PropertyandTheCity.com, Jakarta – Rencana naiknya tarif tol mungkin dipandang sebagai hal biasa. Kenaikan BBM juga mungkin dilihat sebagai hal yang lumrah. Namun kondisi-kondisi itu menjadi terkait satu dengan yang lainnya, ketika terjadi dalam waktu yang relatif bersamaan. Belum lagi kenaikan pajak-pajak yang akan mendongrak harga-harga di pasaran. Kondisi ini juga diperparah dengan belum membaiknya daya beli masyarakat termasuk ancaman dan aksi PHK yang semakin meluas.
Pemerintah berdalih bahwa itu semua penyesuaian yang harus dilakukan. Seakan tutup mata dengan kondisi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja, keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat perlu dikaji lebih dalam lagi, khususnya kalangan menengah yang semakin lama semakin terhimpit. Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch menanggapi kebijakan-kebijakan pemerintah yang saat ini dianggap melupakan masyarakat menengah perkotaan yang seharusnya juga menjadi perhatian.
“Di tengah kondisi saat ini kaum menengah lah yang merasakan dampaknya. Sebesar 60%-70% pekerja perkotaan khususnya yang bekerja di Jakarta merupakan kaum komuter kelas menengah. Pada jam-jam kerja Jakarta dipenuhi oleh 22 juta orang dibandingkan penduduk Jakarta 11 juta jiwa. Meningkatnya biaya transportasi akan semakin menekan daya beli kalangan pekerja menengah, belum lagi beban pengeluaran makanan dan biaya perumahan yang menjadi bagian yang terbesar dalam porsi pengeluaran kaum menengah perkotaan,” jelas Ali.
Berdasarkan data Indonesia Property Watch, biaya transportasi di Indonesia, khususnya di Jakarta, biaya transportasi membebani sebesar 14,1% – 23,0% dari penghasilan rata-rata UMP Jakarta, dibandingkan di Singapura yang diperkirakan 4,8%, Hongkong yang diperkirakan sebesar 6,1%. Selain biaya, waktu tempuh juga menjadi momok bagi kaum komuter.
Hunian di pinggiran Jakarta bisa jadi juga tidak menjadi solusi, apalagi yang tidak terkoneksi dengan transportasi umum. Pastinya biaya transportasi akan lebih membengkak dan waktu tempuh semakin lama. Kapasitas transportasi massal di Jakarta pun masih berproses dan tidak bisa memaksakan masyarakat untuk menggunakannya selama belum dirasakan nyaman.
“Hunian vertikal perkotaan harusnya bisa menjadi solusi karena saat ini apartemen-apartemen yang ada sebagian besar untuk kalangan atas, justru kalangan menengah jelas menjadi semakin terpinggirkan. Mindset-nya tidak selalu harus beli, rusun sewa pun akan membuat kaum pekerja lebih produktif karena lokasi yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja. Dan dari kemacetan lalu lintas harusnya bisa lebih teratasi,” jelas Ali.
Hunian kelas menengah sangat terbatas di Jakarta, bahkan unit apartemen terkecil dibandrol dengan harga minimal Rp500juta. Karenanya Ali mengusulkan kepada pemerintah untuk memulai rencana hunian bagi kaum perkotaan di dalam kota, baik rusun jual atau sewa dengan insentif dan memberdayakan tanah-tanah pemda atau BUMN/BUMD.
Jakarta harus segera berbenah dengan adanya perubahan kepemimpinan. Karena masalah hunian saat ini masih belum menjadi prioritas penting, yang sebenarnya apat membuat sebuah kota lebih produktif, sehat, dan berkembang dengan baik.