Kenaikan suhu rata-rata di bumi, perubahan curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan frekuensi bencana yang berhubungan dengan cuaca seperti penyediaan sumber makanan dan air minum, merupakan dampak dari aktivitas yang berlebihan saat ini. Jika membiarkan keadaan ini terus berjalan seperti biasa, maka diperkirakan pada tahun 2100 suhu rata-rata di bumi meningkat 4,5 derajat celcius dan
permukaan air laut naik sekitar 95 cm. Beberapa negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, Maladewa, dan Karibia akan kehilangan sebagian besar wilayahnya termasuk terganggunya kehidupan di dunia.
baca juga, Tips Membangun Tangga Rumah yang Ideal dan Ekonomis ala Gravel
Pada 2060, Indonesia menargetkan nol emisi bersih. Untuk mencapai target tersebut, pembangunan infrastruktur berbasis material konstruksi hijau terus ditingkatkan. Namun kendala demi kendala masih menghambat, salah satunya masih belum meningkatnya kesadaran para pelaku bisnis properti untuk menerapkan konsep hijau di proyekproyeknya. Selain masalah biaya di awal, saat ini belum ada kebijakan yang cukup
untuk ‘memaksa’ sekaligus ‘mendorong’ mereka untuk lebih ‘hijau’.
Selama ini kebijakan perpajakan di Indonesia masih lebih menitikberatkan pada fungsi budgetary, sedangkan fungsi perpajakan sebagai regulatory masih jauh dari angan-angan (Makmun, 2019). Padahal di banyak negara kini sudah banyak yang memberlakukan green tax
dan menunjukkan sumbangan terhadap total penerimaan pajak negara. Selama ini untuk menjalankan kebijakan lingkungan pemerintah hanya mengandalkan sarana pengaturan yang sifatnya tradisional seperti izin dan persyaratan pemakaian teknologi pencemaran. Padahal kunci utama penanggulangan masalah lingkungan adalah biaya, di sini berlaku the polluter pays principle. Prinsip ini juga diberlakukan oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai pangkal tolak kebijakan lingkungan yang efisien dan efektif. Jadi green tax merupakan instrumen pengendalian pencemaran yang paling efektif, karena merupakan insentif permanen, guna mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangannya.
Green tax hingga kini belum diterapkan di Indonesia, meski sudah diakomodir dalam RUU Pajak dan Retribusi Daerah, hingga kini RUU pun belum juga diberlakukan. Sebagian pengusaha sudah memberikan sinyal respon negatif untuk diberlakukannya green tax. Karenanya memberlakukan green insentive dapat juga sejalan dirumuskan. Faktor pendorong dari green insentive dapat mereduksi dampak paksaan yang mungkin dirasakan pada penerapan green tax. Tanpa ada insentif para pelaku bisnis semakin lambat untuk menerapkan konsep green pada
proyeknya terkait biaya investasi di awal yang lebih tinggi, meskipun disadari bersama dalam jangka waktu panjang akan sangat efisien.
Dalam konteks yang lebih luas, sebaiknya pemerintah tidak hanya melihat dari sisi penerimaan pajak, namun juga bagaimana menjaga bumi supaya lebih baik dan langkah awal pemerintah harus juga memberikan contoh dengan menerapkan proyek-proyek strategis dengan konsep
green.