Dua kali pernah menjadi Ketua DPD AREBI DKI Jakarta di tambah saat ini menjadi Dewan Kehormatan DPD AREBI DKI Jakarta, membuat Lukas Bong tahu betul dunia broker baik di Jakarta maupun tingkat nasional. Apalagi sudah menakhodai ERA MAX sejak tahun 2001, banyak hal yang sudah dilakukan untuk memajukan peran broker properti maupun ide-ide ke depanya. Pernah mengalami masa-masa sulit bisnis properti tahun 1998 ketika masih bersama PT Intiland Development, yang akhirnnya mendorong dirinya untuk masuk ke bisnis broker properti. Ia ingin lebih berperan di dunia broker Indonesia untuk memajukan bidang yang menurutnya mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Berikut petikan wawancaranya dengan tim Property and the City di ruang kerjanya ERA MAX lt 28, City Loft Sudirman.
Baca Juga
Pekan ini nilai rupiah mengalami kemorosotan hingga menembus batas psikologis Rp15 ribu. Bagaiamana pengaruhnya terhadap pasar properti?
Ke depan kesannya properti akan berat karena untuk membangun proyek properti mungkin ada beberapa material untuk bahan bangunan yang harus diimpor dari luar negeri. Kalau bicara impor berarti ada mata uang dollar AS di situ. Tetapi kita sebagai pelaku properti tidak boleh pesimis dan kita tetap mendukung program pemerintah. Sekarang kita sedang kampanye yaitu, dollar AS tinggi, sekarang saatnya jual dollar dan beli properti sebelum harga properti naik. Jadi, jual dollar AS dan beli properti sebelum harga naik. Ini program kita bersama teman-teman. Satu-dua hari ini kita kampanyekan seperti itu. Kita juga kampanyekan yang sama kepada consumer. Kita tahu pemerintah sedang membuat program untuk memperkuat nilai rupiah, seperti jalan-jalan jangan ke luar negeri dulu, kurangi impor barang, kurangi belanja-belanja produk luar negeri.
Kita harapkan ini dijalankan oleh teman-teman. Jadi, bukan hanya properti tetapi sektor yang lain juga ikut membantu memperkuat nilai rupiah. Melihat situasi saat ini memang sedikit banyak teman-teman kita juga agak pesimis, pelaku properti bukan hanya broker tetapi juga developer. Saat ini para developer sudah berpikir jauh ke depan, Kalau harga properti naik, tentu imbasnya ke bisnis properti. Pembeli sedikit, daya beli makin rendah. Harga properti makin tidak terjangkau.
Dengan kondisi rupiah yang belum stabil ditambah jelang pilpres, seperti apa bisnis properti sampai akhir tahun 2018 dan awal 2019?
Properti memang akan terkoreksi, terkoreksi dalam arti untuk properti yang level high end. Dengan kondisi saat ini kalau untuk investor akan stop inves di properti high end. Tetapi kalau kita bicara end user yaitu properti yang harganya di bawah Rp1 miliar, apartemen yang harganya di bawah Rp500 jutaan, tetap dicari. Untuk properti di harga itu, end user umumnya masih membutuhkan. Menurut saya, buat para developer jangan banyak membangun properti high end. Bangunlah properti yang harganya terjangkau end user. Kita bidik yang betul-betul real market.
Kalau kita bicara investasi, banyak buyer-buyer masih berani inves. Tetapi mereka lihat-lihat juga, misalnya, harga apartemen Rp300 jutaan, dekat stasiun kereta api, dekat kampus. Mereka akan ambil. Jadi, dalam kondisi seperti ini pintar-pintar kita menyiasati dan melihat situasi. Kalau kita lihat banyak developer yang biasanya main di properti high end sekarang main lebih ke luar Jakarta, bangun landed yang lebih kecil dengan harga yang terjangkau. Walaupun perlu lahan yang luas, seperti di Maja, Parung Panjang, Cikarang, dan Karawang pengembang sudah masuk ke sana.
Dengan kondisi seperti saat ini bagaimana para broker anggota AREBI menyiasatinya?
Kalau kita bicara teman-teman yang di asosiasi AREBI, broker itu ada dua. Pertama, yang bermain di project primary. Kedua, anggota asosiasi yang bermain di rumah seken. Kalau kita bicara rumah seken, harga memang terkoreksi. Kalau bicara rumah seken dengan harga market saat ini, jarang ada yang beli. Konsumen tunggu sampai harga turun, baru ada yang beli. Sekarang ini kondisinya “the buyer is the king” pembeli adalah raja karena di luar banyak supply, tetapi demand-nya sedikit.
Kalau broker tahu kondisi pasar properti saat ini, tidak serta merta mereka ambil satu properti untuk dijual. Mereka akan ambil beberapa. Para broker akan bicara kepada penjual kalau harga properti terkoreksi. Broker harus mampu menjelaskan kepada penjualnya. Demikan juga ke pembelinya. Pembeli sekarang wait and see. Walaupun harga properti terkoreksi, tetapi kondisi seperti saat ini transaksi masih berjalan. Rata-rata terkoreksi 10 sampai 25 persen.
Pernah dua kali menjadi Ketua DPD AREBI DKI Jakarta, apa yang sudah dilakukan?
Saya memang dua periode menjadi Ketua DPD AREBI DKI Jakarta, tahun 2011 sampai 2014 kemudian terpilih kembali untuk periode kedua 2014 hingga 2017. Tentunya saya dibantu pengurus-pengurus yang lain. Yang sudah kita lakukan adalah meningkatkan profesionalisme anggota AREBI DKI Jakarta Misalnya, melakukan banyak training yang sifatnya untuk meningkatkan kemampuan, skill, kemampuan negoisasi, pengetahuan tentang properti. Training kita berikan kepada broker dan juga buat principal.
Kita ada yang namannya basic traning. Banyak broker yang awalnya hanya sebagai ibu rumah tangga. Begitu mereka terjun ke broker tidak ada yang coaching mereka, cuma menjadi broker rumah saja. Istilah broker rumah hanya mempertemukan penjual dan pembeli. Tanpa membantu mengecek sertifikatnya, analisa pasar properti bagaimana. Artinya, banyak yang tidak dikuasai para broker rumah ini. Pada periode saya, saya buat yang namanya basic training. Kita harapkan para ibu rumah tangga yang tidak tergabung dalam master franchise bisa menjadi broker properti. Dengan waktu training yang singkat hanya dua hari, dengan biaya kita tekan sedemikian rupa. Kita harapkan lahir broker-broker properti yang profesional.
Apalagi AREBI DKI Jakarta sempat cukup vakum, tetapi karena saya didukung pengurus-pengurus yang lain, akhirnya kita aktif kembali. Saya lakukan road show di semua wilayah DKI Jakarta. Dulu kita cover sampai ke Bogor, Cibubur. Sekarang Bogor dan Cibubur sudah masuk ke Jawa Barat. Saya adakan seminar khusus marketing, talks show. Kalau untuk principal lebih ke management, bagaimana maintenance kantor, bagaimana merekrut marketing yaitu para broker. Kalau untuk sales yaitu kemampuan menjual.
Minat untuk menjadi broker begitu tinggi tetapi kurang didukung profesioanlisme?
Betul, ada yang dari ibu rumah tangga. Mereka tahu ada uang yang besar berputar di properti. Kenapa tidak dimanfaatkan sebagai peluang. Banyak juga yang tamat SMA, D3, atau sarjana yang tidak diterima di perusahaan-perusahaan. Sekian lama menganggur akhirnya memilih menjadi broker. Begitu mereka rasakan setelah kita berikan training, mereka akhirnya menekuni menjadi broker. Kebetulan saya memakai brand ERA. Sebelum terjun ke lapangan kita training, cara melobi, cek sertifikat. Dengan punya kemampuan yang mereka terima dari training, kita berharap mereka punya pendapatan sendiri. Kalau di jabatan formal mungkin hanya terima gaji setiap bulan tetapi dengan menjadi broker properti penghasilan mereka bisa tinggi.
Soal sertifikasi untuk broker sudah sampai mana?
Sertifikasi itu sangat positif buat broker properti karena semua franschise dan broker punya kurikulum sendiri. Supaya kurikulum itu sama maka semua harus ada standarisasi. Standarisasi ini harus keluar dari pemerintah. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang mengeluarkan sertifikasi. Saya pikir ini positif. Kita selalu mendukung program pemerintah. Sertifikasi sudah berjalan dan sosialisasi masih rutin digalakkan agar para anggota sadar pentingnya sertifikasi.
Saat ini dari jumlah broker di Jakarta yang sudah punya sertifikat berapa orang?
Terus terang masih sangat minim. Kalau kita bicara sertifikasi pun sebetulnya belum diwajibkan oleh pemerintah. Artinya, masih bisa ditoleransi. Misalnya, saya ingin membuka kantor broker properti, cukup minimal dua orang yang punya sertifikasi. Yang dua orang itu adalah principal-nya dan satu dari marketingnya. Tetapi tetap kita minta semua marketing punya sertifikasi. Kendala yang mereka rasakan adalah beaya untuk mengambil sertifikasi mahal. Tetapi kalau kita bicara mahal sebetulnya relatif. Padahal dengan keluar Rp3 juta untuk mendapatkan sertifikat, potensi income-nya bisa puluhan juta, ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Walaupun belum diwajibkan apakah akan ada sanksi?
Kalau sekarang ini belum karena baru sebatas himbauan. Tetapi kelihatannya pemerintah dalam waktu dekat akan melakukan tindakan yang lebih tegas. Misalnya, tahun ini dari Kemendag sudah melakukan razia. Beberapa kantor yang tidak punya sertifikat di segel. Walaupun di segel tetap masih bisa menjalankan usaha. Sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian pada bidang broker karena banyak dana berputar di bisnis properti.
Padahal dengan punya sertifikasi akan melindungi konsumen?
betul, akan melindungi konsumen karena dengan bertransaksi lewat broker yang bersertifikasi akan lebih secure. Tentu dari segi profesionalisme dan kejujuran. Sekarang masih ada kejadian, hari ini transaksi besoknya si broker sudah hilang, terutama di sewa apartemen. Tetapi saya jamin broker yang seperti itu bukan anggota AREBI. Kalau anggota AREBI kita bisa bantu trace karena semua anggota AREBI datanya ada di sekretariat. Demikian juga perlindungan hukum kepada si marketingnya. Misalnya, ada broker yang tidak dibayar komisinya, kita bisa bantu. Paling tidak ada perlindungan hukum.
Untuk anggota AREBI yang nakal apakah ada sanksi?
sebetulnya sanksi yang keras tidak ada. Biasanya kita panggil saja. Biasanya yang terjadi justru di internal kita. Misalnya, pembagian komisi di antara broker yang tidak fair, atau spanduk-spanduk yang dicopoti oleh broker yang lain. Jadi, lebih sebatas internal.
Saat ini sudah berapa kantor broker yang kena segel karena masalah perizinan?
Kalau di DKI Jakarta ada dua kantor broker. Padahal dua kantor ini cukup ternama dan mentereng di daerah Kelapa Gading dan Pantai Indah Kapuk. Kita juga bertanya kenapa yang dirazia selalu anggota kita. Padahal mereka sudah berbadan hukum. Artinya, mereka tidak main-main dengan pajak. Ini cuma masalah perizinan saja. Padahal mereka sudah kita beritahu tetapi tidak diurus-urus. Sekarang dengan kejadian ini, mereka sudah urus perizinan. Dengan razia itu, banyak teman-teman langsung mengurus perizinan. Selain itu, adanya razia ini membuat anggota AREBI jadi lebih aktif ikut training-training yang kita adakan.
Soal komisi untuk broker apakah sudah memadai sesuai yang diatur oleh pemerintah?
Kalau dari keputusan Kemendag jatuhnya 2 persen untuk jual beli. Tetapi kalau untuk sewa komisinya 5 persen. Kalau untuk sewa komisinya 5 persen masih oke. Tetapi kalau untuk jual beli biasanya sudah 3 persen. kita sebetulnya sudah memberikan masukan ke pemerintah kalau bisa dinaikkan jangan 2 persen. Sebetulnya sebelum ada peraturan dari Kemendag, kita sudah memberikan komisi besarnya3 persen. Angka dari Kemendag yang 2 persen sebetulnya sebagai angka minimum.
Tetapi kita tahulah di Indonesia, kalau ada yang minimum, semua ikut yang minimum, hahaha ……… Tetapi perlahan kita memberi masukan ke pemerintah, standardnya minimal 3 persen. Pada prakteknya di lapangan yang 1,5 persen pun diambil. Biasanya broker berpikir daripada tidak dapat, akhirnya diambil juga. Kedua, yang ambil komisi di bawah 2 persen biasanya broker yang tidak berbadan hukum, tidak punya kantor, tidak punya biaya operasional. Ini seperti broker perorangan.
Masyarakat sendiri apakah sudah banyak yang memanfaatkan jasa broker untuk bertransaksi properti?
Mungkin transaksi yang dibantu broker masih minim, tidak lebih dari 25 persen. Yang 75 persen masih cara langsung atau transaksi tradisional. Padahal kalau di negara-negara maju, setiap transaksi properti memajibkan memakai broker. Seperti di Singapura ketat, dan setiap tahun harus di perpanjang sertifikat seorang broker. Kehadiran broker sebetulnya sudah menciptakan lapangan kerja. Ke depannya ini juga akan menjadi kampanye kita supaya campur tangan pemerintah lebih dalam lagi.
Persaingan antar broker properti seperti apa?
Dulu sering muncul saling bajak marketing, banting komisi, saling copot spanduk tetapi sekarang cenderung menurun. Dulu waktu AREBI belum kuat, kita belum kompak. Sekarang setelah gabung di AREBI sudah saling tahu. Principal sudah saling kenal. Malah sekarang saling memberi informasi. Kita juga membuat aturan kalau ada marketing keluar, kita harus mengeluarkan referensi. Ini mulai kita wajibkan. Tujuannya, jangan sampai di kantor lama punya masalah, pindah ke kantor baru membuat masalah juga. Kita sebutnya virus, kalau virus sudah pindah ke kantor lain, akan jadi virus juga. Kita tidak ingin virus itu pindah dari satu kantor ke kantor lain.
Ini juga salah satu kontrol di antara anggota terhadap broker. Tetapi kalau di luar anggota AREBI kita tidak bisa kontrol. Yang nakal biasanya larinya ke kantor broker di luar anggota. Kalau masih anggota pasti akan ketahuan. Angggota AREBI di DKI Jakarta sekitar 300-an. Kalau nasional kita bicara di angka 900-an. Angka masih sangat minim. Mungkin ada dua atau tiga kali lipatnya yang bukan anggota atau belum menjadi anggota.
Kenapa mereka enggan menjadi anggota?
Mereka maunya gampang menjadi anggota, kalau masuk menjadi anggota harus berbadan hukum. Untuk berbadan hukum harus PT. Satu lagi, orang Indonesia takut sama pajak. Punya badan hukum berarti harus punya NPWP. Ini sebetulnya yang saya minta kepada pemerintah. Tolong dicermati bahwa AREBI itu membantu program pemerintah. Kita berharap pemerintah mulai lebih perhatian.
Di Jakarta wilayah mana yang terbesar nilai penjualan lewat broker?
Kalau bicara turn over yang cepat banyak di Jakarta Utara dan barat. Tetapi kalau bicara nilai transaksinya yang besar-besar umumnya adanya di pusat dan selatan. Kenapa, karena di selatan rumah-rumahnya mewah, sekali transaksi bisa seksian puluh miliar. Harga tanah di pusat dan selatan juga sudah tinggi-tinggi. Artinya, berapa komisi yang bisa diperoleh kalau harga jualnya sudah puluhan miliar rupiah
Artinya, orang yang mau menjadi broker menjanjikan masa depannya?
Sangat menjanjikan. Misalnya, ada karyawan yang karirnya sudah mentok di perusahaanna kemudian dia beralih menjadi broker. Ada juga yang gagal masuk satu perusahaan kemudian memilih menjjadi agen properti. Sering kali begitu dia menjadi agen properti, kemudian ditawari bekerja formal, mereka biasanya tidak mau. Dengan menjadi agen properti mereka bisa menentukan jam kerja sendiri, income tergantung keuletan karena income di broker properti tidak terbatas. Tergantung pada orangnya, asal dapat training yang benar, dan mau kerja keras, tidak mustahil sukses.
Selama menjadi ketua DPD AREBI DKI Jakarta, apakah sering mendapat keluhan dari masyarakat soal kerja broker?
Yang paling sering terjadi orang merasa kalau beli properti lewat broker harganya lebih mahal. Sebetulnya tidak seperti itu, yang terjadi broker malah membantu penjual dan pembeli. Kalau membeli lewat broker, sertifikat sudah pasti terjamin, tidak ada sengketa rumah atau lahan karena broker akan mengecek langsung ke BPN. Kedua, bisa mendapatkan harga yang realistis. Kalau pembeli ingin memakai bank, broker bisa membantu mencarikan bank karena sekarang agen properti sudah kerjasama dengan bank. Notaris pun akan dibantu dicarikan. Jadi, menjual lewat broker properti sebetulnya akan sangat membantu.
Bagaimana ceritanya masuk menjadi broker properti?
Saya dulu masuk ke properti karena tahu rumah adalah kebutuhan primer. Investasi orang seumur hidup di properti. Kalau ada yang mampu membeli mobil seharga ratusan juta ataupun wanitanya punya tas seharga ratusan juta rupiah juga, pasti dia mampu membeli properti yang harganya miliaran rupiah. Properti adalah investasi yang paling tinggi nilainya. Karena kebutuhan primer maka rumah selalu dicari. Jadi, begitu tamat kuliah, saya langsung masuk ke dunia properti. Waktu itu saya terjun ke developer dulu yaitu ke Intiland Development. Sampailah kemudian tahun 1998 terjadi krisis ekonomi melanda Indonesia.
Tetapi waktu itu kita berpikir keras bagaimana meringankan beban bos, karena kita tahu bos tidak mau mem-PHK karyawannya. Saat itu karyawan Intiland banyak melakukan berbagai kegiatan yang bisa meringankan beban perusahaan. Kebetulan saya tahu, bos punya brand ERA. Saya tawarkan untuk menjalankan salah satu kantor ERA. Kebetulan waktu itu belum ada kantor ERA yang fokus ke properti primary, dan komersial. Sementara sejak masuk ke Indonesia, ERA lebih banyak main di rumah seken. Kenapa saya menawarkan diri untuk memegang kantor ERA yang fokus ke properti primary, karena di Intiland saya turut menangani project primary.
Tahun 2001 saya membuka kantor ERA dan berlanjut sampai sekarang. Saat Intiland launching ERA pasti diundang. Beliau tokoh panutan di bidang properti dan turut memberikan warna pada cakrawala properti Indonesia.
Pengalaman di Intiland, seperti bagaimana Pak Hendro memimpin, apakah juga diterapakan di perusahaan sendiri?
Betul. Saya juga menerapkan kekeluargaan. Kalau meeting saya ajak bicara apa saja. Setiap Senin, meeting kadang sambil makan siang. Kebetulan ada staff saya yang bisa masak, saya suruh masak untuk hari Senin. Kalau meeting sambil makan, biasanya banyak informasi yang informal keluar dari mereka. Kita bisa bertukar pikiran. Akhirnya, mereka menganggap di sini sangat kekeluargaan. Saya maunya mereka bisa lama kerja dengan saya karena saya menganggap mereka adalah aset. Kalau hari raya Imlek, saya berikan angpao, saya bawa jeruk. Demikian juga kalau lebaran, saya membuat acara halal bi halal. Setiap tahun kita membuat acara outing. Semuanya ini membuat kita dekat dan satu keluarga. Kalau mereka sudah kerja keras, tetapi omset kecil karena situasi di luar, saya bisa maklumi.
Sudah 17 tahun menjalankan ERA MAX, apa yang ingin dicapai?
Saya ingin mencetak broker-broker profesional. Saya juga ingin developer melahirkan produk yang dibutuhkan masyarakat banyak. Kalau pengembang asal bangun saja, kadang tidak sesuai dengan market dan nurani. Kalau ke pengembang, saya ingin mereka membuat produk yang marketable atau terjangkau. Spek bangunan yang bagus. Kurangilah profit di awal, ambil profit di belakang.
Kabarnya ingin maju sebagai ketua umum DPP AREBI?
Sebetulnya selepas menjadi ketua DPD AREBI DKI Jakarta saya ingin fokus menjalankan kantor sendiri. Para karyawan saya juga minta saya untuk fokus saja di kantor. Sebetulnya saya juga tidak berharap maju dalam pemilihan Ketua Umum DPP AREBI. Tetapi teman-teman mendorong saya. Sekarang suara yang ingin saya maju makin besar. Mereka ingin AREBI menjadi Energy of Indonesia Property. Saat properti lesu AREBI menjadi motor penggerak properti.
Mungkin teman-teman merasa nyaman selama kepemimpinan saya sebagai Ketua DPD AREBI DKI Jakarta dua periode, saya rangkul semua broker. Anggota akan bertambah kalau mereka merasakan manfaatnya. Jadi, yang pertama kali saya lakukan lebih banyak sosialisasi keluar, road show AREBI, apa itu AREBI, program-program AREBI, memperkenalkan pengurus AREBI, banyak mengadakan seminar. Sesuatu yang sifatnya menguntungkan anggota, otomatis mereka mau daftar menjadi anggota AREBI. Dari sini saya merasa teman-teman enjoy, dan kembali mendorong saya untuk maju sebagai Ketua Umum DPP AREBI. ●