TOD adalah upaya kita untuk mengurangi perjalanan. Artinya dalam suatu kawasan itu semuanya ada atau palu gada, apa lu mau gue ada. Dengan demikian kita tidak lagi melakukan perjalanan keluar karena semuanya sudah ada dalam satu tempat tersebut. Kalaupun terpaksa melakukan perjalanan maka menggunakan transportasi publik. Itulah yang dinamakan dengan TOD atau transit oriented development.
Pembangunan yang berorientasi transit, artinya berorientasi pada transportasi publik.
baca juga, JENUH MELURUH DI PARU-PARU PAMULANG
Persyaratan utama dari sebuah TOD adalah setidaknya terdapat dua moda transportasi publik di lokasi tersebut. Kalau di Jakarta rata-rata saat ini sudah ada yang namanya kereta KRL dan bus. Bisa lebih banyak dari itu sehingga kalau kita mau pergi itu pun tidak menimbulkan banyak tambahan lalu lintas. Kemudian di dalam kawasan TOD itu sendiri juga ke mana-mana kita jalan kaki. TOD-kan diameternya adalah 500-700 meter dari stasiun. Itu adalah prinsip dasar daripada TOD tersebut.
Namun yang sering salah dimengerti misalnya, ada apartemen yang dibangun di sebelah stasiun sehingga mereka menganggap itu sebagai TOD. Tidak semua stasiun itu TOD. Bahkan di Jakarta sendiri sebenarnya belum ada TOD. Adapun lokasi-lokasi yang direncanakan atau dialokasikan untuk membangun TOD ada banyak. Tetapi yang terwujud saat ini belum ada yang benar-benar mengaplikasikan atau menerapkan konsep TOD tersebut.
TOD itu diturunkan dari konsep kota kompak. Kota kompak berarti semuanya ada dalam satu kawasan atau mixed use, sehingga memang kepadatannya tinggi. Gedungnya juga menjadi tinggi-tinggi karena semuanya dipadatkan. Kota kompak juga menjadi prinsip dasar dari kota-kota modern, karena sangat mengurangi perjalanan. Keberadaan TOD ini juga tentu sangat signifikan menekan tingkat kemacetan, seperti di Jakarta. Ini karena banyak orang tidak melakukan kegiatan pergi ke mana-mana. Kalaupun pergi mereka menggunakan transportasi publik sehingga mengurangi kemacetan.
Saat ini di Jakarta sudah tersedia beberapa alternatif pilihan transportasi publik mulai dari Bus Transjakarta atau BRT, kemudian LRT Jabodebek
dan KRL Commuter Line. Memang sudah cukup lengkap tetapi menurut saya belum maksimal untuk mendukung atau mendorong penerapan konsep TOD. Studi juga menunjukkan bahwa di Jakarta ini masih banyak blank spot, tempat-tempat dimana masih susah mendapatkan kendaraan umum. Padahal yang paling benar adalah, misalkan kita turun dari KRL kemudian ada Bus TransJakarta, LRT atau ada MRT. Contohnya seperti di Sudirman, begitu kita turun dari KRL, jalan kaki sebentar dan ada MRT atau Bus TransJakarta.
Salah satu tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana mengubah kebiasaan orang untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan menggunakan kendaraan umum. Tetapi terkadang kebiasaan itu bisa berubah ketika mereka merasakan manfaatnya. Misalnya seperti
saya ke kantor menggunakan KRL. Dari rumah saya jalan kaki ke stasiun KRL, kemudian turun di Tanah Abang atau Manggarai dan lanjut naik
Bus TransJakarta. Waktu perjalanan lebih cepat dan uang yang saya keluarkan pun sangat murah, hanya Rp13.000. Jadi manfaat-manfaat seperti inilah yang bisa mengubah sikap orang.
Kemudian kalau dulu, yang naik KRL mungkin masyarakat bawah. Jarang orang kantoran naik KRL, apalagi yang level menengah ke atas. Tetapi saat ini sangat banyak sekali mereka naik KRL, busway atau naik MRT. Jadi sebetulnya sudah mulai terjadi perubahan, apalagi sistem itu memaksa orang untuk berubah. Cara lainnya yaitu tarif parkir dimahalkan, sehingga pemilik kendaraan beralih ke transportasi publik.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana membangun sinergi dan kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan pemda lainnya, seperti Jawa Barat dan Banten. Namun setahu saya, pemerintah pusat melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek juga sedang merancang transportasi Jabodetabek secara keseluruhan. Dengan ini, harapannya orang-orang yang masuk ke Jakarta tidak lagi menggunakan kendaraan
pribadi tetapi menggunakan kendaraan umum. •Oswar Mungkasa Perencana Ahli Utama Bappenas
[Pius]