Jakarta, Propertyandthecity.com — Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif pembangunan rumah berbasis komunitas yang diusulkan oleh Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LP P3I), atau lebih dikenal sebagai The Housing and Urban Development (HUD) Institute Indonesia. Gagasan ini menekankan pentingnya peran masyarakat dalam penyediaan hunian yang layak.
“Bagaimana jika struktur negara di tingkat bawah seperti Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) difungsikan sebagai kelompok ekonomi masyarakat? Termasuk untuk pembangunan rumah berbasis komunitas yang mengedepankan gotong royong,” kata Fahri kepada media, Jakarta, (04/01/ 2025).
Fahri menambahkan bahwa RT dan RW juga dapat berperan sebagai pendamping dalam pembangunan atau perbaikan rumah yang memenuhi standar kelayakan, termasuk fasilitas sanitasi dan pengelolaan sampah. Menurutnya, banyak rumah di pedesaan yang belum layak huni karena ketiadaan infrastruktur tersebut.
“Perbaikan rumah menjadi layak huni yang sehat di desa-desa merupakan bagian dari program pembangunan tiga juta rumah,” ujar Fahri.
Ia juga menegaskan bahwa Kementerian PKP akan selalu terbuka terhadap masukan demi menyusun formula yang efektif dalam penyediaan hunian terjangkau untuk masyarakat. “Tujuan akhirnya adalah merumuskan kebijakan komprehensif yang dapat menjadi inovasi dari Presiden Prabowo untuk memastikan akses masyarakat terhadap hunian yang layak,” kata Fahri.
Baca Juga: Pemerintah Tingkatkan Tarif Pajak Barang Mewah, Termasuk Hunian di Atas Rp 30 Miliar
Sementara itu, Dewan Pakar HUD Institute, Encep R Marsadi, menyoroti besarnya peran masyarakat dalam penyediaan perumahan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 saja, sebanyak 82,68 persen perumahan nasional dibangun secara swadaya oleh masyarakat, jauh lebih besar dibandingkan kontribusi pengembang swasta yang berkisar 10 hingga 17 persen, serta pemerintah sebesar 5 hingga 10 persen.
Namun, Encep mencatat, meskipun kontribusi masyarakat besar, banyak rumah swadaya belum memenuhi standar teknis. “Banyak rumah dibangun di kawasan ilegal atau kumuh tanpa sanitasi yang memadai. Oleh karena itu, pendampingan pemerintah sangat diperlukan,” ujarnya.
Sebagai contoh sukses, ia menyebut Perumahan Komunitas Penggembala Kerbau Rawa di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. “Lahan disediakan oleh komunitas dan desa, sementara pembangunannya mendapat bantuan dari pemerintah melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS),” jelas Encep.
Langkah ini diharapkan mempercepat penyediaan hunian layak dan terjangkau, serta memperkuat keterlibatan masyarakat dalam membangun lingkungan yang sehat dan berkelanjutan. (*)