Sektor properti diramal masih akan lesu pada awal 2024. Ini mengingat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) masih tinggi di level 6 persen. Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia, Axell Ebenhaezer mengatakan, suku bunga BI bakal memberikan pengaruh negatif terhadap sektor properti. Sebab, masyarakat menjadi berhati hati dalam mengambil kredit untuk membeli properti. “Alhasil konsumen akan lebih enggan untuk mengajukan pinjaman kredit untuk beli properti,” ujar dia dalam risetnya, ditulis Sabtu (11/11/2023).
baca juga, Agung Podomoro Garap 3 Proyek Raksasa di Karawang
Dia melanjutkan, ketidakpastian ekonomi yang dibawa oleh pemilihan umum (pemilu) akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan membuat fasilitator kredit memperketat persyaratan mereka. Di sisi lain, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini terlihat berusaha
mendukung belanja masyarakat agar target pertumbuhan 5 persen tercapai. Hal itu dilakukan melalui pemberian insentif untuk sektor properti dan lainnya.
Selain itu, terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan, seperti status ekonomi Amerika Serikat (AS) dan suku bunga The Fed. Meski begitu, sektor properti diyakini bisa kembali bangkit pada kuartal II dan III 2024. Saat ini sudah ada tanda-tanda penurunan suku bunga yang akan diturunkan pada tahun depan. “Saat ini sudah ada tanda-tanda soft landing mulai tercapai, jadi ada kemungkinan suku bunga diturunkan di awal tahun depan, dan mungkin sektor properti bisa mulai bangkit di kuartal II dan III,” kata Axell.
Namun demikian, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), Joko Suranto menyatakan optimismenya tahun depan sektor properti akan membaik dan terus tumbuh. Prediksi melemahnya sektor properti pada semester pertama 2024 nanti hanya bersifat incidental karena pengaruh kondisi politik. Dengan sudah terpilihnya presiden yang baru, tentu sektor properti akan bergairah kembali.
“Industri properti kita pernah mengalami sebuah kejadian dahsyat dan runtuh semua yaitu 1998, lalu berlanjut di 2008 sampai 2014, dan stress test terakhir adalah pada saat pandemi. Pelaku properti relatif sudah proper mengelola propertinya, sehingga ketika pandemi Alhamdulillah survive, hanya 10 persen yang masih harus recovery. Kalau kita bandingkan sebelum pandemi maka kondisinya belum rebound 100 persen, mungkin hanya 75 persen. Jadi dengan adanya pemilu, gejolak global, apresiasi US dolar dan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yaitu 25 basis poin, itu relatif membuat kita memang harus tetap waspada, korektif, disamping menjaga optimisme,” buka Joko dalam beberapa kesempatan.
Dia tak menampik bahwa gelaran pemilu serentak di Indonesia yang berlangsung tahun depan, tak bisa membuat sektor properti lolos dari imbas sentimen. Joko menjelaskan, sektor ini mulai resilien didukung permintaan dari konsumen end-user. Yakni konsumen yang membeli properti atau hunian untuk ditempati sendiri.
“Kalau Pemilu orang-orang kan lebih hati-hati untuk investasi. Tapi karena market properti kita sendiri sekarang sudah 60 persen end-user, mereka sendiri yang akan pakai rumah, menurut saya itu masih akan lebih sustain karena mereka sudah tahu bahwa ini sebuah kebutuhan,” kata Joko.
Sementara untuk konsumen yang memiliki orientasi untuk investasi, kemungkinan besar memilih ‘wait and see’ siapa yang akan menjadi pemimpin selanjutnya dan kebijakan apa yang akan diusung. Di sisi lain, suku bunga saat ini sudah relatif rendah, sehingga menjadi daya tarik untuk mempertimbangkan KPR. Secara garis besar, Joko menilai sektor properti masih menarik pada sisa paruh kedua tahun ini. Sehingga menurut dia, developer perlu memasang siasat untuk menjaring konsumen dari kalangan end-user dan home upgrader. “Jadi bagaimana developer bisa meng-counter atau menyediakan demand sesuai dengan affordability first home buyer dan home upgrader. Sehingga kemungkinan seasonability ini masih akan berlanjut di semester I 2024,” imbuh dia.
TIGA HAL
Dari sisi sentimen suku bunga, Joko menyebut suku bunga bank sentral saat ini secara historikal sudah berada pada posisi terendah. Sehingga mestinya dapat menjadi pertimbangan bagi yang ingin memiliki hunian dengan sistem cicil atau KPR. Rendahnya suku bunga juga menjadi berkah bagi perusahaan untuk melakukan deleveraging. Di mana saat leverage tinggi namun suku bunga rendah, maka pendapatan perusahaan bisa lebih baik. “Pelurunya adalah fasilitas bank KPR di mana rate suku bunga yang berbicara. Sekarang suku bunga acuan naik 6%, tentu pasar pasti bertanya-tanya,” ungkapnya.
Kendati begitu, Joko menilai ada tiga hal yang akan membuat permintaan properti tetap stabil di tahun depan, sehingga developer sebagai pelaku usaha dan masyarakat sebagai pembeli properti tidak perlu khawatir berkepanjangan.
“Pertama, industri perbankan saat ini kalau kita lihat neraca keuangannya sangat bagus, terutama di porsi dana pihak ketiga. Kalau lihat posturnya, dana pihak ketiga itu banyak tabungannya yang berarti juga low cost. Artinya cosf of fund yang ada di bank relatif kecil sehingga dengan adanya kenaikan bunga acuan dari BI, itu relatif tidak langsung mengerek. Kedua, perbankan juga akan mau ambil risiko ketika harus
menaikkan suku bunga karena menjaga image di pasar. Saat ini perbankan sedang getol dan kompetitif sekali khususnya di sektor properti dan konsumer. Kalau pun dinaikkan juga, pasti akan berisiko terhadap kesehatan perbankan yaitu NPL. Ketiga, sektor ini sudah menjadi target dan bagian dari produk perbankan sehingga saya rasa dalam waktu 2 – 3 bulan ini mestinya tidak serta merta menaikkan suku bunga,” papar panjang Joko.
Optimismenya tersebut juga adanya tren investasi yang membaik. Investor semakin percaya terhadap stabilitas ekonomi makro dan kebijakan di sektor moneter, fiskal, dan sektor riil yang cukup bagus. Komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan daya saing juga menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi. “Kita tidak perlu merisaukan perlambatan sektor properti, sebab properti merupakan investasi jangka panjang. Seiring pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kebutuhan, prospek sektor properti juga bakal kembali baik,” katanya. l[Andrian Saputri]