Bicara Solo (Kota Liwet), Jawa Tengah, tak lain tentang sebuah kota dengan akulturasi budaya dan interaksi sosial yang sangat kental. Warganya dikenal ramah dan kalem laiknya merujuk pada distorsi oleh warga urban perkotaan untuk wanita yang memiliki karakteristik seperti wanita Solo, “kalau bicara seperti Putri Solo, pelan dan tenang”.
baca juga, Inflasi Melesat, Synthesis Huis Tawarkan Pilihan Investasi Properti Paling Tepat
Barang tentu, Solo terus menjadi pembicaraan publik luas lantaran Presiden Joko Widodo (Jokowi) berasal dari Kota Liwet ini. Tapi jangan keliru, meski dianggap “kalem”, Solo atau Surakarta memiliki motto “Mulat Sarira Angeasa Wani”. Kalimat itu jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti “Instrospeksi Diri, Merasa Berani”.
Dua kalimat tersebut bertaut dengan semboyan Kota Solo yang dipakai untuk mempromosikan pariwisatanya, yaitu “The Spirit of Jawa”. Jika diartinya, Kota Solo (Kota Liwet) bisa disebut sebagai kota dengan jiwa Jawa yang masih kental dan juga akan terus dilestarikan.
Salah satu keberanian Kota Solo (Kota Liwet) yang sampai hari ini belum diikuti kota-kota lain di Indonesia adalah, kelugasannya dalam mempertahankan warisan bersejarah. Para traveller belakangan takjub bin kaget saat berkunjung ke Solo. Ini karena di tengah Kota Solo, terdapat jalur kereta api yang melintas dan membelah jalanan.
Ya, bukannya memindahkan jalur kereta di area yang lebih aman dari jangkauan manusia, pemerintah Solo justru mempertahankan jalur rel kereta yang masih aktif tersebut dan digunakan hingga kini. Kini, salah satu daya tarik yang membuat penasaran jika ke Solo adalah keberadaan jalur kereta api ini.
Biasanya lintasan kereta letaknya jauh dari keramaian. Di sini berbeda sekali. Jalur melintas justru berada di jalan Slamet Riyadi, yang notabene adalah jalan utama di Kota Solo. Bukan sekedar pajangan belaka peninggalan jaman Belanda dulu. Sampai sekarang, jalur ini masih aktif dilalui kereta di jam-jam tertentu.
Saat melintas berjalan pelan berdampingan mobil, motor, bis, aktivitas warga. Sangat unik. Inilah salah satu keunikan yang barangkali di Indonesia, cuma ada di Kota Solo.
Keberadaan rel kereta itu sudah sejak sekitar tahun 1900. Pembangunan rel beriringan dengan berdirinya perusahaan swasta Solosche Tramweg Maatschappij (STM) pada tahun 1892.
Sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, mengatakan awalnya kereta menggunakan tenaga kuda hingga kemudian muncul kereta bertenaga uap atau setum.
“Yang naik kereta saat itu hanya orang Belanda atau China. Orang pribumi yang naik kereta hanya saudagar kaya. Karena ongkosnya cukup mahal,” kata Heri saat dihubungi Property and the City, Selasa (19/7/2022).
Rute kereta berawal dari Benteng Vastenburg ke Gladag kemudian ke barat. Ada beberapa titik pemberhentian, seperti Kampung Kauman, Derpoyudan (timur Nonongan), Pasar Pon, Kebon Rojo (Sriwedari) hingga belok ke Purwosari.
Kini, setelah di makan usia, agar pemanfaatnya lebih optimal kurun waktu antara 2009-2010 dilakukan peremajaan bantalan dan rel kereta. Setelah selesai pemanfaatan, jalur ini masih seperti awal dibangun, yaitu menghubungkan Stasiun Purwosari bagian barat Kota Surakarta hingga Kota Wonogiri.
Sempat Dikeluhkan
Setelah menggunakan rel yang baru dari beton, bisa dilewati kereta dengan teknologi terbaru, seiring perkembangan zaman. Jalur ini pun masih aktif melayani penumpang, meski secara ekonomis kurang menguntungkan. Meski sekarang sudah banyak angkutan umum trayek Solo Wonogiri, tidak sedikit warga khususnya yang sering bepergian Solo ke Wonogiri memanfaatkan kereta ini.
Salah satu alasan karena tiketnya lebih murah dan aman. Melintas jalan raya berdampingan dengan kendaraan lain bukan berarti tanpa risiko. Apalagi sama sekali tidak ada pembatas aman yang memisahkan antara kereta saat melintas dengan kendaraan lain.
Di zaman modern, sempat muncul usulan masyarakat untuk menghilangkan rel kereta tersebut. Sebab sering terjadi kecelakaan tunggal saat pengguna jalan melewati rel kereta itu. Tak ayal, jalur kereta ini sempat menjadi keluhan setelah terjadi beberapa kali kecelakaan. Bahkan informasinya pernah ada usulan agar ditutup saja jalur ini.
Tetapi setelah dievaluasi, kecelakaan yang terjadi lebih di sebabkan kelalaian pengendara non kereta tadi. Kereta yang melintas sudah di atur kecepatannya sekitar 30 km/jam. Tidak boleh lebih. Berjalan stabil, disertai klakson berkali-kali, harusnya pengendara mobil, motor, sepeda, orang berjalan, sudah paham keberadaan kereta yang sedang melintas. Tidak berjalan berdekatan atau bahkan sengaja memotong jalur kereta. Jika kehati-hatian dipatuhi, pasti akan terhindar dari kecelakaan. Dari sisi pariwisata tentu saja menambah daya tarik dan pesona kota Solo.
Kereta penumpang sendiri melintas jalan Slamet Riyadi antara pukul 06.00 sampai 06.30. Saat itu kereta melintas dari Stasiun Purwosari menuju Wonogiri. Arah balik dari Wonogori ke Stasiun Purwosari di perkirakan antara pukul 10 sampai 11 siang. Pada akhir pekan, sekitaran jalur ini ramainya bukan main lantaran di sekelilingnya ramai dengan aktivitas warga memanfaatkan CFD (car free day).
Sepur Kluthtuk
Bahkan sempat ada kereta wisata berbahan uap khusus melayani turis. Namanya Kereta Api Uap Jaladara. Nama lainnya Sepur Kluthuk Jaladara. Melayani rute pendek Stasiun Purwosari hingga Stasiun Solo Kota (Kota Liwet). Sebagai kereta wisata, meski rutenya pendek KU Jaladara berhenti di beberapa tempat wisata.
Penumpang bisa turun di Diamon Convention Centre, Solo Grand Mall, House of Danar Hadi, Museum Radya Pustaka Sriwedari. Mirip angkutan bis atau mobil wisata yang kita carter untuk berhenti di beberapa tempat. Sayang kereta wisata ini tidak aktif saban hari. Jaladara hanya beroperasi di hari tertentu, yang dijalankan sesuai permintaan Pemerintah Kota Surakarta. Masih banyak wisatawan yang memanfaatkan perjalanan spur “kluthuk” Jaladara itu untuk berwisata, terutama wisatawan mancanegara penggemar kereta api kuna.• [Andrian Saputri]