budiarsa4.png” alt=”Budiarsa”>
</div>
<div class=”item”>
<img src=”images/artikel/Edisi-18-2016/Budiarsa5.png” alt=”Budiarsa”>
</div>
</div>
<!– Left and right controls –>
<a class=”left carousel-control” href=”#myCarousel” role=”button” data-slide=”prev”>
<span class=”glyphicon glyphicon-chevron-left” aria-hidden=”true”></span>
<span class=”sr-only”>Previous</span>
</a>
<a class=”right carousel-control” href=”#myCarousel” role=”button” data-slide=”next”>
<span class=”glyphicon glyphicon-chevron-right” aria-hidden=”true”></span>
<span class=”sr-only”>Next</span>
</a>
</div>
<script language=”javascript” type=”text/javascript”>
// You can place JavaScript like this
</script>
<?php
// You can place PHP like this
?>
{/source}
Artinya sebelum itu Anda juga sudah mencari lokasi di negara yang lain?
Tahun 1990-an China dan India menjadi pusat perhatian banyak orang. Di China saya sudah keliling-keliling tapi tidak dapat. Akhirnya dapat tawaran di Vietnam, makanya kami ke Vietnam terlebih dahulu. Setelah itu kami juga cari-cari ke India. Akhirnya kami dapat lokasi di Kolkata (dulu Calcutta – red), sekitar tahun 2004. Di sini juga orang-orang tanya, kenapa kami mau di kota yang paling miskin di India. Memang betul kota ini paling terbelakang, tapi penduduknya mencapai 13 juta. Kalau di atas lahan Cuma 160 ha, maka kami hanya butuh beberapa ribu orang saja. Masa dalam satu kota itu tidak ada kelas menengah dan menengah atasnya. Tapi akhirnya kami jalan, apalagi pemerintahnya juga welcome, dan ternyata saat launching berhasil sekali. Kemudian ada opportunity dengan partner lokal kita yang tertarik untuk meneruskan proyek ini, sehingga akhirnya kami lepas. Dari situ baru kami dapat yang di Phonm Penh, kemudian baru di Shenyang, China. Jadi sekarang proyek kami tinggal tiga. Di India sudah selesai, tinggal di Vietnam (Pullman Hanoi Hotel dan Ciputra Hanoi International City), Kamboja (Grand Phnom Penh International City), dan China (Grand Shenyang International City).
Anda juga pernah menjabat sebagai Presiden INTA. Bagaimana Anda bisa terlibat di sana?
Pada tahun 1986, ketika saya mulai berbenah mengurusi master plan BSD, saat itu saya cari-cari asosiasi dunia yang mewadahi kota baru, ketemulah asosiasi INTA (International New Towns Association / International Urban Development Association). Sejak saat itu saya langsung terlibat dan ikut pertama kali dalam kongres INTA pada 1986 di Los Angeles, Amerika. Selanjutnya saya ikuti terus setiap tahun dengan kongres yang berpindah-pindah. Kemudian saya diangkat menjadi salah satu pengurus, dan menjadi Vice President, hingga akhirnya saya menjadi President INTA dua periode dari 2007 sampai 2013.
Padahal lucunya, sekitar tahun 2004, saat rapat membahas AD-ART ada yang usulkan agar jabatan ketua yang semula selama 2 tahun dan bisa memimpin selama 2 periode diubah menjadi 3 tahun. Tapi saya tidak setuju. Saya bilang kalau mau 3 tahun maka cuma satu periode, tapi kalau mau 2 kali, maka tetap 2 tahun. Sampai akhirnya di-voting, saya kalah. Akhirnya AD-ART diubah menjadi 3 tahun dua kali. Dan ternyata yang kena pasal AD ART ini pertama kali adalah saya, memimpin 2 periode selama 6 tahun, hahaha…
Dan kebetulan tahun lalu saya juga diangkat menjadi Ketua Indonesia-Vietnam Friendship Association (IVFA) pertama. Ini satu-satunya asosiasi yang dibentuk oleh pemerintah. Sementara kalau Vietnam-Indonesia Friendship Association (VIFA) sebenarnya sudah lama, dibentuk, dan pengurusnya selalu dari pemerintah, sedangkan IVFA belum ada.
Dari sekian banyak proyek yang pernah ditangani, mana yang paling berkesan bagi Anda?
Paling berkesan tentu di CitraGarden City, karena betul-betul saya baru sekolah menimba ilmu di proyek ini. Mulai dari pembebasan tanah, land clearing, perizinan, perencanaan, sampai menjual. Bahkan saya sendiri juga sempat ragu dan tanya ke Pak Ci, apakah tidak salah kita pilih lokasi ini, apalagi dengan kondisi Jalan Daan Mogot saat itu yang masih kecil dan sangat macet. Jadi ada kepuasan tersendiri ketika kita melihat suatu proyek dari nol hingga sesukses saat ini. Apalagi kalau kita lihat orang tinggal dan merasa puas, itu juga menjadi kenikmatan tersendiri bagi saya.
Makanya lucu juga, kami mulai dengan Airline Village, seakan-akan ‘kampung’ airport dan sekarang mendunia menjadi Aeroworld. Jadi pastinya ini sangat berkesan karena menjadi proyek pertama yang saya ikuti, meskipun tidak 100 persen. Kemudian kedua proyek di BSD yang juga dari nol hingga jalan, selanjutnya Citra Raya yang juga kami mulai dari nol. Bahkan awalnya dulu kami rencanakan untuk industrial state, tapi dalam perjalanannya Pak Ci melihat lebih potensi untuk dijadikan suatu kota baru, akhirnya kami jadikan perumahan. Berikutnya yang berkesan adalah proyek di Hanoi dengan dinamikanya yang unik .