PropertyandTheCity.com, Jakarta – Film drama keluarga Home Sweet Loan (2024) garapan Sabrina Rochelle Kalangie yang saat ini tengah ramai disorot, mengisahkan perjuangan Kaluna, milenial yang berambisi punya rumah sendiri. Sebagai pekerja keras dengan gaji yang tidak pernah menyentuh dua digit, sosok Kaluna memiliki mimpi yang sederhana, tetapi tampak jauh dari jangkauan banyak masyarakat Indonesia.
Ambisinya untuk memiliki rumah muncul dari kondisi hidup yang tidak ideal. Kaluna tinggal bersama tiga keluarga dalam satu rumah tanpa adanya privasi. Sebagai anak bungsu, Kaluna kerap diharuskan memprioritaskan kebutuhan keluarganya. Dari mengurus token listrik hingga mencuci piring setelah makan bersama, beban tanggung jawabnya lebih berat dibandingkan kakak-kakaknya yang sering mengharapkan bantuannya, terutama dalam hal keuangan.
Dengan tabungan yang terbatas, Kaluna harus sangat teliti dalam memilih calon rumah-rumah yang masuk dalam anggaran tapi tetap nyaman untuk ditempati. Namun, kenyataannya hunian yang nyaman cenderung berharga tinggi, sedangkan rumah yang lebih terjangkau sering kali memiliki sejarah buruk atau masalah lain yang membuatnya sulit terjual, meskipun dengan harga murah.
Cerita ini seolah menjadi cerminan situasi yang banyak dialami generasi muda di kota-kota besar. Selain harga properti yang terus melambung, biaya hidup yang semakin tinggi juga menjadi tantangan berat, terutama bagi mereka yang termasuk generasi sandwich.
Tak heran, Kaluna kemudian memilih untuk menjalani frugal living demi mengejar impiannya memiliki rumah. Film ini menggambarkan betapa sulitnya masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan realitas ‘backlog perumahan’ di negeri ini.
Kaluna hanyalah satu dari jutaan warga Indonesia yang menghadapi tantangan serupa, yakni impian memiliki rumah.
Saat ini, kenyataan backlog perumahan di Indonesia yang sudah mencapai 12,7 juta pada tahun 2023. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 1,7 juta dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 2022, dengan angka backlog perumahan sebesar 11 juta yang sebanyak 93% berasal dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Selain itu, sebanyak 60% dari angka tersebut didominasi oleh MBR yang bekerja pada sektor informal.
Angka backlog ini bisa terus bertumbuh karena kebutuhan akan kepemilikan rumah per tahunnya itu sekitar 600 ribu hingga 800 ribu. Angka itu bertumbuh salah satunya karena faktor bertumbuhnya keluarga baru yang membutuhkan tempat tinggal.
Beberapa waktu lalu, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna menyampaikan ada 9,9 juta rumah tangga yang belum mempunyai rumah berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Lalu, terdapat 26 juta rumah tidak layak huni, sehingga jumlah rumah yang perlu diselesaikan sekitar 36 juta. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers Program Tapera di Kantor Staf Presiden, Jakarta Pusat pada Jumat (31/5/2024).
Backlog ini menggambarkan kesenjangan antara jumlah rumah yang tersedia dan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Meskipun pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk mengurangi kekurangan pasokan perumahan, hasilnya masih jauh dari harapan.
Kenaikan harga tanah dan rumah yang pesat, terutama di wilayah perkotaan, ditambah dengan sulitnya mengakses kredit perumahan, menjadi hambatan utama bagi warga berpenghasilan rendah.
Program pemerintah Prabowo-Gibran diharapkan dapat menjadi angin segar bagi sektor perumahan. Salah satu visi besar mereka adalah membangun 3 juta rumah per tahun, menjadi target ambisius yang bertujuan menurunkan backlog secara serius. Langkah ini didukung oleh peningkatan anggaran perumahan, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah, serta kebijakan kredit pemilikan rumah (KPR) yang lebih inklusif dan terjangkau. Fokus lain dari kebijakan ini adalah memperkuat kerjasama dengan sektor swasta untuk memastikan tersedianya perumahan bagi segmen masyarakat yang lebih luas, termasuk ASN dan TNI, dengan tujuan memberikan akses yang lebih merata.
Namun, terlepas dari janji-janji ini, tantangan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut tidak bisa diabaikan. Mengatasi backlog sebesar 12,7 juta unit memerlukan perencanaan matang, Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch menilai cukup banyak permasalahan sektor perumahan yang menjadi PR pemerintahan baru nanti. Menurut Ali, sampai saat ini pasar perumahan nasional bergerak tanpa ada roadmap yang jelas.
“Semoga pemerintahan baru membawa angin segar, karena selama ini kebijakan pasar perumahan nasional bergerak relatif tanpa roadmap. Sektor perumahan harus mendapat perhatian dan jangan menjadi ‘anak tiri’ lagi. Karena saat ini anggaran perumahan terlalu kecil, hanya 1% dari APBN dibandingkan sektor kesehatan dan pendidikan” jelas Ali.
Ali melihat ada 3 pilar yang harusnya dapat menjadi perhatian pemerintah untuk merealisasikan janjinya, yaitu ketersediaan bank tanah, BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan), dan dana abadi perumahan harus benar-benar siap.
PR itu tentu menjadi penting agar kebijakan ini tidak hanya menjadi sekadar janji kampanye, melainkan benar-benar direalisasikan demi mengurangi kesenjangan perumahan di Indonesia. Kaluna dan ‘Kaluna-Kaluna’ lain yang hari-hari membangun impiannya, memiliki rumah yang layak bisa terwujud.