Propertyandthecity.com, Jakarta – Bisa membeli rumah sendiri menjadi impian bagi kita semua. Untuk golongan masyarakat menengah bawah terdapat program perumahan FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan) dengan bunga KPR 5%, uang muka cukup 1 persen saja, dan bebas PPN 10%. Namun bila kita berbicara penyediaan golongan masyarakat menengah, ternyata banyak biaya-biaya lain yang sampai saat ini masih memberatkan.
Salah satu yang memberatkan konsumen untuk membeli rumah tidak hanya besarnya uang muka yang harus dikumpulkan. Besarnya uang muka saat ini telah dilonggarkan oleh pemerintah, bahkan bisa dengan uang muka 0 persen.
Baca: Sambut Imlek, Paramount Land Gelar “Lunar New Year Salebration 2021”
Para pengembang pun sudah banyak yang melakukan strategi harga tanpa uang muka. Coba kita hitung untuk membeli rumah dari pengembang di segmen menengah misalkan Rp450 juta. Konsumen harus juga membayar PPN 10 persen atau sebesar Rp45 juta.
Untuk pembelian rumah seken tidak dikenakan PPN lagi. PPN atau Pajak Pertambahan Nilai ini sudah menjadi keharusan sesuai penentuan besaran tarif PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Dalam proses pembelian rumah, konsumen akan dibebankan dengan biaya-biaya lain termasuk biaya BPHTB (Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan) dengan tarif 5% dari nilai transaksi setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP).
Selain Biaya BPHTB yang menjadi biaya yang paling tinggi, terdapat biaya-biaya lain terkait pembuatan akta dan sertifikat yang mencapai 2,5 persen. Sehingga total biaya yang masih harus dibayarkan berkisar antara 7 – 7,5 persen. Dengan harga jual diatas, maka konsumen harus menyiapkan lagi uang sebesar Rp33 jutaan untuk biaya-biaya ini.
Belum selesai sampai disini, bila konsumen ingin memilih untuk menggunakan fasilitas KPR bank, maka ada biaya-biaya yang harus disiapkan juga oleh konsumen. Sebelum akad dilakukan di bank, maka konsumen harus melunasi dulu beberapa hal terkait biaya-biaya akad, antara lain biaya notaris, SKMHT/APHT, appraisal, biaya proses, sampai asuransi.
Baca:Optimis Properti Rebound di 2021, Modernland Realty Siapkan Apartemen Berkelas di Kota Modern
Dan juga konsumen diharuskan untuk menyiapkan saldo mengendap lebih kurang besarannya 1 kali cicilan. Total biaya akad diperkirakan antara 4,9 – 5,5 persen. Besaran ini juga tergantung dari usia pembeli karena menyangkut asuransi jiwa. Dengan harga jual diatas maka konsumen harus menyiapkan uang Rp23 jutaan.
Nah, jadi total biaya lain yang harus dikeluarkan untuk membeli rumah seharga Rp450 jutaan lebih kurang sebesar Rp56 juta lagi atau berkisar 12 – 13 persen. Jadi meskipun penghasilan konsumen memenuhi syarat untuk dapat membeli, namun mereka dituntut harus mempunyai tabungan sebesar itu dulu.
Masalahnya jika mereka terlalu lama menabung, harga rumah sudah semakin naik dan tidak akan terkejar. Karenanya banyak pengembang yang menggunakan strategi harga dengan tanpa uang muka, free BPTHB, free biaya akad, dan lainnya agar konsumen dimudahkan untuk dapat membeli rumah, meskipun tetap ada biaya-biaya yang cukup besar yang diperhitungkan di dalamnya.
Mengingat hal tersebut, Indonesia Property Watch sejak lama mengusulkan agar pemerintah segera menurunkan tarif BPHTB menjadi sebesar 2,5 persen karena menyangkut biaya yang cukup tinggi. Termasuk juga pengurangan PPN khusus untuk segmen menengah.
“Pajak pembelian rumah di Indonesia masih mahal belum lagi biaya-biaya lainnya. Khususnya biaya BPHTB seharusnya dapat dikurangi menjadi 2,5 persen dan ini dijamin pasti akan memberikan peningkatan luar biasa bagi pasar properti di tanah air khususnya pada kondisi saat ini,” jelas Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch.
Baca: Ekonomi Indonesia Kembali ke Zona Positif, Bagaimana Nasib Properti?
Usulan serupa telah juga disampaikan oleh Real Estat Indonesia (REI) meskipun sampai saat ini belum ada tanggapan serius dari pemerintah. Agaknya pemerintah harus memerhatikan golongan menengah ini dan tidak hanya terpaku oleh penyediaan rumah FLPP. Karena ternyata golongan menengah ini menyimpan potensi yang tidak kalah banyaknya dengan golongan menengah bawah.