BENAHI BATAM SEGERA
Batam yang berada di Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu kota dengan potensi pertumbuhan terpesat di Indonesia. Letaknya yang sangat strategis, berdekatan dengan Singapura, menjadikan wilayah ini sebagai salah satu destinasi utama bisnis dan perdagangan.
Awalnya pada 1970, pemerintah membangun kota Batam dan mengembangkannya sebagai kawasan industri dan perdagangan. Saat itu kota ini hanya dihuni oleh sekitar 6.000-an penduduk. Dan hanya dalam tempo 40 tahun saja, penduduk batam bertumbuah hingga 170 kali lipat. Salah satu faktor peningkatan jumlah penduduk tersebut ditengarai sebagai dampak dahsyatnya pembangunan infrastruktur dan properti di kota tersebut.
Hasil Survei Harga Properti Residensial Kuartal III 2015 oleh Bank Indonesia (BI) yang dirilis pertengahan November lalu memperlihatkan jika Batam tak tersentuh oleh tren perlambatan bisnis properti tahun ini. Berdasarkan survei terhadap pengembang perumahan di 16 kota di Indonesia, harga properti residensial pada kuartal III-2015 hanya tumbuh 5,46 persen, turun dari kuartal sebelumnya 5,9 prersen. Lain halnya dengan di Batam. Survei BI memperlihatkan jika Batam menjadi kota dengan pertumbuhan harga properti tertinggi yang mencapai 17,63 persen.
Letak Batam yang hanya berjarak 30 menit ke Singapura turut menjadi faktor utama peningkatan permintaan rumah tinggal di wilayah itu. Kaum ekspatriat pun kian gencar mengincar hunian yang masih jauh lebih murah daripada di Singapura. Apalagi, Batam, Bintan dan Karimun (BBK) kini telah berstatus sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diikuti oleh penetapan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) atau Free Trade Zone (FTZ).
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Khusus Batam, Djaja Roeslim mengungkapkan adanya nota kesepahaman pembangunan Kota Batam yang disepakati oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Batam bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam dan Badan Otorita Batam (sekarang disebut BP Batam) sejatinya semakin memuluskan laju pembangunan di Batam.
Seiring dengan itu, para investor dan pengembang properti pun mulai gencar masuk ke Batam. Pemkot Batam mengeluarkan tiga Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Perda Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bangunan Gedung di Kota Batam, serta Perda Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
“Para Investor tergerak untuk berinvestasi di sektor properti dan membangun banyak perumahan landed house. Tingginya pertumbuhan landed house memicu para investor untuk juga membangun apartemen. Jadi baru di tahun 2011 pembangunan apartemen mulai bergerak,” kata Djaja kepada Property and The City.
Menurut data REI Batam, saat ini ada sekitar tiga apartemen besar di Batam. Sedangkan yang masih dalam proses pembangunan mencapai 10 unit. Sedangkan pusat perbelanjaan dan gaya hidup (mall) besar ada sekitar 8 unit. Adapun jumlah hotel mulai dari kelas melati hingga bintang 4 berjumlah sekitar 100 unit. “Belum ada hotel bintang lima di Batam. Ada satu yang sekarang lagi dibangun,” tandas Djaja.
“Mall di Batam sudah cukup banyak, dan semuanya hampir sama saja. Sehingga jika ada investor yang mau bangun mall lagi sebaiknya punya keunikan dan ciri tersendiri,” kata Ketua Umum DPP REI, Eddy Hussy. Salah satu peluang di Batam, selain hunian, lanjutnya, adalah gedung perkantoran.
Prospek Cerah
Potensi tumbuh suburnya bisnis properti di Batam tersebut, rupanya sudah terendus oleh beberapa pengembang nasional, seperti Agung Podomoro Land (APL), Sinar Mas Land (SML), Ciputra, dan Pollux Properties, sejak beberapa tahun lalu.
Para pengembang properti kakap tersebut semakin gencar membangun sejumlah proyek prestisiusnya di Batam bahkan telah menjadi prioritas pengembangan. SML yang sebelumnya sudah sukses membangun Taman Duta Mas di Batam Center kembali meluncurkan hunian Nuvasa Bay di kawasan Nongsa. Nuvasa Bay merupakan perluasan dari portofolio Sinarmas Land kedua di kota ini, yakni Palm Springs Golf & Country Club. Sementara Agung Podomoro pun sudah lebih dahulu dengan hunian Orchard Park.
Nuvasa Bay, proyek prestisius seluas 228 hektar yang baru diluncurkan pada 15 Desember 2015 lalu merupakan bukti keseriusan SML dalam menggarap potensi Batam. Dalam membangun hunian dan mixed-used terbaru bertaraf internasional tersebut, SML bahkan menggelontorkan dana investasi sebesar Rp 9 triliun untuk pengembangannya selama 15 tahun. Padahal sekira 15 tahun sebelumnya, SML menganggap Batam bukanlah menjadi prioritas pengembangan properti.
CEO Strategic Development & Services Sinarmas Land, Ishak Chandra, bahkan semakin optimis melihat prospek pertumbuhan properti Batam yang melampaui rerata pertumbuhan nasional, yakni 13,1 persen.
“Secara ekonomi pertumbuhan GDP Batam juga masuk peringkat keempat yakni 12,4 persen. Jadi Batam memang sangat potensial,” kata Ishak saat perkenalan Nuvasa Bay di Nongsa, Batam bulan Desember lalu.
Membidik potensi Batam tersebut, SML memasarkan proyek terbarunya itu dengan menyasar masyarakat kelas menengah ke atas. Harga jual huniannya pun cukup tinggi, yakni residensial dengan harga di atas Rp 1,5 miliar hingga Rp 20 miliar, dan kondominiumnya mulai dari Rp 500 jutaan.
Tidak hanya SML, beberapa proyek dari pengembang nasional pun gencar dipasarkan, seperti Orchard Park yang dibangun oleh APL. Orchard Park dibangun di atas lahan seluas 42 hektar yang mencakup hunian lima klaster dengan patokan harga Rp 700 juta hingga Rp 3 miliar per unit.
“Ada sebanyak 1200 unit rumah yang kami bangun di sana. Kami menyasar pasar menengah ke atas dengan kisaran harga jual mulai dari Rp 1 sampai Rp 3,5 miliar,” kata Agung Wirajaya, Marketing Development General Manager APL.
Selain itu, ada pula CitraLand Megah Batam yang dibangun oleh grup usaha Ciputra di atas lahan seluas 15 hektar. Hunian di sini menawarkan tipikal unit berdimensi 245 meter persegi, 330 meter persegi, dan 490 meter persegi, dengan luas lahan sekitar 160 meter persegi hingga 280 meter persegi. Harga jual perdananya mulai dari Rp 3 miliar per unit.
Pusat Pengembangan Properti
Ada dua wilayah di Batam yang disebut Ketua DPD REI Batam, Djaja Roeslim sebagai ring satu dan ring dua konsentrasi pengembangan properti. Berdasarkan pengamatannya, dalam lima tahun ke depan para pengembang properti akan lebih berpusat di daerah Batam Center serta di wilayah Nongsa dan sekitarnya.
Batam Center masih memiliki banyak lahan reklamasi yang bahkan berpotensi dikembangkan menjadi 1.000 hektar jika semuanya direklamasi. Di luar reklamasi juga masih terdapat lahan seluas 200 hektar yang tidak termasuk daerah hutan lindung. Bahkan harga tanah di kawasan ring satu ini masih relatif terjangkau yang berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per meter. “Wilayah ini masih sangat berpotensi terhadap properti, terutama untuk hunian kelas menengah atas,” ungkap Djaja.
Masuk di ring dua, yakni antara Bandara Hang Nadim hingga Nongsa. Di sini, potensi lahan yang bisa dikembangkan mencapai 300 hektar. Nongsa, sebagaimana diketahui sangat terkenal dengan wisata pantainya. Wisatawan, baik mancanegara maupun domestik yang datang juga menjadi potensi yang diperhitungan para developer untuk membangun berbagai fasilitas hunian, hotel, resort, dan lainnya.
Namun kini, sambung Djaja, konsentrasi pengembangan properti di Batam tidak hanya terpusat di Batam Center saja. Kata dia, untuk perumahan kelas menengah ke atas memang masih di Batam Center sementara menengah ke bawah menyebar di sekitar Tanjung Uncang dan Tanjung Piayu. Sedangkan apartemen yang sudah semakin banyak lebih terkonsentrasi pembangunannya di wilayah Nagoya.
“Namun Nagoya yang sudah penuh menggeser pengembangan properti ke wilayah Nongsa. Jadi sekarang ring satu properti sudah bergeser ke Nongsa ini. Tapi di sini arahnya lebih ke sektor pariwisata dengan adanya perhotelan, resort, juga hunian low-rise apartment,” terang Djaja.
Tumpang Tindih Kewenangan
Lepas dari semua itu, ada sejumlah hal yang masih harus dibereskan guna memuluskan prospek bisnis dan investasi properti di Batam, yakni dualisme kewenangan. Di Batam terdapat dua lembaga yang sejatinya mempunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda, yakni Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang kemudian disebut Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam. Awalnya pada 1970, seluruh Pulau Batam dikelola oleh Otorita Batam. Dalam pengembangannya, tahun 1999 dikeluarkan Undang-Undang (UU) Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diikuti dengan pembentukan Pemerintah Kota Batam. Sejak itulah dualisme dan tumpang tindih kewenangan mulai bermunculan.
Urusan kependudukan dan ekspor-impor yang semula berada di bawah Otorita Batam mulai bergeser ke Pemkot Batam. Belum lagi soal kewenangan perizinan yang sering kali masih menjadi ‘rebutan’ antara keduanya.
Praktisi Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam (UIB), Ampuan Situmeang dalam opininya di Batampos mengatakan tumpang tindih kewenangan tersebut bermula sejak penetapan Batam sebagai daerah otonomi berdasarkan UU Nomor 53 Tahun 1999 yang tidak diikuti dengan penyelasaran seluruh ketentuan perundangan yang secara khusus mengatur kegiatan pemerintahan dan daerah industri Pulau Batam.
Pada awalnya pengembangan fungsi Batam didasarkan atas Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam (yang meliputi wilayah Batu Ampar saja), yang diarahkan untuk Membangun P. Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Kemudian Batam ditetapkan sebagai daerah industri berdasarkan Keppres Nomor 41 Tahun 1973 yang dikelola oleh suatu badan yang dinamakan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Otorita Batam). Badan tersebut memiliki otoritas mengelola seluruh lahan di Pulau Batam. Baru pada tahun 1983 dengan dikeluarkannya PP Nomor 34 Tahun 1983 yang kemudian diikuti dengan Keppres Nomor 7 Tahun 1984 yang mengatur hubungan kerja antara Pemkot Batam dengan Badan otorita Batam.
“Seluruh pengelolaan lahan pada saat itu dan seluruh perencanaan pembangunan yang disebut Master Plan Pembangunan Batam, sepenuhnya dirancang dan dibentuk di bawah koordinasi Badan Otorita Batam, yang kemudian akan diajukan kepada Presiden untuk disetujui,” ujar Ampuan.
Pada tahun 1992, sebagaimana dalam Keppres Nomor 28 Tahun 1992, wilayah kerja Badan Otorita Batam diperluas ke beberapa pulau, seperti ke Pulau Rempang dan Pulau Galang. Dengan demikian maka hak pengelolaan lahan juga diperluas. Namun realisasi pemberian hak pengelolaan tersebut terkendala oleh berbagai hal yang bersifat administrasi pemerintahan.
Setelah Batam menjadi daerah otonom berdasarkan UU Nomor 53 Tahun 1999, maka lahan tanah adalah menjadi kewenangan wajib Pemerintah Daerah. Namun setelah UU Nomor 22 Tahun 1999 diubah menjad UU Nomor 32 Tahun 2004 kewenangan untuk mengelola lahan tanah tidak lagi menjadi kewajiban melainkan berubah menjadi urusan Pemerintahan Daerah. Kemudian pada tahun 2007 dengan adanya Perpu Nomor 1 Tahun 2007 jo PP Nomor 46 Tahun 2007 mengalihkan seluruh hak pengelolaan Pemkot Batam menjadi hak pengelolaan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).
“Inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat inilah menjadi salah satu sumber carut-marut perebutan hak pengelolaan lahan di Batam dan beberapa pulau sekitarnya. Ini pula menjadi tumpang tindih kewenangan dalam administrasi pemerintahan,” katanya.
Djaja Roeslim pun mengakui jika hingga saat ini masih ada sekelumit persoalan terkait proses perijinan. Namun demikian pada akhirnya bisa diselesaikan lantaran Pemkot Batam dan BP Batam telah memiliki pembagian kerja yang jelas. “Sebetulnya masing-masing lembaga ini sudah memiliki tugas yang jelas. Nah, yang penting adalah mereka harus bisa duduk bersama sehingga ketika berhadapan dengan investor mereka sudah sama-sama seia-sekata,” tandas Djaja.
Saat ini, sambung Djaja ada sebagian perizinan yang masih di Pemkot dan sebagian lagi di BP Batam, sehingga para pengusaha harus mendatangi kedua lembaga tersebut. “Masalahnya saat ini adalah penerapannya yang terkadang suka nggak nyambung, di Pemkot bilang A di BP bilang B. Padahal itu satu rangkaian perizinan.” Jadi menurut Djaja, perlu adanya koordinasi yang lebih intensif antara kedua lembaga tersebut sehingga proses perizinan tidak memakan waktu yang lama.
Lahan Terbatas
Selain soal regulasi dan perijinan, ada sejumlah persoalan terkait status lahan di Batam yang sebagian besar masuk ke dalam kawasan hutan lindung. Sebagaimana diketahui, sebagian besar lahan di Batam masuk dalam kawasan hutan lindung, pasca Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menhut Nomor 463/Menhut-II/2013 pada 27 Juni 2013. SK tersebut mengubah sebagian besar lahan di Batam menjadi kawasan hutan lindung. Status lahan yang demikian berdampak semakin terbatasnya area pengembangan properti, baik untuk hunian, perkantoran, maupun pusat ritel/komersial.
Berdasarkan data Realestat Indonesia (REI) Batam, sedikitnya ada 1.830 hektar lahan yang tidak bisa dikeluarkan sertifikatnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak Juni 2013 karena masuk dalam kawasan hutan lindung berdasarkan SK Menhut tersebut. Jumlah itu belum termasuk 12.000 hektar lahan lainnya yang terkendala mendapatkan sertifikat dengan alasan yang sama sebelum SK Menhut tahun 2013 tersebut diterbitkan.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah kembali melonggarakan kebijakannya. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengeluarkan (SK) Menhut Nomor: SK.76/MenLHK-II/2015 yang ditandatanganinya pada 6 Maret 2015. SK tersebut telah menginstruksikan pembebasan lahan yang masuk kawasan hutan lindung. Dalam SK tersebut, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas ± 231.441 ha, terdiri dari: Kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis (DPCLS) seluas ± 23.872 ha, Non DPCLS seluas ± 207.569 ha. Kemudian perubahan fungsi kawasan hutan seluas ± 60.299 dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas ± 536 ha. Namun demikian, belum adanya kejelasan soal peta pembagian wilayah dan luas area yang dibebaskan, maka masih saja menjadi kendala pengembangan properti di Batam.
Tidak hanya itu, kendala lainnya adalah terkait dengan Hak Pengelolaan Lahan (HPL), dimana saat ini masih banyak lahan di Batam yang belum ada HPL-nya. Hal ini disebabkan oleh adanya dualisme kewenangan pemberi izin, yakni Pemkot Batam dan BP Batam. Soal lainnya adalah belum adanya kepastian yang jelas tentang kepemilikan properti bagi warga negara asing meskipun telah dikeluarkan PP terbaru No. 103 tahun 2015. Ini berbanding terbalik dengan Singapura dan Johor Malaysia yang justru gencar menyasar pembeli asing terutama dari Indonesia. Di Singapura, warga asing boleh membeli apartemen dengan berbagai kemudahan sistem perpajakan. Demikian halnya di Johor, Malaysia, orang asing juga bisa membeli produk properti mulai dari tipe kecil hingga yang besar.(Jkt,17/2/2016)