Saat ini generasi milenial yang lahir antara tahun 1981-1995 dihadapkan pada kebingungan untuk memiliki hunian. Karakter pasar yang simple dan minimalis membuat mereka harus mencari hunian yang sesuai dengan keinginan mereka. Tidak perlu di pusat kota namun mereka memilih hunian yang berada dalam lingkungan yang lebih tertata. Dengan semakin tingginya harga rumah, pilihan pun semakin terbatas dan membuat mereka lebih memilih untuk menyewa. Berdasarkan penghasilan rata-rata yang mereka miliki, harusnya dapat membeli rumah dengan harga minimal Rp300 jutaan, yang lebih mahal pun masih mungkin. Namun untuk rumah seharga tersebut tentunya jauh dari tempat pekerjaan dan
cenderung mereka memilih brand pengembang yang terkenal. Faktor gengsi seringkali menjadi salah satu faktor pertimbangan mereka. Namun
untuk rumah yang terlalu mahal mereka pun tidak mampu. Artinya harga murah mereka tidak mau, rumah mahal pun belum bisa mereka beli.
baca juga, Negara Hadiahi Rumah Presiden RI: Gusdur “Menolak”, Jokowi Pilih Pulang ke…
Sedikit berbeda dengan Gen Z, generasi ini tidak terlalu mengutamakan brand pengembang ternama. Dalam sebuah penelitian pun disebutkan bahwa generasi Z ini lebih memilih untuk membeli rumah dibandingkan menyewa.
Kekeliruan Mind Set
Saat ini banyak influencer yang menyuarakan ‘anti membeli rumah’ dan cenderung memengaruhi pasar milenial dan gen Z. Beranggapan dengan bermain di pasar modal dengan yield 10% – 20% mereka tidak perlu untuk membeli rumah saat ini, sampai uangnya cukup untuk membeli rumah secara tunai dan tidak perlu menggunakan KPR.
Menanggapi hal tersebut, Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, mengatakan bahwa investasi di pasar uang atau pasar modal belum
tentu dapat dijamin sepenuhnya mendapatkan yield setinggi itu. Bisa juga rugi. Namun untuk membeli rumah menurut Ali merupakan sebuah pilihan. Para milenial dan gen Z harus mulai memikirkan untuk mempunyai aset rumah. Bila menunggu terus menunggu, kenaikan harga properti bahkan bisa semakin tinggi dan sampai kapan pun mereka tidak akan dapat membeli rumah.
“Yang akan membedakan satu milenial dengan yang lain pada saatnya nanti adalah seberapa banyak mereka memiliki aset. Pada saat mereka
sudah berkeluarga umumnya baru tersadar bahwa mereka seharusnya cepat-cepat untuk mempunyai aset,” tegas Ali.
Berdasarkan survei Indonesia Property Watch, 2023 digambarkan sebesar 41,01% milenial membeli rumah sudah berkeluarga. Saat berkeluarga ternyata mereka dimungkinkan mempunyai daya beli lebih besar dengan gabungan penghasilan suami istri.
Berbeda bila kita membeli rumah untuk investasi. Investasi properti dilakukan setelah para milenial atau gen Z sudah memiliki hunian pertama mereka. Selanjutnya jika ingin berinvestasi properti tentunya harus berpikir jangka panjang, dan tidak bisa disamakan dengan investasi di pasar uang atau pasar saham. Namun investasi properti harus menjadi bagian dari portofolio investasi mereka pada saatnya.
Pengembang Harus Peduli
Berdasarkan data statistik penduduk Indonesia, sebesar 55,41%-nya merupakan penduduk yang berada pada usia milenial dan gen Z. Pasar yang sangat besar. Berdasarkan data nasabah KPR dari perbankan BUMN menyebutkan bahwa sebesar 66,7% pengguna KPR adalah kaum milenial dan 5,9% adalah pasar gen Z. Meskipun pasar gen Z masih terbilang kecil, namun persentase ini naik dua kali lipat dalam satu tahun terakhir. Data ini sedikit berbeda dengan nasabah KPR di bank swasta dengan komposisi terbesar berada di usia 40 – 55 tahun sebesar 47,5%.
Namun generasi milenial menyumbang cukup besar juga sebesar 41,5%.
baca juga, Indekos Logis, Tapi Punya Rumah Bikin Adem Ayem Tentrem
Hal ini sejalan juga dengan survei permintaan rumah di kota-kota besar yang didominasi oleh para milenial. Sementara itu seiring dengan waktu gen Z mulai masuk ke pasar perumahan. Terlepas mereka membeli dengan uang sendiri atau dibantu orang tua dalam hal uang muka, namun tren kenaikan pembeli gen Z juga tidak dapat dihindari. Menyikasi hal tersebut, para pengembang seharusnya dapat membidik pasar ini. Yang terjadi saat ini adalah mismatch pasar, dengan patokan harga di pasaran belum sepenuhnya sesuai dengan daya beli pasar milenial dan gen Z. Semua berlomba bermain di segmen menengah atas yang lebih menghasilkan profit lebih tinggi, namun ke depan dapat dipastikan pasar akan dikuasai milenial dan gen Z dan para pengembang harus bersiap untuk membuat strategi yang sesuai dengan pasar. Karena pada saatnya pasar yang akan menentukan dan bukan semata-mata kemauan pengembang.