Sebenarnya saya tidak berencana pergi ke Salzburg, Austria. Tiga hari terakhir ini saya menginap di rumah teman lama saya Ditta di Munich, Jerman, setelah sebelumnya liputan selama lima hari di Swiss. Tapi karena mendadak seorang teman lain di Jakarta ‘menodong’ saya untuk membelikan ‘Sacher Torte’, sebuah kue bolu khas buatan Hotel Sacher, maka saya pun ke Salzburg. Teman saya itu, Winnie, pernah ke Vienna, dan tergila-gila dengan kue itu. Untungnya saya cukup ke Salzburg saja yang lebih dekat dari Munich, karena Hotel Sacher punya cabang juga di kota ini. “Ayolah, belikan aku dua Sacher Torte yang ukuran besar,” pinta Winnie. “Nanti aku ganti uang jalannya 100 euro.”
Dengan membeli Bayern Ticket, yakni tiket kereta diskon untuk bepergian ke kota-kota Jerman dan kota-kota negara tetangga termasuk Salzburg, saya hanya perlu bayar 22 euro untuk tiket pergi-pulang Munich-Salzburg. Syaratnya, tiket itu hanya berlaku dari jam 9 pagi sampai jam 3 pagi berikutnya. Jadi kalau saya tidak menginap, sisa uang jalan itu masih cukuplah untuk lain-lainnya. Jadi saya pun berangkat ke Salzburg dengan kereta pukul 8.48 pagi dari Munich.
Hanya dua jam, saya sudah sampai di Stasiun Salzburg yang bertingkat dua dan sepertinya masih baru. Saya mampir ke bagian Train Information dan petugasnya memberi selembar brosur jadwal perjalanan kereta. Hmm, dari Salzburg ke Munich ada kereta balik setiap jam, dan saya lihat ada kereta pukul 18.02, 18.09, 19.09, dan 20.09. Sepertinya saya akan memilih yang 18.09 atau 19.09 saja supaya nanti sampai Munich tidak terlalu malam.
Mampir ke Tourist Information di ruang sebelahnya, si ibu petugas menyobek selembar peta kota begitu saya menanyakan bagaimana cara ke Hotel Sacher. Tangannya dengan cepat membuat garis dengan balpoin di peta dan memberi tanda silang. “Di sini,” katanya. “Kalau jalan kaki sekitar 15 menit.” Ia menunjukkan lagi satu titik tak jauh dari hotel, ketika saya menanyakan di mana bisa menyewa sepeda. “Tapi saya tak yakin penyewaan sepedanya buka atau tidak.”
Sebenarnya di seberang stasiun ini ada terminal bus, dan dari hasil menguping tadi, kita bisa membeli tiket harian seharga 26 euro agar bisa keliling ke mana saja dengan bus dan masuk tempat-tempat wisata tanpa bayar lagi. Tapi kayaknya kok mahal ya. Dari membaca sebuah buku, disebutkan bahwa Salzburg kotanya relatif datar dan juga bersahabat untuk pejalan kaki, jadi saya memutuskan untuk jalan saja.
Pagi ini masih sejuk dengan suhu sekitar 10 derajat Celsius. Saya menyusuri jalan utama Rainerstrasse yang membentang dari depan stasiun hingga ke arah hotel yang saya tuju. Jalanan masih sepi dan toko-toko banyak yang masih tutup. Apakah jam 10.30 ini masih kepagian, ataukah kalau Sabtu toko-tokonya buka agak siang, saya kurang tahu. Dan benar saja, jalanan di Salzburg ini ramah banget. Begitu saya mau menyeberang jalan, sebuah bus memperlambat jalannya dan berhenti, lalu supirnya memberi isyarat tangan menyilakan saya menyeberang duluan. Weww!
Saya melewati Mirabellplatz dengan konter-konter yang menjual paket tur. Tempat ini memang biasa menjadi meeting point bagi grup-grup wisata yang mau mengadakan tur keliling kota. Di seberangnya ada Mirabellgarten, taman yang menjadi bagian dari Mirabell Palace, namun ini dari sisi samping luar. Mirabell Palace merupakan salah satu lokasi syuting Sound of Music, yakni sewaktu Suster Maria menyanyikan lagu Do-Re-Mi bersama anak-anak Tuan Von Trapp di air mancur patung kuda dan undak-undakan di samping istana. Tapi saya meneruskan langkah, dan kemudian membelok ke kanan mengikuti petunjuk di peta. Sebenarnya setelah membelok ini saya juga melewati pintu depan Mirabell Palace, namun saya tidak ngeh karena gerbangnya agak menjorok ke dalam, dan juga karena saya melihat bendera Hotel Sacher di depan sana, dan sebuah benteng menjulang agak jauh di belakangnya. Tugas utama harus diselesaikan dulu.
Toko yang menjual Sacher Torte mempunyai pintu sendiri di samping hotel, pas di perempatan jalan, sehingga turis-turis bisa mengerubungi jendela kacanya dan melihat kue-kue yang dijual. Petugasnya hanya satu, seorang wanita paruh baya berpakaian tradisional Austria. Ternyata ada tiga ukuran Sacher Torte: ukuran diameter loyang 16 cm (harga 29 euro), ukuran 19 cm (35 euro), dan ukuran 22 cm (41 euro!). Masih ada lagi ukuran Liliput dengan diameter 8 cm dan berisi 2 loyang (harga 20,5 euro). Semuanya berbentuk bulat pipih bersalut cokelat, dengan stempel ‘Hotel Sacher Wien’ di pinggirnya. Cake ini ditempatkan dalam boks kayu yang ringan tapi kokoh sehingga aman meskipun dimasukkan dalam bagasi pesawat. “Kue-kue ini tahan sampai tiga minggu,” tutur si penjaga, yang melarang saya untuk memfoto-foto. Hahah!
Teman saya pesan dua box yang ukuran paling besar, dan saya sendiri tertarik untuk membeli yang versi Liliput. Tapi…
”Berapa berat kue-kue ini?” tanya saya.
“Yang paling besar sekitar 1,5 kilo, yang sedang 1,2 kilo, yang kecil dan Liliput sekitar 1 kilo.”
Weww, kalau saya bawa sekarang, bahu bisa patah kemana-mana membawa tambahan berat sekitar 4 kilo! Untungnya, toko kue ini buka sampai jam 5 sore, jadi saya hanya membeli dulu sepotong Sacher Cube (5,8 euro) yang seperti cupcake, untuk saya cicipi sambil jalan. Saya bilang akan kembali lagi nanti sebelum tutup, dan saya pun meneruskan perjalanan.
Saya mengikuti saja rombongan turis Jepang yang arahnya menuju benteng di depan sana, dengan menyeberang Sungai Salzach melalui jembatan Makartsteg yang penuh dengan gembok-gembok. Nggak di Tembok China nggak di sini, para pasangan yang sedang mabuk cinta selalu punya cara untuk mengekalkan cinta mereka. Namun begitu rombongan turis itu masuk ke sebuah gang sempit, dan wisatawan-wisatawan lain juga ikut masuk, saya mengikuti saja karena penasaran. Saya lupa dengan rencana hendak menyewa sepeda.
Ternyata yang saya masuki adalah lorong yang menuju jalan sempit Getreidegasse yang menjadi area khusus jalan kaki dan terkenal sebagai pusat belanja. Toko-toko kecil, McD, hingga Louis Vuitton ada di sini, dengan papan-papan nama mereka yang unik karena dibuat dari besi berornamen unik-unik, menjulur di atas kepala turis-turis yang lewat. Jalan ini berujung pada gereja St. Blasius dan ujung satunya lagi di Rathaus alias balaikota. Di jalan ini juga terdapat rumah tempat kelahiran komposer jenius Mozart! Rumahnya yang sudah lama dijadikan museum ini bercat kuning dan terletak di Getreidegasse nomor 9.
Namun sebelum sampai di rumah Mozart ini saya terbawa keinginan untuk masuk ke sebuah lorong sempit yang dipenuhi para penjual bunga dengan kafe-kafe kecil di sekelilingnya. Aaah, kafe! Saya bisa ngopi dulu. Saya pun memesan segelas kopi hitam sambil duduk di sudut teras luar kafe Backspielhaus, lalu mengeluarkan kue Sacher Cube tadi. Tapi… baru saja segigitan mencicipi kue yang manisnya nggak ketulungan itu, si waiter menegur saya. “Sir, ini kue dari luar ya? Tidak boleh makan di sini,” ia mengingatkan. “Kalau mau kue, kami juga menjualnya. Silakan beli di dalam.” Oopss!
Merasa berdosa, saya pun segera menghabiskan kopi hitam dan beranjak meneruskan berjalan di lorong itu. Ternyata ada untungnya juga saya nggak berlama-lama di kafe, karena yang saya temui sekarang adalah jalan agak lebar yang dipenuhi para penjual sayuran dan makanan! Entah ini pasar Sabtu atau ada setiap hari, para pedagang berjejer memenuhi halaman hingga ke Universitatsplatz di depan Gereja Kollegienkirche. Yang dijual mulai dari bermacam keju, roti-roti, sosis, bunga potong, sayuran kubis, artichoke, radish, bit, hingga suvenir gantungan kunci bergambar kartun Mozart.
Seorang gadis berambut pirang dengan wajah mirip aktris Diane Krugermenjual aneka roti tradisional dan juga keju-keju. Tendanya dirubungi para turis karena ia menyediakan tester yang bisa dicicipi semua dan sepuasnya, kalau tidak malu. Saya pun membeli roti kismis cokelat yang sudah dibungkus plastik wrap, dan begitu ditimbang, beratnya hampir 1 kilo, dan harganya 8 euro. Hahah! Untung saya tadi tidak membawa Sacher Torte dulu. Kalau iya, pasti tidak akan asyik lagi jalan-jalan ini, karena saya kan juga membawa kamera DSLR.
Melewati sebuah gerbang, saya sampai ke platz (artinya: plaza) Altermarkt. Sepertinya di sini setiap plaza atau ruang terbuka punya nama sendiri-sendiri, meskipun jaraknya hanya beberapa puluh meter saja. Yang unik di Altermarkt ini karena ada seorang ‘malaikat’berjubah yang sedang berdiri melayang beberapa sentimeter dari permukaan tanah sambil tangan kirinya memegang piano. Setiap kali ada turis yang memberi uang logam, ia akan memberi sebuah kartu pos, lalu berfoto bersama sambil tersenyum, meski tanpa mengucapkan sepatah katapun. Trik mengambang ini sebenarnya sudah banyak diketahui umum (sebenarnya ada rangka besi yang menghubungkan tumpukan buku, piano, dan tangan kirinya yang tak pernah lepas) namun orang-orang tetap saja senang melihat atraksi ini.
Beberapa meter dari sini, ada lagi Residenzplatz yang lebih luas, dengan air mancur besar di tengahnya. Rupanya sedang ada pertunjukan musik tradisional Austria di panggung. Orang-orang duduk di bangku-bangku yang dinaungi kanopi sambil membuka bekal dan minum bir Kaiser yang menjadi sponsor acara musik itu. Kalau membelok ke kanan, sebenarnya saya akan sampai ke Salzburg Cathedral atau sering disebut Dom, dan dari sampingnya ada kereta listrik yang membawa saya ke benteng yang hendak saya tuju. Tapi karena kurang paham dengan peta yang saya bawa, saya mengambil arah yang lurus, melewati Salzburg Museum, lalu berfoto-foto di bawah patung Mozart. Duh, rasanya gimana ya, bisa mampir ke kota kelahiran maestro komponis ini!
Benteng Festung Hohensalzburg sudah di depan mata, namun sebelumnya saya mesti naik jalan berundak-undak yang membuat ngos-ngosan. Dari ujung jalan ini, pemandangan Kota Salzburg dan gedung-gedung serta sungainya bisa dilihat dengan jelas. Terlihat bahwa gedung-gedung di Salzburg umumnya berbentuk kotak kubus dan saling menyambung satu sama lain, menyisakan gang di bawahnya sehingga orang-orang yang berjalan kaki bisa lewat.
Saya masih harus berjalan kaki lagi dan menanjak dua kali sebelum sampai ke loket karcis masuk benteng. Bayar 7,8 euro, lagi-lagi saya mesti berjalan menanjak, karena memang benteng ini berdiri di atas bukit yang tingginya 120 meter dari atas jalan kota. Sementara bangunan bentengnya sendiri menjulang tinggi dan luas sekali.
Benteng sekaligus istana perlindungan ini dibangun oleh Archbishop Salzburgtahun 1077, sebagai upaya pencegahan kalau-kalau Heinrich IV, kaisar yang diasingkan karena berseberangan dengan gereja, kembali dan merebut takhta. Di abad-abad berikutnya, benteng ini dua kali diperluas sehingga berfungsi juga sebagai istana perlindungan yang nyaman dan mewah bagi keluarga Archbishop.
Tidak heran, Hohensalzburg disebut-sebut benteng yang paling terawat di seluruh Eropa, dan menyandang status World Cultural Heritage dari UNESCO. Konon sepanjang sejarahnya, benteng ini belum pernah jatuh ke tangan musuh meski dikepung berkali-kali. Wajarlah, posisinya yang paling tinggi membuat prajurit di benteng ini dengan mudah mendeteksi musuh yang coba-coba mendekat.
Halaman dalam benteng ini luas sekali, dan ada beberapa restoran serta toko suvenir. Namun daya tarik utama benteng ini adalah dua museumnya. Pertama Castle Museum yang menyajikan koleksi benda-benda dari era gothic, pistol, meriam dan peluru dari zaman dulu, pakaian para prajurit dari masa ke masa, hingga contoh kamar pengiriman sinyal Morse. Yang paling unik di sini adalah Majelica Stove yang terletak di Golden Chamber. Meski namanya ‘stove’ tapi bentuknya seperti lemari dan dipenuhi ukiran-ukiran berlapis emas. Museum kedua adalah The Marionette World, yang memajang koleksi aneka senjata terutama pedang dan senapan, dan juga koleksi… alat-alat penyiksaan tawanan! Untunglah ini ada di bagian akhir, jadi saya cepat-cepat keluar dan mampir ke toko suvenir untuk membeli buku.
Turun dari benteng, saya memakai kereta listrik, yang disediakan gratis. Sampainya di Kapitelplatz di dekat Dom. Plaza Kapitel ini ditandai dengan patung seorang lelaki sedang berdiri di atas bola emas yang besar. Di sekitar sini para pelukis dan pemusik jalanan kembali memamerkan bakatnya. Saya melewati saja Dom yang dihiasi patung-patung para santo di depannya, terus berjalan menuju ke arah Hotel Sacher lagi, karena sekarang sudah jam 3 sore. Tujuan saya adalah Mirabell Palace, tak jauh dari depan hotel. Tapi saya sempat salah membelok karena memang pintu masuk utamanya agak menjorok ke dalam dari jalan.
Dua patung lelaki menyambut begitu saya memasuki taman depan istana yang luas sekali, dengan bunga tulip berwarna putih, kuning, merah dan pink, serta bunga-bunga kecil aneka warna mengepung dari semua jengkal taman. Patung-patung dewa Yunani menghias di setiap sudut. Di belakang sana, istana yang berbentuk kotak memanjang berdiri megah dengan jendelanya yang banyak.Istana ini dibangun tahun 1606 oleh Prince-Archbishop Wolf Dietrich von Raitenauuntuk kekasihnya, Salome Alt. Nama awalnya Altenau Palace, namun setelah Wolf Dietrich meninggal, Markus Sitticus von Hohenems sang penerus mengubah namanya menjadi Mirabell, yang artinya ‘indah’. Tamannya sendiri dibangun menyusul pada 1690.
Sekarang ini Mirabell Palace berfungsi sebagai kantor walikota Salzburg dan kantor dinas-dinas lainnya. Sebenarnya di dalam istana ini ada ruang resepsi Marble Hall yang disebut-sebut sebagai the most beautiful wedding hall in the world. Sayang waktu bukanya hanya sampai jam 4 sore dan saya sudah terlambat. Tapi untunglah, air mancur patung kuda dan undak-undakan berpatung dua unicorn yang menjadi lokasi syuting Sound of Music itu masih bisa saya nikmati sepuasnya.
Kembali ke Hotel Sacher, kini mobilitas saya menjadi terhambat karena tangan saya membawa tas berisi 3 kotak sacher torte dengan berat 4 kilogram. Melihat peta, di depan hotel ini ada Mozart Residence (Mozart Wohnhaus), rumah yang juga pernah ditinggali Mozart selama beberapa tahun.Namun begitu membaca brosur di dinding dan disebutkan bahwa museum ini dan museum kelahiran Mozart (Mozart Geburtshause) tutup pukul 17.30, saya membatalkan diri untuk masuk dan jalan kaki kembali menuju Getreidegasse nomor 9.
“Anda cuma punya waktu 20 menit,” kata ibu penjaga loket museum, sambil menyerahkan tiket seharga 10 euro kepada saya yang masih mengelap peluh. Museumnya ada di lantai 1 sampai 3, sementara bangunannya sendiri berlantai enam. Gang-gang dengan lantai tegel di sini sempit, hanya cukup untuk lewat satu orang. Konon bangunan ini berasal dari abad ke-12. Rumah ini dimiliki oleh seorang pedagang saat Leopold Mozart dan istrinya Anna Maria Pertl mulai menyewa lantai ketiga tahun 1747. Di sinilah ke-7 anak mereka lahir, namun hanya dua yang bertahan hidup, yakni Maria Anna Walburga (lahir 1751) dan Johannes Chrysostomus Wolfgangus (lahir 27 Januari 1756), yang lebih populer disebut Wolfang Amadeus Mozart. Leopold sekeluarga menempati rumah ini selama 26 tahun.
Sambutan pertama begitu masuk ruangan museum di lantai dua adalah sebuah dapur sempit dengan alat-alat masak dari tembaga yang dipakai keluarga Mozart dulu, serta meja-meja dan cerobong asap dari kayu. Lalu daftar silsilah keluarga Mozart, dan ini yang menarik: lukisan mengenai Mozart dari semasa kecil hingga dewasa. Di bawahnya terpajang surat-surat tulisan tangan Mozart yang rapi dan kecil-kecil, beserta terjemahannya. Di ruangan sampingnya ada lagi sebuah piano kecil yang dipakai Mozart saat ia masih kanak-kanak, partitur-partitur musik yang ia ciptakan, dan piano yang lebih besar di ruang tengah.
Berhubung museum hendak tutup, seorang penjaga museum yang nampaknya keturunan Jepang mulai mengusir para pengunjung agar tidak berlama-lama di satu ruangan, dan ini membuat saya panik. “Ayo pindah ke ruang lain, masih banyak yang belum anda lihat!” serunya. Dan ternyata yang ia katakan ada benarnya juga. Meski rumah ini kelihatan sempit dari luar, namun di dalamnya banyak ruangan. Masih ada lagi ruang kerja Mozart, sepatu dan aksesoris pakaian yang ia kenakan saat itu, foto-foto para pembesar Salzburg yang sezaman dengan Mozart, hingga maket-maket panggung pertunjukan opera. Saya baru tahu, ternyata selain seorang maestro komponis, Mozart juga banyak melakukan konser dan menggelar pertunjukan opera setelah ia pindah ke Vienna.
Museum ditutup, dan di luar hujan gerimis. Saya paksakan diri untuk berjalan kaki menuju halte bus, untuk kembali ke stasiun. Masih ada Hellbrunn Palace, serta paviliun dan rumah Tuan Von Trapp di film Sound of Music yang belum saya kunjungi. Namun cuaca tidak memungkinkan, dan saya juga sudah capek sekali. Pukul 18.09, kereta yang membawa saya pulang ke Munich pun bergerak. Selamat tinggal Salzburg, semoga kita bertemu lagi.