Pembangunan berkelanjutan sejatinya bertujuan memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan peluang generasi yang akan datang. Pengamat Tata Kota Norwono Joga menyebut ada tiga unsur penting yang harus dipenuhi dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu kesejahteraan ekonomi, kualitas lingkungan dan kesetaraan ekuitas.
baca juga, Harga Terus Melambung, Bisakah Gaji UMP Jakarta Beli Rumah?
“Mereka yang mencintai kehidupan pasti membangun daerah, kota atau lingkungannya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip hijau,” kata Joga.
Lantas, apa itu kota dan bangunan hijau, mengapa perlu membangun kota hijau, siapa yang mewujudkannya, bagaimana sejauh ini respon pemerintah, pelaku bisnis properti dan warga di seluruh penjuru negeri merespon pembangunan berkelanjutan?
Prinsip hijau adalah, terang Joga, komitmen terhadap lingkungan sebagai bagian dari ideologi yang lebih luas. Hubungan manusia dengan alam diplot paling hakiki, senantiasa membangun masyarakat yang nonmaterialis, desentralis dan mengusung nilai-nilai kooperatif.
Hematnya, green city maupun green building adalah upaya untuk melestarikan lingkungan. Caranya, dengan mengembangkan sebagian lingkungan suatu kota menjadi lahan-lahan hijau yang alami untuk menciptakan keseimbangan antara kehidupan alami lingkungan itu dengan manusia.
“Konsep green bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dari manusia yang menghuni dan lingkungan itu sendiri,” jelasnya.
Contoh lainnya, material bangunan daur ulang yang cenderung masih mahal dibandingkan material biasa. Akibatnya, harga material bangunan daur ulang tidak bisa kompetitif sehingga kalah saing dengan material biasa.
”Produsen material ramah lingkungan umumnya harus berjuang sendirian. Pemerintah mengharuskan (produsen material) mengarah ke lingkungan berkelanjutan, tetapi pemerintah tidak memberikan kompensasi atau insentif. Akibatnya, pengembang properti pun harus mematok harga jual properti yang mahal ke masyarakat,” ujarnya.
Realitas tersebut membuat pengguna properti ecoliving baru sebatas kelompok menengah ke atas dan kelompok warga yang idealis terhadap lingkungan. Hal ini bukan berarti warga kelompok menengah ke bawah tidak sadar lingkungan, tetapi mereka lebih pragmatis terhadap harga jual material bahan bangunan dan properti hunian ecoliving yang mahal.
”Padahal, kalau pemerintah serius ingin mengurangi emisi karbon, produk green living ini harus dibuat massal dan harganya terjangkau. Porsi warga yang berasal dari kelompok menengah ke bawah itu besar,” jelas pengamat yang banyak memberi saran penting pada stakeholder di perkotaan dan daerah ini.
Kriteria
Melansir dari buku Greenesia karya Joga (2014), di Indonesia, sektor bangunan mengonsumsi energi terbesar ketiga setelah industri dan transportasi. Ini menunjukkan bahwa pembangunan gedung memerlukan energi yang tak sedikit.
Ia juga menyebut bangunan menjadi penghasil emisi karbon terbesar yakni sekitar 70 persen. Oleh karena itu, pembangunan sebuah gedung perlu dirancang agar tidak menghasilkan banyak emisi dan tetap ramah lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan manfaat green building.
Salah satu pendukung dalam green building ialah pengelolaan sampah yang baik. Gedung yang menerapkan green building harusnya sudah memiliki sistem pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Selain pengelolaan sampah, Joga merinci sejumlah kriteria yang patut ditempuh untuk mewujudkan bangunan dan kota hijau, diantaranya perencanaan dan perancangan kota (green planning and design), yang bertujuan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau, upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Kedua, pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga menjadi keniscayaan. Hal ini untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik kota atau kabupaten, dengan target 30 persen.
Ketiga, adalah green community, yaitu pengembangan jaringan kerjasama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat. Selanjutnya, yang ke empat adalah pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah dengan menerapkan zero waste yang minim menyisakan limbah adat, cair dan gas, pengembangan sistem transportasi berkelanjutan yang mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan, serta berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak pendek.
Kriteria lainnya adalah peningkatan kualitas air dengan menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoff dimana air hujan dapat diserap tanah, tidak menjadi genangan atau aliran air permukaan. Cara membangun yang tanggap lingkungan dengan memanfaatkan sumber energi efisien dan ramah alam juga kriteria penting mewujudkan konsep bangunan dan kota hijau.
Rentetan kriteria tersebut dinilai Joga tak berlebihan karena kota layak huni memang harus memenuhi beberapa indikator. Selain faktor stabilitas keamanan kota dan kesehatan warganya, ada aspek lingkungan. “Lingkungan meliputi ruang terbuka hijau, pencegahan
pencemaran lingkungan. Kemudian fasilitas, akses, dan tingkat pendidikan warga, serta pembangunan infrastruktur seperti infrastruktur kota, sistem transortasi, jaringan utilitas. Itu satu kesatuan prinsip green city,” lugasnya.
Apresiasi dan Ikut Andil
Perusahaan pengembang diminta ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan. Mereka bukan saja diminta untuk tidak merusak lingkungan melainkan juga mengembangkan proyek dengan kaidah-kaidah ramah lingkungan.
Menurut Joga, pengembang harus bisa menjadi pelopor dalam hal mengembangkan lingkungan yang lebih nyaman tanpa harus merusak alam.
Contoh kecil, konsep pengembangan dengan sistem klaster. Pengelompokan hunian tersebut bisa dilakukan sejauh di setiap klaster disediakan fasilitas sehingga penghuni tidak perlu keluar kawasan.
“Semuanya (sebaiknya) walking distance, dibuatkan juga jalur pejalan kaki yang nyaman untuk warga beraktifitas. Kalau perlu kendaraan bermotor parkir di luar, tidak boleh masuk ke dalam kawasan klaster. Dengan begitu kawasannya akan lebih sehat karena polusi dapat berkurang drastis selain warganya juga lebih sehat karena sering berjalan kaki,” ujarnya.
Joga mengatakan, pemerintah sebaiknya memberikan apresiasi kepada pengembang yang mengembangkan proyeknya dengan kaidah-kaidah ramah lingkungan. Kalau ada pengembang yang membangun pedesterian dan jalur sepeda pemerintah sebaiknya segera masuk dengan memasang rambu-rambu lalu lintas, penerangan jalan, dan fasilitas penunjang lainnya. Selain itu pemerintah sebaiknya memberi kemudahan
perizinan atau diskon pajak kepada pengembang yang membangun proyek ramah lingkungan.
Warga juga perlu didorong mau keluar rumah dengan berjalan kaki atau bersepeda. Ia memberi contoh Bintaro Xchange Mall di perumahan Bintaro Jaya, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Mall tersebut dilengkapi pedestrian, jalur sepeda, dan dekat dengan stasiun. Menurutnya, dorongan tersebut tidak cukup hanya dengan anjuran tapi harus dengan pancingan. Misalnya pengembang bekerja sama dengan tenant di
mal untuk memberikan welcome drink kepada pengunjung yang bersepeda atau jalan kaki. Bisa juga memberi diskon untuk minum kopi di gerai tertentu. Hal-hal ini dapat menjadi budaya baru khususnya bagi kalangan muda yang dipelopori oleh pengembang.
“Masyarakat perlu juga diberi diskon iuran pengelolaan lingkungan (IPL) bila mau berjalan kaki atau menggunakan kendaraan umum. Bila hal-hal seperti ini terus dilakukan dengan konsisten, nanti kita akan terbiasa dan menjadi budaya yang baik bagi seluruh masyarakat,” pungkasnya. l [Andrian Saputri]