Taman ini bukan hanya dimanfaatkan sebagai tempat hiburan, melainkan juga lokasi warga untuk menambah literasi warga Jakarta. Jamak diketahui bahwa kualitas hidup penduduk dapat ditingkatkan melalui memperbarui daerah perkotaan yang kurang berkembang atau yang membutuhkan perbaikan, atau umum disebut urban renewal. Langkah pemugaran juga dapat memberikan stimulus ekonomi yang signifikan dengan menghasilkan peluang investasi baru dan membuka lapangan pekerjaan baru.
baca juga, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta, Doti Windajani Buka Jakarta Architecture Festival 2023
Tidak hanya mencakup pembangunan kembali gedung-gedung, perumahan dan jalan-jalan, tetapi juga meliputi pembangunan taman kota, fasilitas rekreasi, dan fasilitas publik lainnya, sebab memberikan akses yang lebih baik pada penduduk setempat untuk menikmati fasilitas
umum, taman, dan area rekreasi.
Blok M menjadi kawasan yang cukup intens berbenah. Ada yang baru di Blok M, yakni Taman Literasi Blok M dengan nama Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Meski sudah diresmikan September tahun lalu, taman yang merupakan bagian dari kawasan pembangunan berorientasi transit Blok M dan Sisingamangaraja, ini menjadi oase baru bagi warga DKI Jakarta.
Boleh jadi Taman Literasi Martha Christina Tiahahu adalah proyek urban renewal yang perlu dicontoh karena konsep dan peruntukannya yang unik dan menarik. Hampir setahun dibuka untuk umum, taman ini sudah ramai dikunjungi masyarakat karena tempatnya yang menyenangkan dengan fasilitas cukup lengkap.

Karena mengusung konsep landscraper, taman berbentuk lingkaran ini jika dilihat dari jauh seperti hamparan ruang terbuka hijau biasa. Namun, jika kita mendekat, akan terlihat bangunan dua lantai dengan berbagai fasilitas yang disiapkan seperti perpustakaan, plaza kalebrasi, plaza bunga, dan paviliun literasi yang barada di lantai dua.
Terpampang juga fasilitas lain seperti tempat parkir atau penitipan sepeda, musala, dan toilet yang lokasinya berdekatan dengan plaza anak.
Sesuai dengan namanya, taman ini memudahkan pengunjung mengakses literasi melalui perpustakaan yang dilengkapi dengan pendingin
ruangan.
Buku yang tersedia di perpustakaan itu pun beragam, mulai dari buku soal pengetahuan, fiksi hingga non-fiksi yang diperuntukan bagi orang dewasa hingga anak-anak. Selain di dalam perpustakaan, pengunjung yang ingin membaca buku juga bisa duduk di bangku luar yang berdekatan dengan taman atau paviliun literasi di lantai 2.
Sempat Suram
Taman Literasi Martha Christina Tiahahu ini dipugar untuk mengaktivasi ruang hijau dan publik kota DKI Jakarta. Hal ini juga demi mewujudkan
program pemerintah daerah DKI Jakarta yang tertuang dalam Pergub Nomor 55 Tahun 2020 tentang panduan Rancang Kota (PRK) Kawasan Pembangunan Berorientasi Transit Blok M dan Sisingamaraja, di mana taman ini merupakan salah satu lokasi revitalisasi taman. Sebelumnya, kawasan taman yang terkenal dengan kolam air mancurnya ini sempat suram, dimana juga sering digunakan akses pejalan kaki menuju terminal Blok M. Dulu kondisinya terbengkalai bertolak belakang dengan kebaruan kawasan Blok M saat ini.
Dulu potretnya mengenaskan di mana ilalang menjulang tinggi, bahkan banyak pagar yang digunakan area jemur baju bagi masyarakat
sekitar. Dari sumber laman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menunjukkan total luasan taman ini mencapai 20.960 meter persegi
(m2), meski area yang dipugar hanya mencapai 9.638 m2.
Taman ini mengalahkan luas taman Barito atau Ayodia yang juga berada di kawasan Blok M, mencapai 6.866 m2. Namun yang terluas adalah
taman Langsat yang berada di seberang taman Barito mencapai 3,8 hektar.
Jendela Literasi
Ada sejarah panjang di balik penamaan taman di bilangan Jakarta Selatan itu. Namanya diambil dari salah satu pahlawan perempuan asal Ambon, Martha Christina Tiahahu. Wajahnya pernah diabadikan di uang kertas pecahan Rp5.000 edisi 1985.
Martha Tiahahu masih berusia 17 tahun saat memimpin pasukan melawan penjajah, hingga akhirnya gugur setahun kemudian. 200 tahun
berselang, namanya kini menjadi salah satu simbol literasi di Jakarta, 2.700 kilometer dari tanah kelahirannya.
Taman Literasi Martha Tiahahu menjadi yang pertama ada, merupakan salah satu penanda Jakarta sebagai kota literasi dunia. Pemprov DKI
Jakarta merevitalisasi Taman Martha Tiahahu dari yang semula tak terawat menjadi salah satu pusat berkumpul anak muda.
Dengan berbagai fasilitas penunjang seperti perpustakaan buku digital, Gubernur Anies Baswedan (yang kala itu menjabat) menginginkan
taman ini bukan hanya dimanfaatkan sebagai tempat hiburan, melainkan juga lokasi warga untuk menambah literasi. Ada 5.248 penerbit
di Jakarta. Angka ini menyubang 30 persen dari total penerbit buku modern secara nasional.
Taman ini memiliki garis imajiner, yang jika ditarik lurus maka akan menuju kampung halaman Martha Tiahahu di Nusa Laut, Maluku. Lokasi
taman adalah sentral pergerakan penduduk Jakarta lantaran terintegrasi dengan Stasiun MRT Blok M dan persis di samping terminal Blok M.
Kawasan tersebut akan terus dikembangkan, sehingga menyatu dan menjadi titik sentral mobilitas masyarakat. Taman dikelola oleh anak
perusahaan MRT Jakarta, PT Integrasi Transit Jakarta yang berkolaborasi dengan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta,
dan Perpustakaan Jakarta.
Bagi Anda yang hendak berkunjung ke Taman Literasi Blok M, Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, dapat dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Berikut cara menuju ke Taman Literasi Martha Christina Tiahahu naik MRT dan TransJakarta. Naik MRT menjadi pilihan yang menyenangkan. Stasiun MRT terdekat dari Taman Literasi Martha Christina Tiahahu adalah Stasiun MRT Blok M. Dari lokasi Anda berangkat menuju ke stasiun MRT terdekat dengan tujuan pemberhentian ke arah Blok M. Dari Stasiun MRT Blok M, lanjut perjalanan ke Taman Literasi Martha Christina Tiahahu hanya dengan berjalan kaki selama 2 menit saja.
Jika memilih menggunakan TransJakarta, berhenti di Halte Martha Tiahahu. Anda dapat naik bus TransJakarta koridor 1E rute Pondok Labu – Blok M. Kemudian koridor 1Q rute Rempoa – Blok M, koridor 8E rute Bintaro – Blok M atau TransJakarta rute Sentul – Blok M.
Ruang Kota Humanis
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak sekitar satu dekade terakhir giat membangun taman kota. Tak kurang ada 290 ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA) dan 53 Taman Maju Bersama tercatat hingga akhir 2019.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Tokyo, Jepang, Alinda FM Zain, yang juga
seorang urbanis, menyatakan, setiap kota perlu memasukkan taman dalam sistem tata kotanya. Taman pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari warga metropolitan seperti Jakarta.
”Di Jepang, saya belajar bahwa di sini taman itu ada di setiap kawasan yang serupa dengan kelurahan. Taman bisa untuk semua umur dari
anak balita sampai orang lansia. Taman bahkan terintegrasi dengan sistem pendidikan bagi anak usia dini yang jadi tanggung jawab pemerintah. Saat orangtua bekerja, anak-anak aman di sekolahnya yang juga memakai taman untuk tempat belajar dan bermain. Jadi mereka tidak khawatir. Orangtua atau orang dewasa yang bekerja dengan baik berarti ekonomi kota juga berjalan baik,” kata Alinda.

Sementara itu Nirwono Joga, arsitek lanskap dan pegiat Kemitraan Kota Hijau, dalam diskusi daring belum lama ini menjelaskan, undang-undang menyebutkan bahwa ruang kota memerlukan ruang hijau terbuka publik sekitar 20 persen dan ruang hijau terbuka privat 10 persen.
Menurutnya, ruang kota berkonsep hijau dan humanis yang dibuka untuk umum, secara tidak langsung berdampak sehat secara ekologis,
sosial, serta ekonomi bagi penduduknya. “Di masa sekarang lebih baik menghabiskan waktu ke taman, menikmati fasilitas publik yang dirancang estetik, indah namun tetap mengedepankan sisi humanis dan layak kunjung,” ujar Nirwono.
Sebagus apapun tamannya, lanjut Nirwono, jika tidak melibatkan masyarakat maka akan percuma. Taman itu akan ‘tenggelam’ musabab warganya tidak punya kebiasaan untuk menjadikan taman sebagai pusat bermasyarakat.
“Coba bandingkan dengan Kota Surabaya. Nirwono menyebut Surabaya mengklaim hanya punya 25 taman kota. Tapi kultur masyarakat
daan taman kotanya kelihatan lebih hidup dibanding Jakarta. Ini PR selanjutnya pemerintah Jakarta bagaimana menghidupkan taman-taman
tersebut,” jelasnya.
“Bagaimana masyarakat bisa peduli dengan ruang terbuka hijau publik, kalau mereka sendiri tidak pernah diajak untuk bermain, belajar atau
berekreasi di taman. Kalau tidak tumbuh budaya bertaman seperti itu, jangan salahkan kalau taman menjadi hilang,” imbuh Nirwono.
Maka itu, menularkan budaya bertaman dan partisipasi publik semestinya jadi ide penyelenggaraan festival taman di akhir pekan, misalnya. Nirwono membandingkan, 80 persen kota-kota yang sukses mengembangkan taman kotanya di seluruh dunia, kuncinya ada pada kekuatan partisipasi publik. Hingga hampir tak bergantung pada anggaran pemerintah. Ini merupakan modal sosial yang lebih kuat dibanding pembiayaan dari anggaran negara atau daerah.
“Sebenarnya taman kota yang ideal, tak perlu syarat muluk-muluk. Pertama mudah diakses transportasi publik, prasarana cukup seperti
lampu, bak sampah, bangku taman, parkiran sepeda, dan fasilitas untuk difabel. Terakhir masyarakat juga diberi alternatif untuk beraktifitas
di taman tersebut,” pungkas Nirwono. • [Andrian Saputri]