PropertyandtheCity.com, Tangerang (Banten) – Selain saham dan emas, properti menjadi salah satu pilihan investasi yang patut dipertimbangkan. Investasi properti cukup mudah dan sederhana. Kunci utamanya hanya dua, yaitu lokasi dan tidak terburu-buru menjual. Sebab, properti merupakan investasi jangka panjang dan tidak likuid. “Investasi properti itu paling mudah dan nyaris tanpa risiko, istilahnya dicuekin saja harganya naik sendiri,” lugas Djoddy Sudrajat (52), salah satu investor yang cukup lama berbisnis property di wilayah Jabodetabek.
Ia mencontohkan investasi tanah atau ruko. Dua jenis properti ini dibiarkan saja harganya bergerak sendiri. Benar saja, Djoddy punya empat unit rumah dan kaveling di Cikokol, Kota Tangerang dan Sawangan, Depok (Jawa Barat). Ia juga membeli tiga unit ruko di beberapa lokasi di Kabupaten Tangerang. “Ruko yang di Cisauk itu sudah delapan tahun disewa Alfamart dijadikan Alfamidi,” ungkap Pria asli Pandeglang yang sudah lama menetap di Serpong ini.
Tengah tahun lalu ia baru belanja kaveling di Cikupa, Kabupaten Tangerang, yang akan disulap menjadi ruko. Luas tanahnya 1.200 m2. Di situ ia membangun 15 unit ruko dalam bangunan dua lantai. Menurut hitungannya, ruko tersebut akan kembali modal (BEP) dalam tiga tahun. “Awalnya hanya akan saya sewakan, ternyata pembangunannya baru setengah jalan sudah banyak yang mau beli. Akhirnya surat-surat saya split, saya jual 10 unit sisanya disewakan saja. Sekarang sudah full disewa untuk jualan sembako dan laundry,” ungkap Pria asli Pandeglang yang sudah lama menetap di Serpong ini.
Masih di kawasan Tangerang Raya, Atikah (47) membeli ruko hook di dalam perumahan Villa Pamulang, Pamulang, Tangerang Selatan. Ia membelinya seharga Rp650 juta pada tahun 2014, bangunan dua lantai seluas 240 m2 di atas tanah 115 m2. Bangunan ruko ia manfaatkan sendiri untuk berdagang perlengkapan dan perabotan rumah, sementara sisa lahan hook disamping disewakan kepada sejumlah UKM untuk berdagang. “Ada enam pedagang yang sewa, rata-rata mereka jualan makanan. Per bulannya satu juta (rupiah), tapi satu penyewa ada yang ambil dua lot. Emang untung sih beli ruko asal lokasinya benar, dilalui banyak kendaraan, penghuninya juga padat, ini supaya pasarnya sudah jelas kalau mau buka usaha,” ujar Ibu empat anak ini.
Pengalaman dua orang tersebut menjadi bukti bahwa kelengkapan fasilitas, kemudahan akses, dan banyaknya infrastruktur pendukung di sebuah kawasan hunian akan menjadi pertimbangan bagi para pencari properti. Apalagi jika sudah masuk kategori kota mandiri yang secara konsep memang menawarkan paket komplit. Beragam kebutuhan warga dapat terpenuhi di dekat tempat tinggalnya tanpa harus keluar kawasan karena seluruh kebutuhan harian dan lifestyle termasuk area komersial tersedia di dalam kawasan. Pasar modern, mal, hypermarket, pusat kuliner, rumah sakit, sekolah bermutu, perguruan tinggi, hotel, perkantoran, dan ribuan ruang usaha semuanya ada.
Konsep ini membuat permintaan dan investasi properti di sebuah township naik signifikan. Sebut saja Gading Serpong di Tangerang, Banten. Siapa nyana dulu area yang hanya hamparan ilalang dan kebun karet ini kini menjadi pengembangan properti yang menjanjikan. Kawasan ini dikembangkan perusahaan developer besar, PT Summarecon Agung Tbk dan Paramount Land, yang mengembangkan Summarecon Serpong dan Paramount Land (1.000 ha).
Pertumbuhan Gading Serpong didorong oleh infrastruktur yang semakin bagus. Selain dekat jalan tol Jakarta – Merak, kawasan ini terkoneksi dengan pusat-pusat pertumbuhan di sekitarnya, yaitu BSD City dan Lippo Karawaci. Kini di sepanjang jalur penghubung itu berkembang kawasan komersial yang cukup massif.
Koneksitas Gading Serpong dengan kawasan sekitarnya membuat kawasan yang dulu tertutup menjadi terbuka. Koneksitas ini mendorong perekonomian Tangerang tumbuh lebih cepat,” ujar Bupati Tangerang Ahmed Zaki Isakandar, di Tangerang, beberapa waktu lalu.
Zaki menyatakan Pemerintah Kabupaten Tangerang akan memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur di sekitar Gading Serpong agar lebih luas lagi kawasan yang terkoneksi dengan pusat pertumbuhan ini. Ia berharap terciptanya koneksitas antar kawasan itu akan lebih memacu perkembangan kawasan yang lebih luas.
Presiden Direktur Paramount Land, M. Nawawi mengatakan, tingginya permintaan hunian turut memicu kebutuhan masyarakat akan fasilitas komersial dan bisnis di Kota Gading Serpong. Apalagi, populasi kota ini telah mencapai 20.000 KK yang mencakup 120 ribu jiwa dengan jalan boulevard yang dilewati hingga 6.500 kendaraan per jamnya. “Kota ini juga telah menjadi pusat bisnis dan residensial dengan lebih dari 40 klaster hunian yang telah ramai, sehingga captive market telah terbentuk,” ujar Nawawi.
Masih Sepertiga
Menjadi umum jika kemudian pengembang kota baru berkomitmen untuk terus mengembangkan proyeknya agar semakin sustainable sekaligus memastikan value dari kotanya tersebut terus tumbuh. “Salah satu bentuk komitmen kami adalah dengan terus melakukan penambahan fasilitas dan infrastruktur bagi masyarakat untuk menambah kenyamanan setiap penghuni dan pelaku bisnis,” terangnya.
Menurut Director Advisory Services Colliers Internasional Indonesia, Monica Koesnovagril, wilayah koridor barat khususnya Gading Serpong telah bertumbuh menjadi kawasan elit seiring perkembangan sejumlah fasilitas, khususnya infrastruktur jalan tol dan transportasi publik di kawasannya. “Hingga saat ini harga tanah di kawasan Serpong khususnya Gading Serpong menjadi yang paling mahal di antara wilayah penyangga Jakarta lainnya. Kelengkapan fasilitas, kemudahan akses, hingga perkembangan lain kawasan ini membuat kawasannya berkembang bukan hanya untuk hunian tapi juga bisnis, komersial, dan lainnya yang ditunjang dengan berkembangnya populasi,” ujarnya.
40 tahun lalu harga tanahnya masih puluhan ribu rupiah, jauh bila dibanding sekarang yang sudah belasan juta rupiah per meter persegi (m2). Rumah.com tahun lalu sempat melansir median harga properti komersial di Gading Serpong yang menyentuh angka di kisaran Rp20 juta hingga Rp30 juta per m2. Harga itu jauh berbeda bila bergerak ke lebih barat Jakarta lagi atau sisi selatan Serpong yaitu di kawasan Bitung-Cikupa, Kabupaten Tangerang. Harga tanah di kawasan ini, seperti di township Paramount Petals (400 ha) baru mencapai sepertiganya Gading Serpong.
Rerata harga tanah di Kabupaten Tangerang adalah Rp12,4 juta per meter persegi (m2), dengan rincian area Kosambi Rp19,5 juta per m2, Kepala Dua Rp15,6 juta per m2, dan Cikupa sampai Sindang Jaya berkisar mulai Rp6,8 juta per m2. Padahal jarak Gading Serpong – Bitung dan Cikupa melalui jalan tol Jakarta – Merak hanya sekitar 15 menit. Dengan harga yang belum terlalu tinggi itu wilayah Bitung menerus hingga Cikupa dan Balaraja masih dapat mengembangkan properti komersial cenderung lebih murah. “Arahnya ke selatan Serpong. Apalagi pemerintah setempat juga memberikan perhatian akses infrastruktur seperti melakukan perbaikan atau pelebaran jalan di koridor tersebut,” jelas Monica.

Secara struktur ekonomi, lanjutnya, Kabupaten Tangerang merupakan wilayah dengan peran manufaktur yang dominan, sekitar 34%. Dominasi manufaktur juga cukup kuat di Kota Tangerang. Akan tetapi, karakteristik manufaktur di kedua daerah ini sangat berbeda. Di Kota Tangerang, katanya, manufaktur berskala kecil, sedangkan manufaktur berskala besar lebih banyak dijumpai di Kabupaten Tangerang. “Maka pengembangan kawasan industri dan area komersil seperti ruang usaha lebih dimungkinkan berlangsung di Kabupaten Tangerang, dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan, perkembangan infrastruktur jalan tol, bandara dan pelabuhan, juga harga lahan yang relative lebih rendah dan feasible untuk pengembangan skala kawasan industri terintegrasi dengan pemukiman skala kota,” papar Monica.
Jumlah penduduknya yang cukup besar 6,5 juta jiwa menjadi ceruk potensial untuk membuka usaha untuk sumber pendapatan baru, maupun pengembangan bisnis yang sudah berjalan. Peluang ini sejalan dengan tren pergeseran pengembangan usaha dari Jakarta ke kawasan penyangga, khususnya di Tangerang Raya.
Pengamat Perkotaan Nirwono Yoga berujar, kota mandiri sampai hari ini masih menjadi target pencari properti yang bias memberikan imbal hasil bagi kalangan menengah atas dan keluarga yang mulai mapan, sehingga dinilai cukup potensial untuk target market berbagai usaha. “Mereka juga membuka usaha di ruko atau rumah di dalam kawasan karena melihat potensi pasar yang sedang berkembang pesat. Itu yang saat ini terjadi di Bintaro Jaya dan Gading Serpong. Jadi bukan tidak mungkin, kota-kota baru lainnya yang belum lama ini dikenalkan ke pasar tentu memiliki potensi bagus, bahkan lebih baik karena baru memulai sehingga pertumbuhan harganya masih besar,” paparnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, jalanan yang lebar di dalam kawasan dan penataan arsitektur lansekap yang asri sangat berpengaruh terhadap konsumen untuk tertarik membeli properti tersebut. “Jalan tol jelas kedekatan aksesibilitas ke berbagai tempat keluar kawasan, jalan lebar membuat nyaman berkendara, bersepeda, atau sekadar jalan kaki di trotoar yang lebar. Sedangkan lingkungan hijau dapat menyejukkan, menghilangkan stress. Orang jadi suka tinggal di dalam kawasan, sehingga memicu permintaan ruang usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penghuni kawasan,” tutur Yoga.
Perlu Meraba-Raba
Terkait hal itu, Senior Advisor Research Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat menilai yang sama, bahwa di dalam pengembangan kawasan baru, potensi bisnis ruang usaha untuk dipakai sendiri ataupun investasi untuk disewakan terbuka lebar. Keduanya memiliki imbal hasil menggiurkan karena ceruk market-nya masih luas, pun captive market-nya jelas. Itu pula yang menyebabkan kenaikan properti atau capital gain dari properti komersial di daerah pengembangan kota mandiri baru berkembang.

Kendati demikian, tetap disarankan konsumen mencari informasi sejauh mana komitmen developer menghidupkan proyeknya. Ini sangat penting, karena itu Syarifah menyarankan konsumen jangan hanya terbuai penawaran harga yang murah, tapi kritisi progress semua infrastruktur dan fasilitas yang dijanjikan dalam iklan developer. Contoh, jika developer menjanjikan akan menghadirkan sekolah berkualitas, sebaiknya ditanyakan sekolah atau kampus apa yang akan masuk, sudah ada perjanjian atau baru wacana. Juga fasilitas umum seperti pembangunan jalan bulevar kawasan, serah terima rumah, apakah sudah terlaksana dengan baik dan benar. Kalau developer tidak dapat menunjukkan fakta di lapangan atau sebatas klaim, konsumen harus waspada. “Investor tentunya masih meraba-raba akan seperti apakah pengembangan wilayah tersebut dalam 5-10 tahun mendatang. Waktu yang terbilang bukan cepat,” ujarnya.
Komposisi konsumen juga perlu dipertimbangkan. Perbandingan pembeli investor dengan enduser (pemakai akhir) harus lebih banyak enduser, supaya perumahan/apartemen cepat hidup. Kalau sebaliknya, konsumen investor lebih dominan, proyek properti itu sulit untuk segera hidup. Terlebih bicara area komersial untuk membuka bisnis, captive market-nya harus jelas di awal. “Kalau tidak, proyek akan menjadi ghost town (kota hantu). Kalau sudah begini, orang yang akan menyewa pun jadi tidak tertarik sehingga harganya sulit diharapkan cepat naik,” jelas Syarifah.
Meski begitu, ia tak mengelak jika harga pengembangan satu daerah dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, belum lagi sulitnya perijinan yang dibutuhkan developer yang sesuai dengan rencana pengembangannya. Namun saat kawasan ruko dan sekitarnya naik status, berkembang dan banyak area komersial, harga properti pun akan melonjak tinggi. “Orang yang akan investasi properti cenderung memilih kota mandiri yang cenderung baru dikembangkan. Dan investor bisa melirik investasi properti komersial selain properti residensial yang nantinya bisa menambah sumber pendapatan baru,” ungkapnya.