Kota Jakarta kian padat dengan hiruk- pikuk berbagai aktivitas masyarakat. Baik perkantoran milik pemerintah, swasta, aktivitas bisnis dan lainnya. Tidak heran, kondisi lalu lintas pun semakin padat di jalan-jalan protokol Ibu Kota, bahkan hingga ke kota-kota penyangga di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).
baca juga, 4 Alasan Penting Harus Memilih Bahan Bangunan Ramah Lingkungan
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan (Dukcapil) pada Juni 2022, DKI Jakarta dihuni oleh sebanyak 11,25 juta jiwa penduduk dalam area seluas 661,23 km persegi. Ini berarti, tingkat kepadatan penduduk di Ibu Kota mencapai 17.013 jiwa/km persegi.
Adapun kepadatan penduduk tersebut meningkat hingga lebih dari 2,5 kali di siang hari lantaran jumlah komuter atau penglaju yang masuk ke Jakarta mencapai 29 juta dalam sehari. Demikian diungkapkan Rizkan Firman, Direktur Utama PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP) dalam sebuah talkshow yang digelar secara online belum lama ini.
“Bahkan sebanyak 72 persen komuter tersebut masih menggunakan kendaraan pribadi menuju ke Jakarta. Sementara kondisi transportasi juga terbatas. Jadi memang, pertumbuhan infrastruktur transportasi masih sangat rendah dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah komuter yang menuju ke Jakarta. Kita bisa membayangkan Bagaimana kemacetan yang terjadi sekarang ini,” kata Rizkan.
Data terbaru yang dirilis TomTom Traffic Index awal tahun ini menunjukkan bahwa peringkat kemacetan DKI Jakarta naik pada tahun 2022, yakni berada di peringkat 29 dari 389 kota di dunia. Sebelumnya pada tahun 2021 berada di posisi ke-46 sementara pada 2020, Jakarta berada di posisi 31. Untuk saat ini, waktu ratarata perjalanan dalam 10 km adalah 22 menit 40 detik. Waktu tempuh itu meningkat sekitar 2 menit 50 detik dibanding tahun 2021.
Senada, Farchad H Mahfud, Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta (Perseroda) mengatakan, setiap hari ada sekitar 7 juta dari total 11 jutaan penduduk DKI Jakarta yang berkomuter dengan kendaraan. Kondisi ini kemudian memicu berbagai persoalan, seperti isu-isu terkait lingkungan (polusi udara), kemudian biaya yang dikeluarkan untuk BBM, bayar tol, hingga banyaknya waktu yang terbuang di jalan.
“Rata-rata waktu habis di jalan itu sekitar 4 jam. Bisa dibayangkan kalau kita kerja 8 jam plus 4 jam, maka menjadi 12 jam. Jadi the quality of
life-nya sangat buruk,” ungkapnya.
Menurut Farchad, selama ini Kota Jakarta dibangun dengan konsep car oriented development. Oleh karena itu, melalui Konsep Pengelolaan Kawasan Berorientasi Transit (KBT), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencoba untuk melakukan repositioning atau redefining dari car oriented menjadi transit oriented.
“Sehingga pembangunan gedung tinggi nantinya didorong hanya untuk area yang radius transit pedestrian dengan titik inti adalah public transport. Ini efeknya besar sekali,” katanya. Semua itu, lanjut Farchad, didasari oleh isu-isu sosial dan juga isu global bahwa harga energi
semakin mahal, harga pembangunan semakin mahal, dan development cost juga semakin mahal.
“Lalu kemudian pola-pola approach penanganan tata ruang kita, mau tidak mau masih terbawa dengan yang lama sehingga kita harus shifting demi efisiensi mobilitas penduduk dari origin to destination itu menjadi sekecil-kecilnya. Sependek-pendeknya waktu, sekecilkecilnya biaya,” ungkapnya.
Pengembangan Kota Berbasis Transit
Salah satu solusi untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut adalah pola pengembangan kota yang
berbasis transit atau transit oriented development (TOD). Saat ini, sudah ada beberapa moda transportasi publik massal yang sudah beroperasi maupun akan segera dioperasikan. Antara lain, Bus TransJakarta (Bus Rapid Transit/BRT), Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, KRL Commuter Line, hingga Lintas Rel Terpadu (LRT) Jabodebek yang direncanakan akan mulai beroperasi dalam tahun ini.
Keberadaan transportasi massal ini tentunya harus diikuti dengan pengembangan kawasan-kawasan di setiap simpul stasiun untuk mendukung konsep TOD tersebut. Pengembangan TOD menurut Oswar Mungkasa, Perencana Ahli Utama Bappenas, adalah upaya untuk mengurangi perjalanan. Artinya, berbagai kebutuhan manusia tersedia dalam sebuah kawasan dengan diameter 500-700 meter dari stasiun. “Seperti palugada, apa lu mau gue ada. Dengan demikian kita tidak melakukan perjalanan keluar karena semuanya sudah ada dalam satu tempat tersebut. Kalaupun terpaksa keluar maka menggunakan transportasi publik,” ujarnya.
TOD adalah kota kompak yang merangkum berbagai macam fungsi di dalamnya (mixed use). Dengan demikian, maka tingkat kepadatannya pun menjadi lebih tinggi. Ini ditandai dengan pengembangan gedunggedung vertikal dengan ragam fungsi, baik hunian, perkantoran, hotel, ritel dan lainnya.
Sementara simpul-simpul TOD atau stasiun juga hendaknya terkoneksi dengan moda transportasi lain. Misalnya, Stasiun KRL Commuter Line atau LRT yang berdekatan dengan stasiun MRT atau dengan halte BRT.
“Setidaknya terdapat dua moda transportasi publik di lokasi tersebut. Kalau di Jakarta rata-rata saat ini sudah ada yang namanya kereta KRL dan bus, ada juga MRT dengan TransJakarta. Bahkan lebih banyak dari itu lebih bagus lagi,” tambah Oswar.
Selain akan memecahkan berbagai persolan perkotaan seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, adanya kawasan-kawasan TOD tentu juga memberikan banyak manfaat lain, terutama bagi mereka yang tinggal dalam kawasan tersebut atau bahkan yang berdekatan dengan area TOD.
Dari segi efisiensi waktu, sudah pasti lebih dijamin ketepatan waktu tiba ke tempat tujuan apabila menggunakan transportasi massal, seperti KRL, MRT atau LRT, juga TransJakarta. Demikian juga pada biaya transportasi, tentunya sangat signifikan ditekan alias lebih hemat daripada menggunakan kendaraan pribadi. “Orang-orang yang tinggal di area TOD atau dekat dengan titik-titik stasiun transportasi massal ini akan lebih menikmati secara maksimal. Bagaimana mereka mengefisienkan waktu, hemat biaya dan hidup lebih sehat serta tentunya mendukung upaya untuk memperbaiki kondisi polusi,” ujar Rizkan.
Farchad juga punya pendapat yang sama. Kawasan TOD yang identik dengan area terbuka dan bebas kendaraan akan sangat mendukung pola hidup sehat bagi masyarakat di kawasan tersebut. “Sehingga gaya hidup sehat dengan berjalan kaki itu didorong dengan adanya konsep TOD ini yang memberikan dampak positif dari aspek kesehatan bagi warga,” ungkapnya. Selanjutnya, dengan adanya pengembangan penataan properti di lingkungan atau area TOD ini, maka tata kelola ruang juga menjadi lebih rapi dan nyaman. Adanya konsep TOD juga mendorong munculnya ruang publik aktif bagi masyarakat, baik di daerah TOD itu sendiri maupun masyarakat pendatang yang masuk ke area TOD.
“Dan yang paling penting juga adalah menciptakan peluang-peluang baru dalam kerja sama bisnis. Nantinya, TOD tersebut akan berkembang menjadi pusat-pusat bisnis baru. Karena adanya kemudahan transportasi sehingga itu sangat memungkinkan,” sebut Rizkan.