Propertyandthecity.com – Peran pemerintah dalam memberikan insentif dan stimulus di sektor perumahan seharusnya dapat memberikan manfaat yang dirasakan penuh oleh para pengembang dan konsumen. Saat ini paling tidak terdapat dua kebijakan yang dijanjikan pemerintah, namun masih terhambat realisasi dan eksekusinya, yaitu perpanjangan PPN DTP 100% dan penambahan kuota FLPP.
PPN DTP
Program PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) yang sudah berlangsung di periode pertama, mulai 1 Januari hingga 30 Juni dengan insentif bebas PPN 100 persen. Sedangkan pada periode kedua, yang berlangsung dari 1 Juli hingga 31 Agustus 2024, insentif PPN DTP diturunkan menjadi 50 persen. Namun, dengan kondisi pasar properti yang belum pulih sepenuhnya, pemerintah memutuskan untuk mengembalikan insentif PPN DTP ke angka 100 persen mulai 1 September hingga akhir tahun 2024.
Meski secara lisan sudah disampaikan pemerintah, namun para pengembang masih menunggu PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang belum terbit sampai saat ini.
Pemerintah harusnya bisa lebih tanggap terhadap hal ini, pasalnya dengan aturan ini yang diperpanjang ‘mendadak’, banyak calon konsumen yang menunda pembeliannya karena mengharapkan pemberlakuan insentif PPN 100%. Para pengembang pun kehilangan potensi cash flow akibat penundaan ini.
Penambahan Kuota FLPP
Kebijakan kedua mengenai penambahan kuota FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang habis per Juli 2024 yang juga meresahkan khususnya para pengembang rumah MBR. Pemerintah menjanjikan kuota rumah subsidi FLPP tahun 2024 akan ditambah sebanyak 34 ribu atau digenapkan menjadi 200 ribu unit pada tahun 2024.
Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan penambahan kuota ini berlaku pada 1 September 2024 mengingat FLPP ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun sampai saat ini penambahan kuota ini tidak kunjung terealisasi.
Akibatnya para pengembang yang sudah membangun rumah FLPP tidak dapat melakukan akad kredit. Pembangunan rumah ini Sebagian besar menggunakan utang kredit konstruksi dari perbankan.
Baca Juga: TIPS SEJUKKAN RUMAH DI IKLIM TROPIS
Dengan habisnya kuota maka pastinya pencairan dari perbankan akan terhambat akan mengganggu cash flow pengembang. Secara bersamaan pengembang harus membayar bunga kredit konstruksi.
Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch menyoroti lambatnya kebijakan perumahan saat ini. Menurutnya, efek dari belum keluarnya peraturan itu adalah kerugian yang dialami pengembang dan juga konsumen lantaran sulitnya penjualan dan memiliki rumah.
“Kebijakan sektor perumahan saat ini dinilai sangat lambat dieksekusi. Akhirnya para pengembang yang dirugikan, juga konsumen. Para pengembang yang sudah mendukung program perumahan MBR seakan semakin sulit dengan lambatnya kebijakan perumahan saat ini. Belum lagi, kondisi pasar perumahan saat ini sedang melambat dan daya beli menurun. Kritik ini harus ditindaklanjutin dengan keseriusan pemerintah untuk dapat memahami bisnis perumahan karena sangat berbeda karakteristiknya dengan sektor lain,” jelas Ali kepada propertyandthecity.com, Jumat, (13/09/2024). (*)