Propertyandthecity.com, Jakarta – Sejak dikeluarkannya daftar sejumlah kategori calon konsumen yang tidak bisa mendapatkan KPR oleh pihak bank, makin mempersulit para pengembang untuk melakukan ekspansi KPR khususnya untuk rumah subsidi. Padahal seperti diakui seorang pengembang rumah subsidi sejak merebaknya wabah Covid-19 penjualan rumah subsidi sudah turun lebih dari 50 persen. Dengan adanya kebijakan dari pihak bank ini makin mempersempit ruang gerak pengembang rumah subsidi.
Keluarnya kebijakan memperketat penyaluran KPR fix income oleh pihak bank, sangat mungkin didasari banyaknya korban PHK dan ancaman banyaknya perusahaan yang akan tutup. Sehingga dikhawatirkan calon debitur akan mengalami kredit macet saat kreditnya berjalan. Di sisi lain dalam kondisi saat ini bank harus pintar-pintar mencari peluang dan melakukan business approach yang tidak kaku untuk memperbesar konsumen KPR.
Baca: Djoko Yoewono: KPR Program Atau FLPP Tetap Berjalan
Menurut Djoko Yoewono, Senior Vice President Consumer Loans Group Bank Mandiri, harus ada perubahan paradigma dari bank karena pasar properti akan banyak bergerak dan bergeser akibat dampak dari Covid-19. Pasar properti dari employe yang selama ini menjadi incaran bank akan jatuh karena banyaknya gelombang PHK dan ancaman perusahaan yang tutup. Kalaupun mengincar employe corporate besar untuk segmen midle lower, rata-rata segmen ini sudah memperoleh KTA dari pihak bank.
“Sedangkan segmen atasnya lagi sementara ini masih enggan untuk investasi di properti karena persepsi ekonomi akan masih lesu dalam jangka menengah,” ujar Djoko kepada Property and the City.
Bahkan, stimulus yang saat ini ditawarkan oleh pemerintah belum tentu cukup ampuh mendorong orang untuk mengambil KPR. Kemungkinan besar tetap akan men-delay kemampuan orang mengeluarkan biaya konsumtif untuk membeli rumah atau mobil. Pasalnya, saat ini kecenderungan orang untuk menyimpan uang karena ketidakpastian ke depan.
Baca: Gandeng Bank Mandiri, PUPR Salurkan BSPS di Sulut
Walaupun demikian peluang tetap ada yang harus jadi incaran yaitu segmen kelas menengah. Menurut Djoko, segmen ini yang masih punya kemampuan untuk investasi di kota-kota besar, yang selama ini investasi di saham akan di switching ke properti. Walaupun investasi di properti saat ini tidak likuid tetapi lebih secure. Pasalnya, kita tidak tahu sampai berapa lama impact Covid-19 terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun prediksi dari berbagai pihak bermunculan. Ada yang mengatakan hingga akhir tahun 2020, ada yang mengatakan hingga pertengahan 2021. Bahkan, ada yang mengatakan bisa sampai tiga tahun dampaknya.
Djoko mengingatkan, bank yang tidak jeli melihat perubahan pasar properti saat ini akan mengalami penurunan mortgage-nya, bahkan bisa negatif growth-nya. Sementara bank akan kebingungan karena kenaikan NPL (non performing loan) karena banyak nasabahnya yang gagal mencicil KPR-nya.
Bahkan, debitur pasca restrukturisasi Covid-19 ternyata bisa jadi tidak punya kemampuan juga untuk membayar. Apalagi untuk bank yang business model mortgages-nya masih belum duduk alias kalah competitive di market khususnya dalam hal service yang levelnya tidak hanya bicara kecepatan proses, tetapi kemampuan membidik target market hingga tingkat approval-nya tinggi.
Baca: Promo Spesial PP Properti di Masa Pandemi, Bunga KPA 1,75 Persen
“Banker-banker sekarang sudah jadi birokrat semua dan cenderung legal and compliance approved bukan business approach. Perlu dilakukan kritik terhadap bankers masa kini setelah liberalisasi 88 (Paket Kebijaksanaan Oktober 1988-red), sampai kemudian muncul krisis 98 dan 2008. Selalu kayak bandul extrem ke kanan kuat banget dan kemudian ke kiri kuat banget. Akibatnya, support kepada masyarakat ataupun industri tidak optimal. Paling tidak mendekati optimal filosofi industri perbankan harusnya ada untuk menggerakkan ekonomi dan menjadi agen perubahan,” papar Djoko. *(Hendaru)