Oleh: ERWIN KALLO
Propertyandthecity.com, Jakarta – Banyak pertanyaan yang muncul di tengah merebaknya wabah Covid-19 yang sudah menjadi pandemi global, termasuk Indonesia sendiri, apakah kondisi saat ini menuju krisis ekonomi? Untuk mengatakan saat ini menuju krisis, harus dilihat dari dua situasi. Pertama, kondisi masyarakat, dimana struktur sosial ekonomi kita seperti piramida yaitu kelompok menengah, bawah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) secara kuantitas lebih banyak di atas 50 persen. Mereka ini sangat tergantung dengan pendapatan harian atau setidaknya upah harian atau mingguan.
Sehingga bukan saja akan mengurangi daya beli mereka tapi bisa hilang daya beli mereka. Sedangkan daya tersebut ekonomi dari konsumsi masyarakat artinya akan terjadi stagnasi perputaran ekonomi di masyarakat khususnya sektor riil. Oleh karena itu, jika kondisi ini berkepanjangan bukan saja menuju krisis ekonomi tapi sudah tiba ditempa krisis ekonomi yang akan disertai dengan krisis pangan dan krisis sosial politik.
Baca: Corona Hantam Properti Tanpa Stimulus
Kedua, kondisi keuangan negara yang memaksa pemerintah merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu membuktikan adanya perubahan kebijakan pemerintah belum lagi kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah tentang pembatasan aktivitas warga yang tidak memungkinkan masyarakat beraktivitas termasuk aktivitas ekonomi.
Pertanyaan lain yang muncul dari para pelaku usaha, apakah situasi saat ini bisa dikategorikan force majure. Kita harus tahu dulu apa itu force majure. Force majure atau keadaan kahar definisi hukumnya adalah suatu keadaan diluar kemauan dan kemampuan para pihak yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian atau hak/kewajiban para pihak tidak dapat dilaksanakan dengan ketentuan masing-masing pihak tidak dapat dituntut bertanggungjawab atas kejadian dan resiko yang ditimbulkan oleh keadaan tersebut. Memahami pengertian tersebut di atas, jelas adanya wabah Covid-19 dan kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan-pembatasan kegiatan masyarakat adalah terjadi force majure.
Dengan terjadinya situasi force majure, pemerintah dalam hal ini OJK, telah mengeluarkan POJK No. 11/POJK.03/2020 , yang antara lain mengatur memberikan keleluasaan bank untuk relaksasi dan restruktur kredit-kreditnya kepada para debiturnya. Kami menilai political will OJK sudah benar, hanya saja kurang tuntas dan cenderung ngambang karena kebijakan-kebijakan tersebut diserahkan kepada masing-masing bank. Hal ini akan berdampak kegaduhan di masyarakat debitur jika masing-masing bank mengeluarkan kebijakan yang berbeda-beda. Dibidang perpajakan juga telah ada pengurangan pajak badan walaupun tidak maksimal, tetapi kita harus hargai upaya pemerintah. Sekarang kita tunggu stimulasi dari pemerintah daerah seperti retribusi dan perizinan-perizinan karena pengembang itu usaha banyak dengan pemerintah daerah daripada pemerintah pusat.
Kondisi saat ini jelas menjadi ancaman bagi pengembang, yang paling pahit adalah sampai gulung tikar. Terutama pengembang yang menggarap rumah-rumah subsidi pemerintah karena macetnya bantuan dari pemerintah. Akibatnya cash flow mereka sangat rentan dengan penjualan langsung (end user) yang tentunya ikut terhenti. Saat ini saja pengembang sudah mengeluh, setelah akad kredit yang cair cuma 20 persen. Bisa apa dengan 20 persen itu. Untuk overhead saja kurang.
Baca: BTN Siap Berikan Stimulus untuk Calon Konsumen KPR
Dalam kondisi seperti ini saya yakin para pengembang Indonesia sudah tahan banting karena sudah berpengalaman menghadapi tekanan atau krisis seperti wabah Covid-19. Ibaratnya tidak perlu diajari ikan berenang. Hanya saja sekadar mengingatkan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pengembang. Pertama, marketing tetap jalan dengan pendekatan-pendekatan yang kreatif dan harga yang lebih menarik. Ingat, bagaimanapun masih ada orang-orang yang mau beli properti (time to buy) karena kalau berhenti sama sekali itu artinya putus asa. Kedua, efisiensi biaya, contoh pengurangan gaji level manajer ke atas, karena kita harus sama-sama prihatin yang tidak mau berarti tidak loyal. Ketiga, kontrol Kebocoran biaya proyek.
Belajar dari krisis ekonomi tahun 1998 yang membuat banyak bank tumbang, itu terjadi karena mayoritas pasti terjadi gagal bayar kredit konstruksi pengembang kepada bank, karena cash flow mengalami gangguan Covid-19 dimana penjualan akan terhenti, cicilan developer juga terhenti berarti tidak ada arus kas masuk (in flow). Tetapi yang harus dicatat apabila terjadi wanprestasi (tidak menjalani kewajiban) atau gagal bayar yang diakibatkan oleh “force majure” tidak dapat dituntut secara hukum atau “default” . Oleh karena itu, debitur/pengembang dan kreditur/bank harus memusyawarahkan hal tersebut, misalnya selama masa force majure (Covid-19) cicilan dapat dapat ditunda dan tanpa dikenakan pinalti. It’s fair, dapat pula disertai dengan reschedule cicilan.
Saya yakin Tidak lama kita bisa bangkit, asal pemerintah dan masyarakat bersatu dan ada “trust”. Kita lihat negara-negara lain segera bangkit karena mereka menyadari ini masalah bersama, pemerintah dapat men-drive masyarakat sepanjang ada trust, jangan dicampur aduk dengan politik, artinya jangan ada politikus yang mengkapitalisasi wabah Covid-19 sebagai arsenal menembak pemerintah dan menunggu disimpang jika untuk ikut-ikut mengkritik padahal mereka adalah bagian dari pemerintah itu sendiri.
Baca: PUPR Gulirkan Stimulus, Pengamat: Lihat Urgensinya!
Khusus untuk properti saya yakin akan bangkit duluan dari sektor-sektor lainnya, dan itu sudah terbukti. Properti lebih dulu bangkit setelah krisis 1998, karena properti itu padat modal dan padat karya dan start time business/quickly business. Oleh karena itu, pemerintah harus memberi atensi yang serius pada sektor properti ini, ibarat ayam kita harus pelihara agar sehat supaya dapat bertelur yang banyak, jangan dihajar terus dengan regulasi-regulasi yang tidak produktif nanti mati ayamnya. *
ERWIN KALLO: Penulis adalah Property Lawyer