Top 5 This Week

Related Posts

Tentang Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan Aturannya

Propertyandthecity.com – Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi sebuah rumah yang tidak memenuhi standar kelayakan sebagai tempat tinggal yang aman, sehat, dan nyaman.

Rumah dalam kategori ini biasanya mengalami kerusakan pada struktur bangunan, tidak memiliki fasilitas dasar yang memadai (seperti sanitasi, air bersih, atau ventilasi yang baik), serta tidak memberikan keamanan dan kenyamanan yang cukup bagi penghuninya.

Kriteria rumah yang dianggap tidak layak huni bisa bervariasi, tetapi beberapa aspek utama yang diperhatikan antara lain:

  1. Kondisi fisik bangunan: Dinding, atap, dan lantai yang rusak atau tidak kokoh, yang dapat membahayakan penghuninya.
  2. Sanitasi dan kesehatan: Tidak ada akses ke air bersih, sanitasi buruk, atau kondisi lingkungan sekitar yang tidak sehat.
  3. Ventilasi dan pencahayaan: Rumah yang tidak memiliki ventilasi atau pencahayaan yang memadai, yang bisa mempengaruhi kesehatan penghuninya.
  4. Keamanan: Kondisi rumah yang rawan terhadap bahaya, seperti kebakaran atau bencana alam.

Pemerintah dan berbagai lembaga sering menggunakan istilah ini sebagai dasar untuk program perbaikan atau rehabilitasi rumah, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah, guna meningkatkan kualitas hunian mereka agar layak ditinggali.

Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) itu sendiri adalah kondisi kebalikan dari rumah layak huni, yaitu rumah yang memenuhi persyaratan dari pelbagai aspeknya. Sedangkan rumah tidak layak huni itu diidentikkan dengan konstruksi bangunan tidak berkualitas, luas tidak sesuai standar per orang, dan tidak menyehatkan bagi penghuninya dan atau membahayakan bagi penghuninya. Adapun rincian umumnya sebagaiberikut:

  1. Kriteria Rumah Tidak Layak Huni.
  2. Konstruksi bangunan membahayakan.
  3. Standar luasan ruang < 9 m2 per orang.
  4. Pencahayaan alami kurang (remang- remang atau gelap pada siang hari).
  5. Penghawaan tidak baik (ventilasi kurang atau tidak ada ventilasi).
  6. Kelembaban ruang tinggi (akibat ventilasi dan pencahayaan).
  7. Terletak di daerah membahayakan.
  8. Air bersih belum/tidak memenuhi standar.
  9. Sanitasi buruk.

Terkait RTLH ini menurut Pengamat Properti sekaligus CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, menuturkan ini bisa diatasi dengan adanya rencana program Pra-Gib dengan 3 juta rumah layak huni. Tentu saja kalau berbagai syarat dan prasyaratnya dipenuhi.

“Program ini (3 juta rumah untuk MBR) sejatinya bertujuan untuk mengatasi backlog perumahan dan sekaligus membantu pengentasan kemiskinan di pedesaan,” ujarnya kepada propertyandthecity.com, (27/09/2024).

Program ini dibagi dalam dua fokus, pertama pembangunan 1 juta rumah baru di perkotaan, kedua akan berfokus pada renovasi 2 juta rumah tidak layak huni yang tersebar di berbagai daerah pedesaan.

“Untuk renovasi rumah tidak layak huni di pedesaan, diperlukan sekitar Rp50 triliun per tahun,” kata Ali.

Inilah kata Ali yang menjadi tantangan utama yang harus dipikirkan pemerintah, pembiayaan. “Meskipun perbaikan ini untuk rumah tidak layak huni, tetap membutuhkan anggaran minimal Rp50 triliun setiap tahunnya,” tambahnya.

Regulasi Terkait Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)

Di Indonesia, regulasi mengenai Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) tidak diatur dalam satu undang-undang tersendiri, tetapi masuk ke dalam kebijakan terkait perumahan rakyat, kesejahteraan sosial, dan penataan ruang. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan RTLH adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat. Dalam UU ini, salah satu tujuan utamanya adalah untuk menjamin setiap warga negara memperoleh tempat tinggal yang layak, aman, dan sehat. Beberapa poin penting terkait RTLH dalam UU ini adalah:

  • Pasal 3 huruf f : Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
  • Pasal 54: Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas rumah tidak layak huni melalui program perbaikan, rehabilitasi, atau penggantian.
  • Pasal 95: Penyediaan bantuan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang mencakup perbaikan rumah yang tidak layak huni.
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman

Peraturan ini merupakan turunan dari UU Nomor 1 Tahun 2011 dan mengatur lebih detail tentang kebijakan penyelenggaraan perumahan, termasuk program-program untuk menangani rumah tidak layak huni. Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) sering kali didasarkan pada peraturan ini, yang bertujuan memberikan bantuan bagi masyarakat yang memiliki rumah tidak layak huni agar dapat diperbaiki.

  1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 13/PRT/M/2016

Peraturan ini mengatur lebih lanjut tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), yang merupakan program pemerintah untuk mendorong masyarakat memperbaiki rumahnya yang tidak layak huni. Bantuan ini mencakup bantuan bahan bangunan dan pendampingan teknis kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang rumahnya tidak layak huni.

  1. Program Nasional dan Kebijakan Pemerintah Daerah

Selain peraturan pusat, banyak daerah juga memiliki kebijakan tersendiri terkait RTLH. Misalnya, beberapa provinsi dan kabupaten/kota memiliki program khusus untuk renovasi atau pembangunan rumah tidak layak huni melalui program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) yang dikoordinasikan oleh Kementerian Sosial. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tempat tinggal bagi masyarakat miskin agar menjadi rumah layak huni.

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

UU ini menekankan pentingnya peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, termasuk dalam aspek perumahan. Program perbaikan RTLH sering dikaitkan dengan upaya untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, dengan memperbaiki kondisi rumah-rumah yang tidak layak huni.

  1. Kebijakan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)

Dalam berbagai RPJMN, pemerintah menargetkan pengurangan jumlah rumah tidak layak huni dan perbaikan kualitas permukiman, terutama di kawasan padat penduduk. Salah satu target RPJMN adalah memastikan bahwa pada tahun-tahun mendatang, seluruh masyarakat Indonesia memiliki akses ke rumah yang layak huni.

Dengan dasar hukum ini, berbagai program bantuan dan perbaikan RTLH dilaksanakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, guna memberikan hunian yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dan regulasi-regulasi lainnya.

Teori tentang Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)

Teori tentang Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) berkaitan dengan konsep perumahan, kebutuhan dasar manusia, serta dampaknya terhadap kesejahteraan sosial dan kesehatan. Berikut adalah beberapa teori yang relevan untuk memahami konsep RTLH dari berbagai sudut pandang:

  1. Teori Kebutuhan Dasar (Basic Needs Theory)

Menurut teori ini, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia selain makanan, air, dan pakaian. Rumah layak huni harus mampu memenuhi kebutuhan dasar penghuninya seperti keamanan, kenyamanan, dan kesehatan. Ketika sebuah rumah tidak memenuhi standar dasar ini (tidak layak huni), maka kehidupan penghuni akan terdampak negatif, termasuk dari aspek kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan sosial.

Abraham Maslow dalam Teori Hierarki Kebutuhan menyatakan bahwa kebutuhan akan tempat tinggal termasuk dalam kategori kebutuhan dasar fisiologis dan keamanan, yang harus dipenuhi sebelum seseorang bisa mencapai tingkat kebutuhan yang lebih tinggi seperti aktualisasi diri.

  1. Teori Kesehatan Lingkungan

Teori ini menekankan bahwa kualitas lingkungan perumahan, termasuk kondisi rumah fisik, sangat berpengaruh terhadap kesehatan penghuninya. Rumah yang tidak layak huni, seperti rumah dengan ventilasi buruk, sanitasi yang tidak memadai, dan struktur bangunan yang rusak, bisa menyebabkan masalah kesehatan seperti penyakit pernapasan, infeksi kulit, atau penyakit yang ditularkan melalui air yang tidak bersih. Lingkungan perumahan yang sehat dan layak menjadi prasyarat untuk mencegah penyakit dan mendukung kualitas hidup yang baik.

Faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan lingkungan perumahan antara lain:

  1. Ventilasi yang tidak memadai: Menyebabkan kurangnya sirkulasi udara, yang dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan.
  1. Air bersih dan sanitasi: Rumah dengan sanitasi yang buruk meningkatkan risiko penyakit menular.
  2. Kondisi fisik bangunan: Struktur yang rusak atau tidak aman meningkatkan risiko kecelakaan.
  1. Teori Perumahan sebagai Modal Sosial (Housing as Social Capital)

Teori ini menyoroti peran rumah sebagai bagian penting dari modal sosial. Rumah bukan hanya tempat berlindung fisik, tetapi juga sumber stabilitas sosial dan psikologis. Dalam konteks RTLH, rumah yang tidak layak huni dapat merusak modal sosial masyarakat, karena penghuni rumah yang tidak memadai sering kali mengalami isolasi sosial, rendahnya harga diri, dan kurangnya akses terhadap sumber daya sosial dan ekonomi yang lebih baik. Oleh karena itu, perbaikan RTLH tidak hanya memberikan manfaat fisik tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan kesejahteraan psikologis penghuninya.

  1. Teori Ekonomi Perumahan (Housing Economics Theory)

Teori ini berfokus pada bagaimana pasar perumahan berfungsi dan bagaimana faktor ekonomi memengaruhi ketersediaan perumahan yang layak. Dalam konteks RTLH, teori ini melihat bahwa keterbatasan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah sering kali menjadi penyebab utama mereka tinggal di rumah tidak layak huni. Keterbatasan ini bisa berupa kurangnya akses ke kredit perumahan, harga tanah yang tinggi, atau tidak adanya regulasi yang efektif untuk menyediakan perumahan yang terjangkau.

Konsep perumahan terjangkau sering dikaitkan dengan RTLH, di mana pemerintah atau lembaga terkait memberikan bantuan bagi mereka yang berada dalam segmen ekonomi yang tidak mampu menyediakan rumah layak secara mandiri.

  1. Teori Penataan Ruang dan Tata Kota (Urban Planning Theory)

RTLH sering muncul di kawasan perkotaan yang padat penduduk, di mana penataan ruang yang buruk atau tidak ada regulasi yang memadai menyebabkan berkembangnya kawasan permukiman kumuh. Teori tata kota menjelaskan bahwa pengelolaan ruang yang tidak terencana dapat memicu peningkatan jumlah RTLH karena pemukiman berkembang tanpa infrastruktur yang memadai. Di sisi lain, penataan ruang yang baik, dengan perencanaan infrastruktur dan kawasan hunian yang layak, dapat mencegah munculnya RTLH dan meningkatkan kualitas kehidupan kota secara keseluruhan.

  1. Teori Kesejahteraan Sosial (Social Welfare Theory)

Teori kesejahteraan sosial menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memastikan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan kebutuhan dasar, termasuk perumahan. RTLH sering kali menjadi indikator dari ketimpangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Menurut teori ini, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam menyediakan bantuan, subsidi, atau program rehabilitasi untuk memperbaiki rumah tidak layak huni agar masyarakat miskin dapat hidup dengan lebih layak. Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau program-program rehabilitasi rumah di Indonesia sering berlandaskan pada teori ini.

  1. Teori Sosial Ekologi (Social Ecology Theory)

Teori ini melihat perumahan dalam konteks hubungan antara manusia dan lingkungannya. Menurut teori sosial ekologi, rumah yang tidak layak huni tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada lingkungan sosial dan ekologi di sekitarnya. Misalnya, kawasan dengan banyak RTLH mungkin memiliki infrastruktur yang buruk, seperti jalan yang rusak atau sistem drainase yang tidak memadai, yang berpotensi menyebabkan masalah lebih luas seperti banjir atau polusi. Ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas rumah tidak layak huni juga memiliki dampak positif pada lingkungan secara keseluruhan.

Dapat dipahami bahwa rumah tidak layak huni (RTLH) tidak hanya soal masalah teknis atau fisik bangunan, tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Konsep RTLH menjadi indikator kompleks dari kemiskinan dan ketidaksetaraan, yang membutuhkan pendekatan holistik untuk menyelesaikannya melalui perbaikan kualitas perumahan, intervensi kebijakan pemerintah, dan pemberdayaan masyarakat. (ed.AT)

+ posts

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles