Jakarta, Propertyandthecity.com – Kenaikan PPN 12% belakangan ini mencuri perhatian masyarakat. Belakangan kenaikan PPN juga dihebohkan karena sejumlah perhitungan menunjukan bahwa dampak kenaikan tersebut jauh lebih besar dari yang diperkirakan, dengan beban pajak yang melonjak hingga 9%.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa kenaikan PPN yang berlaku hanya sebesar 1%.
“Nambahnya cuma 1%,” tegas Airlangga, di Alam Sutera, Tangerang, Minggu (22/12/2024).
Kenaikan beban pajak PPN sebesar 9% tengah menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Banyak akun media sosial yang mulai mengulas perhitungan-perhitungan terkait, seiring dengan pemberlakuan PPN 12% yang akan dimulai pada 1 Januari 2025.
Berdasarkan unggahan viral yang beredar, dikutip Senin (23/12/2024), angka 9% yang disebut-sebut bukanlah kenaikan harga barang, melainkan kenaikan pada beban pajaknya. Hal ini memicu perdebatan luas di kalangan netizen.
Lewat video penjelasan yang diunggah pada Kamis (19/12/2024), Jerome Polin yang dikenal sebagai konten kreator yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang matematika dan sering membuat konten yang membahas topik-topik matematika menguraikan perhitungan kenaikan PPN tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami. Penjelasan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakar mengenai perubahan tarif pajak.
Jerome menjelaskan dengan skenario harga barang Rp 100 ribu. Kemudian dilanjutkan dengan perhitungan pajaknya yang sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen dengan perhitungan matematika sederhana.
“Misal harga barang Rp100 ribu terus pajaknya 11 persen, artinya pajak yang harus dibayar Rp11 ribu. Kalau pajak 12 persen, maka pajaknya Rp12 ribu. Naiknya nambah Rp1 ribu,” jelas Jerome.
Kalau dilihat dari harga total, kenaikannya memang Rp 1000 yakni 1 persen. Namun sebenarnya yang berubah itu adalah pajaknya, sementara harga barangnya tetap. Oleh karenanya kalau mau menghitung pajak harus fokus pada pajaknya.
“Berarti kita akan hitung Rp1 ribu itu berapa persen dari Rp11 ribu ke Rp12 ribu. Jadi, Rp1 ribu dibagi Rp11 ribu dikali 100 persen, yang kalau dihitung sekitar 9,09 persen atau dibulatkan jadi 9 persen,” jelas Jerome.
Pada akhir video penjelasannya, YouTuber berusia 26 tahun itu menyimpulkan jika pajak memang naik 1 persen, tetapi nominal pajak yang harus dibayarkan adalah naik 9 persen.
“Kesimpulannya, memang pajak naik 1 persen, tapi nominal pajak yang harus dibayar dari sebelumnya naik 9 persen dari sebelumnya,” tutup Jerome.
Disamping itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut kenaikan PPN menjadi 12% tidak tepat di tengah rapuhnya kondisi ekonomi saat ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keputusan tersebut dan mencari alternatif kebijakan fiskal yang lebih kreatif tanpa membebani daya beli masyarakat.
“Kenaikan ini berpotensi meningkatkan inflasi, terutama mempengaruhi harga kebutuhan pokok dan barang lainnya. Pemerintah juga harus mempertimbangkan kebutuhan anggaran untuk stimulus guna meredam tekanan kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat,” kata Achmad melalui keterangan tertulis, dikutip Senin (23/12/2024).
Dalam konteks stimulus, pemerintah perlu menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83% dari PDB. Menurut Achmad, ada beberapa opsi lain yang dapat dipertimbangkan daripada menaikkan PPN menjadi 12%. Pertama, pemerintah harus mengoptimalkan pajak digital. Meskipun perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, penerimaan pajak dari sektor ini masih jauh dari potensinya.
Achmad juga menyebut, pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar USD77 miliar, dan angka ini terus meningkat setiap tahun. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5% dari total penerimaan pajak.
Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah meningkatkan pengawasan serta penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia. Sebab, banyak perusahaan digital global yang masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
Lebih lanjut, potensi penerimaan dari pajak digital ini sangat besar. Jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk PPN dan pajak penghasilan (PPh) bagi pelaku usaha digital, penerimaan negara diperkirakan bisa meningkat signifikan.
“Penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70-100 triliun per tahun,” kata Achmad.
Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai “Digital Services Tax” (DST). Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2% untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik. Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari USD700 juta.
Sementara itu, Prancis juga telah memberlakukan pajak digital serupa dengan tarif 3%, yang menyasar raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook. Indonesia dapat mempelajari model ini dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal. Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa memperkenalkan skema kerja sama dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak. Contohnya, Korea Selatan menggunakan integrasi data waktu nyata antara platform e-commerce dan otoritas pajak untuk memastikan semua transaksi tercatat secara akurat. Model seperti ini dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan optimalisasi kebijakan pajak digital, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga menciptakan iklim persaingan yang lebih adil bagi pelaku usaha lokal dan global. Langkah ini juga mengurangi ketergantungan pada pajak konsumsi tradisional yang membebani masyarakat umum.
Kedua, pemerintah perlu melakukan Reformasi Pajak Penghasilan (PPh) untuk golongan atas. Pemerintah dapat mengevaluasi ulang struktur Pajak Penghasilan (PPh) bagi golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Pengenaan tarif yang lebih progresif pada kelompok super kaya akan menciptakan penerimaan tambahan tanpa berdampak langsung pada mayoritas masyarakat.
“Perkenalan pajak kekayaan (wealth tax) terhadap aset juga memberikan suasana pemerataan kepada mereka super kaya. Pendekatan ini juga lebih adil karena mendistribusikan beban pajak sesuai dengan kemampuan ekonomi individu,” ungkapnya.
Ketiga, perbaikan tata kelola pemungutan PPN. Pemerintah harus fokus pada perbaikan tata kelola pemungutan PPN sebesar 11% yang sudah ada saat ini. Dengan menutup celah kebocoran pajak, meningkatkan pengawasan, dan memperkuat sistem teknologi informasi perpajakan, potensi tambahan penerimaan bisa mencapai Rp50-75 triliun per tahun tanpa harus menaikkan tarif.
Keempat, evaluasi paket bebas pajak untuk investasi pertambangan dan hilirisasi. Kebijakan pembebasan pajak untuk sektor pertambangan dan hilirisasi perlu dievaluasi ulang. Peninjauan insentif yang kurang efektif dapat memberikan tambahan penerimaan hingga Rp30 triliun per tahun jika difokuskan pada investasi yang lebih produktif dan berkelanjutan.
Kelima, efisiensi belanja negara. Selain meningkatkan penerimaan, pemerintah perlu melakukan efisiensi pada belanja negara. Evaluasi terhadap program-program yang tidak produktif atau memiliki tingkat kebocoran tinggi harus menjadi prioritas. Dana yang dihemat dari efisiensi ini dapat dialihkan untuk menutupi kebutuhan anggaran tanpa harus membebani masyarakat,” ucapnya.
Keenam, pengembangan ekonomi hijau. Investasi pada sektor ekonomi hijau, seperti energi terbarukan dan pengelolaan limbah, memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan negara melalui inovasi dan insentif baru. “Pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan pajak karbon yang adil, yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga mendorong keberlanjutan lingkungan,” kata Achmad.
Masyarakat Serukan Tolak PPN 12%
“Sebagai pemerintah yang demokratis, mendengarkan suara rakyat adalah bagian integral dari tata kelola yang baik. Kegagalan merespon secara tepat dapat menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah,” tandasnya.