PropertyandtheCity.com, Bogor (Jawa Barat) – Dalam bukunya berjudul Generasi Langgas: Millenials Indonesia, praktisi dunia kreatif Yoris Sebastian menyebut, menyicil rumah barangkali tidak akan menjadi prioritas kaum milenial. Alasannya, bahkan dengan menggabungkan pendapatan (joint income) pun sangat sulit bagi millennials yang baru menikah untuk punya rumah sendiri yang sesuai dengan keinginan mereka. “Menyewa kontrakan atau apartemen di tengah kota mungkin jauh lebih realistis buat mereka,” tulisnya.
Pendapat itu ada benarnya. Tapi, punya rumah sendiri, menurut banyak praktisi properti, perbankan dan konsultan keuangan, juga penting karena rumah juga aset, bukan sekadar hunian tinggal. Selama hidup toh orang juga perlu punya kekayaan sewajarnya sebagai warisan. Rumah tapak maupun apartemen (properti) bersama uang, emas, dan sejenisnya lazim dipakai sebagai instrumen penyimpan kekayaan.
Namun dari perbincangan dengan sejumlah bankir kredit rumah (KPR/KPA) dan pengembang, pertimbangan utama milenial masih ogah membeli rumah atau mungkin sudah ada niatan namun urung dilakukan dan menilai menyewa rumah sebagai opsi paling realistis, adalah lantaran tidak ada kemampuan memenuhi upfront cost atau dana tunai di awal saat membeli rumah secara kredit.
Paling tidak ada dua dana di depan yang harus disiapkan, yaitu depe rumah ditambah biaya KPR/KPA (bea provisi dan administrasi), pajak dan legalitas (akta, akad kredit, notaris, appraisal, materai hingga asuransi jiwa dan kerugian) yang nilainya lumayan besar, bisa 10% sendiri dari harga propertinya.
Menyoal kemampuan milenial memiliki rumah ini dibahas dalam diskusi bertajuk “Skema Sewa Beli, Solusi Milenial Punya Rumah” yang dihadiri oleh Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Haryo Bekti Martoyoedo, Deputi Komisioner Pemanfaatan Dana BP Tapera Ariev Baginda Siregar, Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF Heliantopo, Departement Head Mortgage PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk. (BTN) Cesar AB, Ketua Bidang Rumah Tapak Bersubsidi dan Rumah Susun Himperra Makhmur, juga Direktur PT Metropolitan Land Tbk Wahyu Sulistio.
Dalam diskusi yang dihelat di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (22/6) itu, pemerintah Cq Kementerian PUPR terus melakukan pelbagai upaya agar masyarakat Indonesia, terutama gerenasi muda agar bisa memiliki rumah. Mulai dari mengajak seluruh pemangku kepentingan seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat kerangka kebijakan demi membangun ekosistem pembiayaan perumahan yang cocok dan mudah diterima kalangan muda. “Rerata terhambatnya dari sisi penghasilan, maka itu kita harus bisa mencari skema-skema menarik untuk konsumen milenial dan Z. Konsep cara bayarnya harus bisa matching dengan preferensi mereka,” ujar Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Haryo Bekti Martoyoedo, membuka diskusi.
Salah satu program strategi yang dikembangkan pemerintah adalah fasilitas Pembiayaan Sewa Beli atau Rent to Own (RTO), yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan sebagai solusi permasalahan backlog kepemilikan rumah. “Harapannya seluruh stakeholder mendukung skeman ini, Jangan hanya mencari keuntungan saja tapi juga memberikan manfaat yang lain untuk masyarakat,” kata Haryo.
Konsep ini diklaim memungkinkan masyarakat khususnya kalangan milenial yang terkendala upfront cost bisa mewujudkan pembelian rumah tanpa harus menunggu depe-nya terkumpul dulu. Aturan mainnya yaitu konsumen bisa menempati rumah yang diinginkannya dengan cara menyewanya lebih dulu sebelum benar-benar membelinya. Tenor sewanya rupa-rupa tergantung kebijakan krediturnya. Selama tenggang sewa, rumah tidak diperbolehkan untuk diubah.
Gagasan tersebut disambut baik. Sejumlah perbankan maupun lembaga pembiayaan sekunder (non-bank) sudah melego konsep tersebut ke pasar. Sebut contoh SMF. Penyedia dana yang disalurkan melalui lembaga keuangan dengan skema refinancing ini memberikan akses luas pemilikan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Berpenghasilan Tidak Tetap (non-fixed income) melalui KPR/KPA dengan skema RTO.
“Dengan skema ini, konsumen tidak perlu buru-buru membayar depe dan biaya-biaya di muka, tapi bisa dicicil setiap bulan. Calon penyewa bisa memilih sendiri properti yang ingin disewanya, sebelum sreg membelinya,” kata Direktur SMF Heliantopo, menyambung materi diskusi tersebut.
Dia menjelaskan program sinergi pemberian fasilitas pemilikan rumah ini merupakan bentuk nyata keberpihakan SMF kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat kecil di daerah yang membutuhkan dan belum terfasilitasi untuk dapat memperoleh haknya dalam mendapatkan hunian yang laik.
Sedianya program RTO ini SMF telah menujuk Proline Finance dan Pinhome sebagai agregator penyedia jasa sewa beli yang akan membeli rumah secara massal (bulk) dari developer untuk kemudian disewakan pada masyarakat dengan opsi membeli atau sewa-beli. “Sebagai agregator, mereka beli rumah lalu disewakan, setelah beberapa waktu rumahnya bisa dihibah atau dikonvert ke KPR,” jelasnya.
Salah satu proyek perumahan rakyat yang bekerja sama dengan SMF untuk skema RTO ini adalah rumah tipe 22/60 seharga Rp168 juta di Kronjo Regency di Pagedangan Udik, Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten. Prosesnya, konsumen menyewa rumahnya terlebih dahulu, menempati dan pada akhirnya memiliki rumah tersebut. “Kalau di tengah jalan tidak ingin melanjutkan ke KPR tentu biaya sewa murni akan hilang, sedangkan tabungan uang muka akan dikembalikan. Namun kami berkeyakinan produk ini harus jalan, karena RTO adalah salah satu alternatif bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah selain melalui pembiayaan perumahan konvensional,” tambah Topo.
Rumah Komersial
Meski konsep RTO serumpun, namun kebijakan di tiap lembaga berbeda-beda. Program RTO di BTN misal, konsepnya kurang lebih sama, sewa rumahnya dulu sebelum membelinya, hanya sementara ini BTN memberikan fasilitas RTO khusus untuk pembelian rumah komersial (non-subsidi). Maksimum masa sewa rumah selama dua tahun, setelah itu akan dianalisis apakah debitur capable untuk pengajuan proses KPR.
Departement Head Mortgage BTN, Cesar AB melihat, kecenderungan milenial tak membeli hunian terlebih dalam hal ini rumah tapak terjadi memang karena ketidakmampuan menyiapkan dana tunai di awal.
“Alasan para milenial belum punya rumah adalah tidak mampu membayar depe langsung. Bisa saja dia mampu membayar depe rumah, tapi nilainya tidak cukup memadai sehingga dengan memperpanjang tenor KPR hingga 30 tahun pun gajinya tidak mampu membayar cicilan kredit. Mereka juga kadang ragu-ragu dalam memilih rumah sesuai preferensi. Aspek keterbatasan depe dan non-bankable inilah yang BTN coba akomodir,” ucap Departement Head Mortgage BTN, Cesar AB.
Sebagai ilustrasi, asumsikan harga rumah saat itu Rp1 miliar, maka harga future value rumahnya tahun depan Rp1,35 miliar atau naik 10% per tahun. Uang muka dikenakan 5% dari harga future value yakni sekitar Rp68 juta yang bisa dibayarkan nanti setelah masa sewa rumah habis. Yang menarik, biaya sewa yang dikeluarkan tersebut dianggap mengurangi pokok plafon atau harga jual. Sehingga, ketika konsumen memutuskan untuk membeli rumahnya secara KPR, ia sudah memiliki saldo untuk pembayaran depe atau pengurangan plafon KPR sehingga angsurannya jauh lebih ringan dan bahkan bisa lunas lebih cepat.
“Tapi beda cerita kalau konseumen tidak lanjut, misal di tengah-tengah memutuskan tidak meneruskan karena mungkin faktor humanis seperti tidak cocok dengan lingkungannya, maka biaya sewa hangus. Uang muka bisa dikembalikan full, ada juga yang kepotong, tergantung RTO providernya.
Diluncurkan sejak Oktober 2022, sementara ini program RTO di BTN baru mencakup properti di megapolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, bekasi) dan Karawang dengan harga rumah maksimal Rp1,5 miliar.
Di sisi lain, Direktur PT Metropolitan Land Tbk (Metland) Wahyu Sulistio berpandangan, termonilogi generasi milenial seharusnya bukan hanya dilihat dari tahun kelahiran, namun dari sisi kemampuan finansialnya. “Banyak kok milenial usia paling muda justru gampang sekali mendapatkan penghasilan lebih besar di era seperti sekarang ini. Persoalannya mau tidak membayar angsurannya. Jadi pasarnya sudah ada nih, dan klop karena backlog per tahun makin banyak sehingga dari sisi pemerintah bagaimana bisa mengatasinya, sedangkan dari sisi pengembang kami melihat ada opportunity,” ujarnya kepada media di kesempatan yang sama.
Metland belakangan menawarkan cara bayar fleksibel. Konsumen boleh lebih dulu menyewanya, bila cocok silakan dibeli rumahnya. “Akadnya tetap jual beli, tapi ada perjanjian pinjam pakai. Proses KPR bisa dilakukan setelah angsuran sewanya 30%, karena itu kita anggap sebagai depe. Ini menekan risiko kalau ada yang berhenti di jalan, khususnya bangunan hires karena ada nilai penyusutuan,” papar Wahyu.
Beli rumah walau proses mengangsurnya lama dengan lokasi yang semakin jauh kendati aksesnya mudah, seharusnya tidak jadi soal karena imbalannya juga sepadan, yaitu sebuah aset bernama rumah yang nilainya terus naik melampaui semua biaya tersebut.