KOTA MINYAK YANG KENTAL BELANDA

0
3164
Sorong

SORONG

Sorong, Kota yang tumbuh karena minyak sejak era Belanda tetap memikat untuk dikunjungi. Jangan lupa ke pasar tradisional menikmati ikan-ikan yang masih segar dari laut.

Burung besi yang saya tumpangi perlahan mengembangkan sayapanya. Cakarnya yang kokoh berlari di landas pacu dengan kecepatan ratusan kilometer per jam. Deru mesin jet sekuat tenaga mendorong burung besi untuk lepas landas. Sayup-sayup terdengar instrumen lagu-lagu nasional di dalam pesawat yang saya tumpangi. Pesawat menembus gelapnya angkasa di malam hari. Dari angkasa tampak indahnya lampu-lampu menghias daratan Jogyakarta. Saatnya pesawat melayang menuju timur Indonesia, tepatnya di Sorong, Provinsi Papua barat.

Butuh waktu sekitar 5 jam penerbangan dari Yogyakarta menuju Sorong dengan transit di Makassar. Waktu yang bisa memuaskan saya menikmati pemandangan di luar jendela pesawat, sambil sekali-kali melihat peta yang saya bawa untuk mengira-ngira pesawat yang saya tumpangi ada di atas pulau apa. Sesekali terdengar beberapa orang berbicara pelan, entah apa yang yang dibicarakan di keheningan malam. Penerbangan yang melelahkan karena akan melawan perputaran waktu dengan 2 jam lebih cepat dari waktu normal.

Sesaat mata saya terpaku pada seorang pramugari yang berfoto bersama dengan seorang penumpang wanita. Siapa gerangan wanita cantik ini? Sesaat setelah mendarat di bandara Dominique Edward Osok, Sorong, saya baru menyadari ternyata wanita yang berfoto bersama pramugari adalah Nowela Mikhelia. Inilah putri dari Papua yang memenangkan kontes menyanyi sejagat Indonesia. Apa daya saya sudah menuju terminal kedatangan.

Baca Juga, Banyak Groundbreaking di IKN tapi Pembangunan Sedikit, Pemerintah Berikan Deadline ke Investor

Suara kecil melengking meneriakan beberapa angka dalam label barang-barang di bagasi. Saya cukup lama menatap roda berjalan yang akan mengantarkan barang-barang bagasi ke penumpang, tapi tak kunjung berjalan, dan ternyata alatnya rusak. Benar saja suara tadi memanggil-manggil angka yang saya pegang. Cara petugas bandara menyiasatinya dengan menyebutkan nomor label dan penumpang yang mencocokan barangnya lalu diambil.

Akhirnya barang bawaan hampir 1 troli penuh sudah di tangan dan saatnya meluncur menuju pusak Kota Sorong. Mencarter mobil pilihan yang tepat agar bisa berkeliling Kota Sorong dengan mudah. Tiba-tiba saat hendak masuk pusat kota, kendaraan kami harus berhenti sebab di depan sana suara klakson, sirine dan teriakan masa terdengar. Mobil yang disopiri orang Bugis langsung berhenti menghindari kaca mobil pecah.

Parade Budaya di Kota Sorong

Bendera merah putih biru begitu mendominasi aksi masa tersebut. Saya serasa berada di Kota Amsterdam, Belanda, saat menyaksikan pawai tersebut. Saya teringat semalam waktu transit di Makassar ada pertandingan Piala Dunia antara Belanda melawan Spanyol dengan kemenangan 5-1 untuk tim Oranye. Jika menilik sejarah masa lalu sangat wajar masyarakat Sorong begitu kental dengan Belanda.

Akhirnya ada diskusi singkat mengapa masyarakat di kawasan Indonesia Timur begitu lekat dengan Belanda dan sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa yang begitu antipati. Konon dulu, Belanda di kawasan timur (Sorong) membangun kota kecil ini menjadi kota minyak yang kaya raya. Ibu Kota Sorong waktu itu berada di Pulau Doom. Sorong di sebut dengan kota minyak karena ada beberapa titik pengeboran minyak.

Sorong, kota yang strategis karena sebagai pelabuhan sekaligus pintu masuk ke Papua. Letaknya yang tepat di kepala burung menjadikan kota ini serasa istimewa. Kata Sorong sendiri berasal dari kata Soren yang dalam Bahasa Biak Numfor artinya laut yang dalam. Namun beragam lidah sangat susah menyebutkan kata Soren, sehingga para pedagang dari Tionghoa, Misionaris, orangorang di kepualauan Maluku, Sangihe Talaud menyebutnya dengan kata Sorong.

Belanda membangun Kota Sorong menjadi kota pelabuhan, perdagangan dan pertahanan. Pulau Doom dijadikan basis kekuatan, sebab di pulau yang menjadi ibu kota ini menjadi tempat perakitan senjata dan gudang bom. Sebelum tahun 2004 bandara masih berada di Pulau Jefman yang di tempuh dengan perahu 80 pk selama 45-60 menit dari pelabuhan Sorong. Bandara ini menjadi urat nadi transportasi selain kapal laut.

Konon diceritakan banyak orang-orang dari wilayah Indonesia Timur yang direkrut menjadi tentaranya belanda KNIL (het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger). Tidak sedikit opa-opa yang dulu direkrut masih mendapat uang pensiun dari pemerintah Belanda. Hingga kini sejarah manis Belanda di Indonesia Timur masih dirasakan hingga tim sepak bolannya mendapat dukungan yang begitu kuat.

Kendaraan saya berhenti di kawasan “Tembok Berlin”. Saya berpikir, apakah tembok tersebut memiskan dua kota seperti di Jerman yaitu Berlin Barat dan Berlin Timur. Ternyata “Tembok Berlin” yang dimaksud adalah nama pantai yang memiliki tembok sebagai pembatasnya. Saya melanjutkan langkah kaki ini menuju daerah Boswesen. Nama yang kental dengan Belanda karena Boswesen artinya perhutani milik belanda. Kawasan ini dulu adalah kantor sekaligus kediaman para pegawai kehutanan pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Pasar ikan Boswesen Sorong

Di Boswesen terdapat sebuah pasar yang sangat menarik untuk dikunjungi. Saya memulai dari pasar yang menjual aneka macam sayuran yang didatangkan dari Manado. Sudah bisa ditebak harganya 3-5 kali lipat dari harga di Pulau Jawa. Langkah kaki saya memaksa untuk masuk dalam loss pasar di samping dermaga. Inilah pasar ikan Boswesen yang menyediakan ikan-ikan yang segar dan baru mati satu kali. Artinya, ikan-ikan tersebut belum mengalami beberapa kali proses pembekuan.

Ikan cakalang ukuran besar dapat dengan mudah ditemui di sini dengan harga yang murah. Beragam ikan konsumsi seperti tenggiri, cakalang, baubara, kakap, hingga fauna laut yang dilindungi juga mudah ditemui seperti penyu. Saya hanya terkagum akan biota laut yang melimpah ditempat ini sambil melihat long boat yang tampak terombang-ambing oleh ombak.

Perjalanan saya berlanjut ke daerah transmigrasi di Kabupaten Sorong yang berjarak sekitar 30 km ke sisi timur dan utara Sorong. Saya melihat sebuah hutan lindung yang kini masih benar-benar dijaga sebagai pembatas antara kota dan kabupaten Sorong. Akhirnya lahanlahan pertanian sudah terbuka. Nampak sepanjang jalan banyak penduduk yang membuka lapak-lapak untuk menjual hasil buminya.

Jagung manis dengan ukuran yang besar sudah kami kemas satu kantong plastik. Jeruk manis hanya tinggal petik dan langsung dimakan. Buah pare seukuran betis orang dewasa nampak ranum. Begitu suburnya tanah Sorong dengan pipa-pipa menjulang tinggi yang ujung bagian atasnya keluar api menjilat-jilat. Tanah pilihan sebab subur di atas dan di bawahnya ada kandungan gas dan minyak. Tidak salah Belanda menduduki tempat ini dan dibangun menjadi kota yang kini disebut Kota Sorong. ● Dhave Dhanang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini