Pengembangan properti Surabaya kian melesat dengan segmen pasar yang makin beragam. Potensi ada di selatan dan barat, karena lahan yang masih luas dan potensi jaringan infrastruktur.
Surabaya, seperti juga kota besar lainnya di Indonesia, propertinya terus mengalami pertumbuhan tipikal kota-kota besar di negara berkembang. Perkembangan Surabaya sebagai sebuah kota sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, baik dari angka kelahiran maupun masuknya imigrasi dari kota-kota di Indonesia Timur. Pada akhirnya, seperti juga Jakarta, kebutuhan akan hunian di Surabaya terus bertambah. Kawasan-kawasan baru bak kota mandiri tumbuh ke luar Kota Surabaya. Kini perkembangan kota Surabaya pun sudah melebar ke wilayah-wilayah sekitar membentuk wilayah penyangga Ibukota Jawa Timur ini.
Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di Jawa Timur. Bedanya kalau Jakarta menjadi magnet bagi penduduk dari seluruh Indonesia, Surabaya adalah magnet bagi mayoritas penduduk Indonesia Timur. Para pelajar Indonesia Timur dan Tengah yang ingin melanjutkan pendidikan, menempatkan Surabaya sebagai pilihan utama. Kawasan metropolitan Surabaya juga dikenal dengan Gerbangkertosusila, akronim dari Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan.
Kota berjuluk “Kota Pahlawan” ini identik dengan nilai-nilai heroisme. Berdirinya Kota Surabaya pada 13 Mei, hari ketika terjadi pertempuran bersejarah antara Raden Wijaya dan Pasukan Mongol di tahun 1293. Kota ini juga dikenal dengan sebutan Hujung Galuh yang berarti Tanjung Emas atau Perak yang identik dengan pusat ekonomi dan perdagangan saat itu sekitar Pelabuhan Tanjung Perak. Pada tahun 1365 cikal bakal Surabaya adalah kelompok kampung yang berpusat di sekitar muara Kali Mas. Sekitar tahun 1782 dilakukan pembangunan tembok di kota itu. Pembangunan tembok tersebut membuat penduduk pribumi yang semula tinggal di sekeliling perkampungan orang Eropa, Cina, dan Melayu menjadi tersisih dan bergeser ke luar dari tembok kota.
Namun seiring bertambahnya jumlah penduduk, benteng-benteng pembatas pun diruntuhkan sekitar 1870. Sejak saat itu, struktur kota modern mulai terbentuk yang ditandai dengan tumbuhnya perusahaan swasta. Kota Surabaya pun tumbuh dan bertumpu pada sektor industri dan perdagangan, dengan pelabuhan Tanjung Perak sebagai pusat aktivitas ekonomi.
Kota Surabaya mulai mengalami pembangunan secara besar-besaran sekitar Tahun 1900-an. Belanda merencanakan dan merancang dengan massal seluruh fasilitas-fasilitas penunjang sebuah kota. Pada masa itu Belanda banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan kota baik dari segi fisik bangunan, maupun dari segi peraturan dan manajemen perkotaan.
Kawasan Jembatan Merah dan Tunjungan disulap menjadi kawasan modern. Hingga awal abad 20, Surabaya berubah drastis menjadi kota modern yang makmur, penuh perkantoran kelas menengah, hotel-hotel mewah, pusat perbelanjaan yang prestisius dikelilingi perumahan-perumahan mewah dengan konsep kota taman (garden suburbs). Bahkan, Kota Surabaya disebut-sebut sebagai “The most modern city in the Indies.”
Setelah kemerdekaan Indonesia, pusat perkembangan arsitektur Kota Surabaya hanya terpusat ke wilayah Jembatan Merah dan sekitarnya. Pada tahun 1990-an dan 2000-an bangunan mulai bergaya modern dan post modern. Tahun 1990 ditandai dengan perubahan konsep, dari konsep koridor pengembangan menjadi konsep jalan lingkar (ringroad) untuk prasarana transportasi di Surabaya. Selain itu dilakukan pengontrolan ledakan proyek-proyek realestate berskala besar.
Pada tahun 2010-an, Kota Surabaya menjadi wilayah bangunan-bangunan tinggi. Surabaya seakan berpacu dengan Jakarta untuk urusan properti komersial maupun hunian. Bahkan, data yang dirilis oleh konsultan properti, Colliers International, hingga tahun 2021, bakal ada 21 apartemen baru di Surabaya dan sekitarnya. Selain itu, juga akan ada sebanyak tujuh hotel, enam pusat perbelanjaan dan lima proyek perkantoran. Sehingga sejalan dengan konstribusi sektor properti secara keseluruhan di Jawa Timur yang menyubang 28 persen PDRB provinsi pada tahun lalu.
Kawasan Hunian
Perkembangan pemukiman dalam kawasan-kawasan perumahan bahkan sudah menyebar sebelum tahun 1970-an. Kawasan utara dan selatan Surabaya sudah berkembang lebih maju lantaran punya daya tarik seperti keberadaan Pelabuhan Tanjug Perak dan Kali Mas. Di kawasan utara dan selatan juga banyak dijumpai kawasan kampung tua. Menyusul kemudian pada tahun 1960-an hingga 1970-an terjadi perkembangan di wilayah timur dan barat Surabaya.
Kota Satelit Darmo seluas 650 hektar di Surabaya Barat tumbuh sebagai kawasan pemukian modern terbesar saat itu. Kompleks perumahan ini terdiri dari tiga brand berbeda, yakni Darmo Baru, Darmo Indah dan Darmo Harapan. Ada tiga pengembang menggarap kawasan ini, yakni Intiland yang waktu itu masih bernama Dharmalaya, Darmo Permai dan Darmo Satelite Town.
Pada perkembangannya, sejumlah proyek hunian kelas menengah hingga mewah dibangun sekitar Kota Satelit Darmo. Di antaranya Pakuwon Indah Superblok seluas 30 hektar dan Grand Pukuwon seluas 330 hektar yang dikembangkan oleh Pakuwon Group. Sinar Mas Land ikut mengembangkan dengan proyeknya Villa Bukit Mas di atas lahan 100 hektar. Ciputra Group tidak ingin ketinggalan menancapkan benderanya di Surabaya dengan proyeknya Green Lake seluas 500 hektar dan CitraLand tidak tanggung-tanggung dengan lahanya 2 ribu hektar.
Pada perkembangannya, sejumlah proyek hunian kelas menengah hingga mewah dibangun sekitar Kota Satelit Darmo. Di antaranya Pakuwon Indah Superblok seluas 30 hektar dan Grand Pukuwon seluas 330 hektar yang dikembangkan oleh Pakuwon Group. Sinar Mas Land ikut mengembangkan dengan proyeknya Villa Bukit Mas di atas lahan 100 hektar. Ciputra Group tidak ingin ketinggalan menancapkan benderanya di Surabaya dengan proyeknya Green Lake seluas 500 hektar dan CitraLand tidak tanggung-tanggung dengan lahanya 2 ribu hektar.
Sementara PT Intiland Development Tbk “pemain lama” di Surabaya membuka lahan 350 hektar untuk proyek Graha Family dan Graha Natura dengan yang lebih kecil 80 hektar. Bahkan, sejumlah proyek properti yang tadinya berdiri secara sporadis. Kini sudah terintegrasi (integrated) dalam satu kawasan, dilengkapi pusat bisnis dan komersial, serta sarana dan fasilitas umum seperti rumah sakit dan pendidikan. Pada akhirnya Kota Satelit Darmo menjadi kota mandiri yang terpisah dari pusat Kota Surabaya.
Dampak dari berkembangnya kota baru di wilayah barat Surabaya ini, menghidupkan poros utama yang menghubungkan barat Surabaya dengan pusat Kota Surabaya, yakni Jalan Mayjen Sungkono dan Jalan HR. Muhammad. Poros jalan ini kini tumbuh pesat sebagai pusat bisnis baru dan komersial. Banyak investasi mengalir ke kawasan ini. Beberapa proyek besar juga tengah dikembangkan di kawasan ini, seperti superblok Ciputra World oleh Ciputra Group di lahan sembilan hektar. Kemudian ada Grand Sungkono Lagoon garapan PP Properti di atas lahan 3,5 hektar.
“Tahun 1970-an kami masuk Surabaya dan ikut membangun perumahan di kawasan Darmo dengan luas area 150 hektar. Saat itu semuanya masih fokus ke landed. Gedung-gedung bertingkat, seperti hotel, masih terkonsentrasi di tengah Kota Surabaya, seperti di Jalan Basuki Rahmat,” ujar Sinarto Dharmawan, Wakil Presiden Direktur dan Chief Operating Officer PT Intiland Development Tbk. kepada Property and The City di Surabaya.
Kini, perkembangan terlihat lebih massif dan menyeluruh seantero Surabaya hingga ke wilayah pinggiran. Di jantung Kota Surabaya lebih nampak proyek-proyek vertikal, baik untuk office maupun apartemen. Intiland mengembangkan beberapa proyek sekaligus, seperti kawasan terpadu, Intiland Tower dan Praxis di Jalan Panglima Sudirman yang merangkum hunian, office, hotel dan ritel. Untuk hunian dijual mulai Rp1,5-5,5 miliar. Tidak jauh dari situ, persisnya di Jalan Sumatera 36 juga terdapat Apartemen Sumatera 36 milik Intiland sebanyak 63 unit yang dipasarkan mulai Rp4-7 miliar lebih.
Adapun PP Properti memulai pembangunan Apartemen Grand Shamaya di lahan 1,6 hektar yang direncanakan sebanyak empat tower. Apartemen ini dipasarkan mulai dari Rp6-4,7 miliar. Klaska Residence di Jalan Jagir Wonokromo yang dibangun oleh Sinar Mas Land sebanyak enam menara di lahan 3,1 hektar juga tengah memasarkan beberapa unit tersisa pada tower pertama, mulai dari Rp700 jutaan hingga lebih dari Rp1 miliar.
Adhi Persada Properti pun sementara memasarkan Apartemen Taman Melati Surabaya yang berada di Kawasan MERR (Middle East Ring Road), Surabaya Timur. Hunian yang tidak jauh dari kawasan komersial Mall Galaxy Surabaya dan perumahan elit Dharmahusada ini dijual mulai Rp600 jutaan hingga Rp1,2 miliar. PT Mahkota Berlian Cemerlang juga mengembangkan proyek Apartemen dan Lifestyle Mall Puri City di wilayah timur ini. Pada awal diluncurkan tahun 2016 lalu, harga per meternya masih Rp 10-12 juta, kini unit tersisa dipasarkan sekitar Rp15-20 juta per meter persegi.
Berbeda dengan wilayah lainnya, di selatan Surabaya yang mengarah ke Sidoarjo lebih bermain di segmen menengah ke bawah, meski ada beberapa kawasan perumahan yang sudah memasarkan produknya di atas Rp1 miliar. Ciputra Group mengembangkan tiga proyek, yaitu CitraHarmoni di atas lahan 40 hektar, CitraGarden 28 hektar, dan CitraIndah hanya 2 hektar. CitraHarmoni dibangun terlebih dahulu sejak 1995 dengan menyasar pasar bawah, sementara dua proyek lainnya di segmen menengah dan atas.
Selanjutnya ada Damai Putra Group yang membangun perumahan Delta Sari sekitar 150 hektar. Kemudian Jayaland yang mengembangkan perumahan terluas di wilayah selatan, dengan potensi pengembangan lahan mencapai 800 hektar. Jayaland memasarkan perumahan dengan harga bervariasi mulai dari Rp400 jutaan hingga lebih dari Rp1 miliar. “Saat ini lahan kami di Puri Surya Jaya ini hampir sama dengan Delta Sari, sekitar 120 hektar yang sudah kami kembangkan. Tetapi, landbank kami masih bisa mencapai 800 hektar. Sehingga untuk ke depannya kami masih sangat prospektif,” kata Samson Suryanto, Kepala Strategic Bussiness Unit PT Jayaland di kantornya.
Sehingga secara keseluruhan jika menggambarkan peta potensi pengembangan properti di Surabaya, maka wilayah selatan mengarah ke Kabupaten Sidorajo dan barat yang punya potensi hingga ke Kabupaten Gresik. Kedua wilayah ini masih punya lahan cukup untuk mengembangkan hunian dengan harga yang lebih bervariatif. Sementara di Surabaya Utara dan Timur berbatasan dengan laut sehingga lebih mengarah ke properti vertikal, demikian halnya di Surabaya Pusat.
“Kalau ke selatan sudah agak padat karena pengembangannya sudah lebih lama. Sedangkan yang di barat ini pengembangannya masih bisa terus, bahkan bisa sampai ke Gresik,” kata Sinarto.
Gaya Hidup
Tidak dipungkiri, keberadaan fasilitas selalu diikuti ekspektasi yang semakin tinggi dari masyarakat. Surabaya yang juga menjadi pusat imigrasi dari Indonesia Timur tentu punya potensi besar terhadap bisnis properti. Dampaknya signifikan dilihat dari kenaikan harga atau nilai properti. Contohnya di kawasan Kenjeran, wilayah timur Surabaya, dimana sebelum ada pengembangan perumahan menengah atas, tanah di sana ‘tidak ada’ harganya. Tapi setelah Pakuwon Group membangun Pakuwon City berikut fasilitas cukup komplit, harga tanahnya kini melejit. Sekarang harga tanah di daerah tersebut sudah di atas Rp6 jutaan per meter persegi. Bahkan dalam kawasan mencapai lebih dari Rp18 juta per meter persegi.
Sementara di Surabaya Barat, tepatnya perumahan Grand Pakuwon, dalam rentang tiga tahun sejak 2009-2012, harga tanah naik empat kali lipat. Tahun 2009 masih dijual dengan harga Rp1,7-2 juta per meter persegi, kemudian 2012 melesat Rp6-8 juta per meter persegi. Awal 2015 lalu Pakuwon menjual kavling mulai Rp12-13 juta per meter, kini sudah di atas Rp14 juta per meter persegi. Sementara di luar kompleks perumahan pun sudah berkisar di atas Rp9,5 juta persegi meter persegi.
Lebih rinci Samson menjelaskan, wilayah barat yang sudah lebih dahulu tumbuh dengan beragam fasilitasnya mengalami kenaikan signifikan sekitar tahun 2012-2014. Menyusul kemudian Surabaya Timur hingga harga mendekati batas kesanggupan rata-rata konsumen di Surabaya. “Surabaya Timur apalagi di barat boleh dibilang sudah over price, sehingga konsumen menengah sulit beli rumah di sana. Kami mulai 2015 dengan harga yang berbeda. Sehingga di sini menjadi alternatif berikutnya untuk investasi,” ungkap Samson.
Sebagai gambaran, pada awal Jayaland memasarakan rumah – pengembangan utama Puri Surya Jaya – di tahun 2015 lalu masih di kisaran Rp500 jutaan, namun tipe yang sama kini sudah berada di level Rp900 juta hingga Rp1,2 miliar. Sementara harga tanah di tahun yang sama berkisar Rp4 jutaan per meter persegi, di wilayah timur sudah Rp8 jutaan per meter persegi. Sedangkan barat sudah sekitar Rp10 jutaan. “Tahun ini tentunya harga sudah di atas itu. Di barat sudah berkisar Rp15 juta ke atas. Dengan demikian, ke depannya, di sini akan naik lebih tajam,” tambah Samson.
Tinggih nya harga tanah tersebut berdampak besar terhadap properti khususnya landed. Harga rumah rata-rata sudah di atas Rp1 miliar, sehingga pilihannya beli rumah di pinggiran atau apartemen dalam kota yang masih dijumpai dengan harga Rp400 jutaan. Sejatinya tinggal di apartemen juga kini menjadi tren di Kota Surabaya, bahkan cenderung menjadi pola hidup, termasuk untuk berinvestasi. Terbukti, PP Properti baru saja merilis hasil pernjualan fantastis 3 tower sebelum launching senilai Rp2,1 triliun. Tower apartemen yang terjual tersebut, yakni Grand Shamaya tower 2 (Surabaya Pusat), Grand Dharmahusada tower 2 (Surabaya Timur) dan Grand Sungkono Lagoon tower 4 (Surabaya Barat).
Dari data tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa harga apartemen pun naik cukup cepat. Menurut catatan Real Estat Indonesia (REI) Jawa Timur, telah terjadi tren kenaikan harga apartemen yang cukup signifikan. Kawasan Surabaya Timur berada di posisi teratas dengan rata-rata setiap tahun naik 7,3 persen. Sedangkan di Surabaya Barat yang notabene sebagai kawan elit naik 5,1 persen. Pada tahun 2016, harganya Rp15 juta per meter persegi, kini mencapai Rp16,2 juta per meter persegi. Sepanjang 2017, ada sebanyak 1.224 hunian vertikal baru di Surabaya. Dari jumlah tersebut, 264 berada di Surabaya Timur, tepatnya di sisi MERR.
Kemudahan
Selain letak Surabaya yang stratagis, pemerintah pun sangat mendukung pengembangan kota tersebut. Mulai dari penyediaan sarana infrastruktur hingga kemudahaan dalam berinvestasi. Hal ini diakui Paulus Totok Lusida, Sekjen DPP REI yang juga mantan Ketua DPD REI Jawa Timur. Kata dia, kepastian dalam proses perizinan menjadi pertimbangan utama pengusaha properti. “Pemerintah Kota Surabaya sangat terbuka dalam proses perizinan. Melalui Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) yang digagas pemerintah membuat perizinan lebih efektif. Sehingga ini akan semakin menarik minat investor masuk,” kata Totok.
Lebih dari itu, sarana infrastruktur juga punya peran teramat penting dalam mendorong tumbuhnya properti. Menurut Totok, keberadaan infrastruktur akan menumbuhkan aktivitas ekonomi baru dan pada akhirnya berdampak meningkatnya kebutuhan hunian baru. “Properti dan infrastruktur tidak bisa dipisahakan. Karena di sana ada ekonomi baru yang akan terus tumbuh,” katanya.
Surabaya dan sekitarnya memang sudah ditopang keberadaan infrastruktur yang cukup memadai, seperti Jalan Tol Surabaya-Porong, Tol Surabaya-Mojokerto, Tol Waru-Juanda, atau Tol Surabaya-Gresik. Tahun ini, Pemkot Surabaya telah menganggarkan Rp2 trilun lebih dari total Rp9,11 triliun untuk melanjutkan proyek infrastruktur, seperti penyelesaian proyek box culvert Banyu Urip yang akan menambah lebar jalan sekitarnya.
Pemkot juga terus menggarap penyelesaian pembangunan Jalur Lingkar Luar Barat (JLLB), Jalur Lingkar Luar Timur (JLLT), termasuk pembebasan lahan MERR. Proyek MERR dikerjakan melalui sejumlah tahap. Tahap pertama sepanjang 4,65 km mulai dari perempatan Kenjeran–perempatan Mulyorejo, tahap kedua 6,25 km dari perempatan Mulyorejo–Gunung Anyar. Sisanya sekitar 1,8 km dalam tahap pengerjaan, dari perempatan Gunung Anyar–perbatasan Sidoarjo (Juanda).
Keberadaan proyek MERR akan semakin membuka kemudahan akses, terutama dari wilayah Utara dan Timur Surabaya menuju wilayah lainnya, termasuk ke Bandara Juanda. Ketiga proyek jalan tersebut nantinya akan saling terintegrasi sehingga diharapkan akan menjadi solusi pemecah kemacetan di kawasan pusat kota. Dari sisi transportasi massal, Pemkot juga segera memulai pengerjaan Angkutan Massal Cepat (AMC) berupa trem yang diharapkan nantinya akan menekan jumlah kendaraan dari arah Sidoarjo. ● [Pius Klobor]