Propertyandthecity.com, Jakarta – Tidak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dalam dua bulan lebih telah berimbas negatif terhadap hampir semua sektor. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah kondisi saat ini masuk dalam kategori force majeure?
Untuk diketahui, force majeure merupakan sebuah kondisi yang terjadi diluar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan. Dan kondisi ini pun telah berdampak pada tidak berjalannya sebuah aktivitas usaha.
Baca: Covid-19 dan Ancaman Terjadinya Force Majure
Menurut Ori Setianto property lawyer dari Kantor Konsultan Hukum OSS Partnership, kondisi saat ini tidak semua sektor dapat dikatakan mengalami force majeure. Perlu hati-hati dalam menetapkan kondisi force majeure.
“Saat ini pemerintah pun belum menyebutkan kondisi ini sebagai force majeure. Bila ada yang menyebutkan sebagai force majeure, perlu ada bukti yang menguatkan yang tidak mudah bahkan saat krisis 1998 pun tidak ada pengadilan yang menyatakan sebuah kasus sebagai force majeure,” ungkap Ori dalam zoom webinar yang diselenggarakan oleh PropertiBaik member of Indonesia Property Watch yang merupakan platform start up baru di bidang properti. Acara yang difasilitasi oleh AREBI DKI Jakarta dengan dukungan DPP AREBI tersebut diselenggarakan, Rabu (6/5/2020).
Untuk ini, lanjut Ori, yang perlu dilakukan adalah lebih ke re-balancing antara semua pihak dengan itikad baik untuk mencari solusi semua pihak dengan negosiasi yang saling ‘rugi’, karena saat ini tidak ada yang untung.
Demikian halnya pada sektor properti yang juga terdampak pandemi ini. Namun, sektor ini pun belum dapat dikategorikan masuk force majeure. Untuk ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan guna meringankan beban konsumen dalam mencicil propertinya melalui bank penyalur.
Namun, Yustinus Ho, Chairman Century 21 Mediterania Group menyebutkan saat ini juga belum banyak konsumen yang mengajukan penundaan cicilan ke bank meskipun tingkat keberhasilannya kecil karena mitigasi risiko dari bank cukup ketat saat ini.
“Pengembang saat ini pun dihadapkan dengan masalah cashflow. Banyak konsumen yang tidak melanjutkan cicilannya. Semakin berat ketika bangunan telah jadi. Komunikasi harus dilakukan untuk memberikan jalan keluar bersama,” ujar Yustinus.
Baca: SOHO, Boutique Office, dan Virtual Office Berpotensi Meningkat
Olehkarenanya, Yustinus menyarankan agar pembayaran jangan ditunda bila masih memungkinkan, karena proses waktu dan biaya malah menghabiskan energi. “Negosiasi dan itikad baik harus dikedepankan menyelesaikan segala permasalahan perjanjian kredit dan cicilan yang menyangkut perbankan atau ke pengembang,” katanya.
Lebih rinci, Yustinus bilang, saat ini pun yang dibebankan hanya bunga selama maksimal 1 tahun ke depan. Dengan rata-rata bunga bank saat ini sekitar 8 persen. Sementara biaya pokoknya nanti dibayarkan setelah 1 tahun maksimum.
“Misalkan KPR dengan tenor sisa cicilan 25 bulan sebelum Covid-19. Selama Covid-19 ini kita boleh membayar bunganya saja. Setelah setahun kita bayar, tenornya jadi berubah tidak 25 lagi tapi sisa 13 bulan dengan bunga yang sudah ditentukan sebelumnya atau ikuti bunga fix dari perjanjian sebelumnya,” jelas Yustinus.
Bahkan, lanjut Yustinus, ada konsumen yang minta tunda bayar semuanya, bunga termasuk pokoknya. Padahal hal ini mustahil disetujui bank.
“Saya rasa ini tidak mungkin berjalan karena bukan force majeure. Ada juga konsumen yang minta bunganya didiskon, tapi pastinya bank juga tidak memberikan. Perbankan paling bisa memberikan opsi-opsi. Seperti hanya bayar bunga atau tenornya diperpanjang,” sebut dia.
Baca: Citra Maja Raya Raup Rp130 Miliar dari Launching Online
Sementara Ori menambahkan, kriteria pengajuan keringanan tersebut telah diserahkan ke masing-masing bank, bukan dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Ada beberapa syarat, dia mencontohkan, seperti nasabah yang punya historical payment yang baik, kemudian nasabah juga harus bisa membuktikan bahwa kemampuan finansial dia benar-benar tidak sesuai lagi dengan perjanjian awal.
“Misalkan, industri atau usahanya terpaksa ditutup oleh kebijakan pemerintah, dan lainnya,” pungkas Ori.