PropertyandTheCity.com, Jakarta – Tidak banyak akses dan kesempatan untuk mendapatkan Karya-karya maestro Indonesia, khususnya seniman maestro ternama seperti Affandi, S Sudjojono, Srihadi Sudarsono,
Koleksi maestro tentunya telah banyak dimiliki dan disimpan oleh para kolektor terdahulu yang memiliki koleksi-koleksi tersebut. Selain itu, saat ini, ada banyak alasan mengapa para kolektor memilih membeli dari lelang dibanding galeri, termasuk akses terhadap karya yang paling banyak dicari; proses pembelian yang lebih mudah; transparansi mengenai permintaan dan harga, melalui aktivitas penawaran dan data pasar sekunder gratis; dan terkadang, potensi untuk mendapatkan karya berkualitas tinggi dengan harga yang relatif terjangkau.
Auction Global mempersembahkan pilihan karya luar biasa lebih dari 147 karya seni modern dan kontemporer yang dikurasi dari para Maestro Asia Tenggara dan seniman ternama. Sorotan bulan ini menampilkan karya-karya memukau dan sangat layak untuk dikoleksi. Para kolektor tentunya mendapat kesempatan untuk menelusuri mengapa karya-karya penting ini dan karya-karya luar biasa lainnya wajib dimiliki.
Selaku Direktur Global Auction, Kevin Oenardi Raharjo menyemangati para kolektor khususnya kolektor muda untuk mengkoleksi karya-karya masterpiece dari para maestro yang memiliki nilai seni tinggi. Ini merupakan kesempatan langka untuk menghadirkan karya-karya tersebut melalui lelang.
Affandi
Dianggap sebagai salah satu seniman ulung paling berprestasi di Asia Tenggara, Affandi telah mengadakan pameran tunggal di Indonesia dan berkeliling Eropa, mewakili Indonesia dalam pameran internasional di Brazil dan Venesia, memenangkan hadiah pertama di San Paolo, dan mengadakan pameran tunggal di World House Gallery New York. Selain pameran dalam dan luar negeri, Affandi juga pernah mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Singapura, dianugerahi gelar Grand Maestro dari San Marzano, Florence, Italia, dan masih banyak lagi penghargaan bergengsi.
Maestro Indonesia, Affandi menampilkan tiga karya dengan kurasi tema yang berbeda. Masing-masing memiliki ciri khas yang secara gamblang menampilkan gaya unik dan kedalaman emosi Affandi.

“Three Stray Dogs” merupakan salah satu karya istimewa Affandi. Inspirasi karya ini berasal dari pengamatannya terhadap Pak Jimin, sopirnya, sedang memberi makan sekawanan anjing liar di bawah pohon cendana di Bali. Sang maestro kerap mencari inspirasi lukisannya saat sering berkunjung ke Bali.
S.Sudjojono
Maestro S. Sudjojono adalah seorang pelukis yang terkenal dengan kejujuran dan keikhlasannya dalam merefleksikan warna, bentuk, dan proporsi dalam pengamatannya. Untuk benar-benar menghargai karya seninya, kita perlu memahami dedikasinya. Sejak masa perjuangan, ia dengan berani menggambarkan situasi realistis atau kondisi aktual di Indonesia dengan gaya impresionisnya yang khas. Saat melukis suatu benda, Sudjojono selalu memahami karakter dan ciri sesaat dari benda yang dilukis.

Lahir pada tahun 1913 di Kisaran, Sudjojono secara luas dianggap sebagai “Bapak Seni Lukis Modern Indonesia”. Pengaruhnya jauh melampaui kanvas. Prestasi seni Sudjojono banyak sekali. Dia bukan hanya seorang pelukis berbakat tetapi juga seorang pematung, ahli keramik, dan pembuat furnitur.
Warisan Sudjojono meluas hingga ke luar Indonesia. Karya-karyanya telah dipamerkan secara internasional, termasuk di Rijksmuseum Amsterdam yang bergengsi. Pengakuan dan penghargaan atas karyanya berbicara banyak. Beberapa lukisannya bahkan terjual lebih dari satu juta dolar di berbagai rumah lelang, sebuah bukti pengaruhnya yang abadi terhadap dunia seni.
Srihadi Soedarsono
Dengan pengalaman lebih dari lima dekade di dunia seni rupa, Srihadi Soedarsono dianggap sebagai salah satu pelukis modern maestro Indonesia. Lahir di Solo pada tanggal 4 Desember 1931, kecintaan Srihadi Soedarsono terhadap seni membawanya untuk melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung yang bergengsi pada tahun 1958.

Salah satu karyanya yang berharga berjudul “Bedoyo Ketawang-Energi Kecantikan Batin” yang menggambarkan keindahan unik tari Keraton Surakarta yang hanya ditampilkan pada acara-acara khusus di lingkungan keraton. Ketiga penari tersebut berdandan dari ujung kepala sampai ujung kaki, menyerupai pengantin putri dari istana. Mereka mengenakan sanggul emas berhiaskan bunga melati putih yang menjuntai hingga ke pinggang, disertai kalung indah berwarna tembaga.
Lee Man Fong
Lee Man Fong berhasil memadukan gaya Tiongkok dan Barat dalam karya seninya. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Indonesia, di mana ia menciptakan gaya artistik berbeda yang secara harmonis memadukan beragam pengaruh untuk membentuk perspektif artistiknya yang tenang namun kuat. Ia diberikan beasiswa Malino yang didukung oleh Raja Muda Belanda Hubertus van Mook sementara reputasi seninya terus meningkat. Karya Lee Man Fong mencerminkan hubungannya yang mendalam dengan lingkungan alam, merayakan satwa liar dan pedesaan di Asia Tenggara.
Karya-karyanya dikoleksi oleh kolektor-kolektor besar di Indonesia, Galeri Nasional Singapura, dan mancanegara, memastikan bahwa kontribusinya terhadap dunia seni diakui dan diapresiasi di seluruh wilayah.

Lee Man Fong, Horses, 95 x 60 cm; oil on board
Dalam lukisan ini, Lee Man Fong menggambarkan dua ekor kuda dengan warna coklat yang berbeda-beda. Kuda yang paling depan sedang memakan rumput sedangkan yang di belakang berdiri dengan anggun. Selain itu, ia menyertakan pohon dengan batang bengkok di sebelah kanan. Kuda dikagumi karena kekuatan, keindahan, dan keanggunannya. Terlebih lagi dalam tradisi Tiongkok, Kuda memiliki arti penting dalam sejarah karena digunakan dalam peperangan, yang kini diterjemahkan sebagai simbol kekuatan dan keberanian. Dalam karya Lee Man Fong, 12 zodiak Tiongkok sering digambarkan dan di antara 12 zodiak tersebut, Kuda adalah salah satu yang paling langka untuk dilukis.
I Gusti Ayu Kadek Murniasih
Lebih dikenal dengan nama I GAK Murniarsih atau “Murni”, ia merupakan pelukis Bali pertama yang karyanya dikoleksi oleh Tate Modern Gallery, London, Galeri Nasional Singapura dan Australia, Museum Nasional Kebudayaan Dunia, Leiden, Belanda, dan masih banyak lagi.

100 x 150 cm; Acrylic on canvas
Tema seksualitas dan perjuangan perempuan menonjol dalam karya Murni, dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. Trauma yang dialaminya sebagai korban kekerasan seksual memaksanya untuk mengungkapkan emosinya di atas kanvas.
Sejak tahun 2019, karya seninya telah dipamerkan di berbagai pameran seni di Indonesia, Singapura, Jepang, Filipina, dan Hong Kong, termasuk di ajang bergengsi seperti Art Basel Hong Kong dan Basel.
Ahmad Sadali
Ahmad Sadali merupakan pionir perkembangan seni abstrak Indonesia. Lukisannya bukan sekadar karya seni belaka, melainkan hasil perjalanan hidup yang mendalam.

Ahmad Sadali, Gold Bar on Black Field, 1972, 40 x 45 cm; Mixed Media on Canvas
Dikenal juga sebagai bapak seni abstrak Indonesia, Sadali lulus dari Jurusan Seni Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1953, kemudian menjadi guru besar di Jurusan Seni pada tahun 1972. Ia menerima hibah dari Rockefeller Foundation belajar di Iowa State University dan New York Art Students League di Amerika Serikat pada tahun 1956 hingga 1957. Selain itu, ia melanjutkan studi lebih lanjut di Belanda dan Australia pada tahun 1977, dan di Pakistan pada tahun 1980. Penghargaan yang pernah diraihnya antara lain Anugerah Seni Art Award dari pemerintah Indonesia pada tahun 1972 dan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada Biennial Seni Lukis Indonesia pada tahun 1974 dan 1978.
Heri Dono
Lahir di Jakarta pada 12 Juni 1960, Heri Dono memulai perjalanan kreatifnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Hidup bagi Heri Dono berarti eksperimen terus-menerus untuk menemukan cara paling efektif dalam mengungkapkan ide-ide yang ada di benaknya. Heri Dono adalah seorang pelukis yang sangat kritis dan senang mengamati sekelilingnya dan memberikan kritik yang mendalam dari sudut pandangnya yang unik. Heri Dono terkenal dengan instalasi modernnya yang mengambil inspirasi besar dari Wayang, sebuah bentuk wayang tradisional Indonesia.
Sepanjang karirnya, ia telah meraih beberapa penghargaan, antara lain Dutch Prince Claus Award for Culture and Development (1998), UNESCO Prize (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa (Visual Arts Award) dari pemerintah Indonesia pada tahun 2014. berpartisipasi aktif dalam lebih dari 300 pameran dan 41 biennale internasional termasuk Asia Pacific Triennial (1993 & 2000), Gwangju Biennale (1995 & 2006), Sydney Biennale (1996), Shanghai Biennale (2000), dan berbagai edisi Venice Biennale (2003 & 2015). Selain itu, ia pernah tampil di Sharjah Biennial (2005 & 2023), Guangzhou Triennale (2011), Kochi-Muziris Biennale (2018), Bangkok Art Biennale (2018), dan Gangwon Kids Triennale (2020) di Korea Selatan.

Dikutip dari Heri Dono tentang lukisan berjudul “Tanah Dari Merapi” ini, saat bertemu dengan Mbah Marijan, penjaga spiritual Gunung Merapi Yogyakarta, ia melakukan upacara Ruwatan Bumi untuk memperingati Hari Bumi. Ia meminjam sementara sebidang tanah dan memamerkannya di depan Keraton Yogyakarta. Tiga minggu kemudian, dia mengembalikan lahan tersebut ke lokasi semula di Gunung Merapi.