Kabar sepinya berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta ditengarai karena melemahnya daya beli masyarakat. Tapi di properti, IPW memastikan daya beli tidak menurun.
Bermula dari berita di situs online detik.com yang menyebut beberapa pusat perbelanjaan yang dulu beken kini sepi pengunjung. Seperti pusat elektronik di Glodok, WTC Mangga Dua, Roxy Square yang disebutnya sepi bak kuburan, dan mal-mal lainnya yang ditengarai sepi ditinggalkan pengunjung. Padahal di era tahun 80 sampai 90-an siapa yang tidak kenal dengan pusat elektronik Glodok. Semua merek produk elektronik dari yang murah sampai mahal ada di Glodok
Tudingan sempat diarahkan ke belanja online atau daring sebagai penyebab runtuhnya mal-mal yang dulu dipadati pengunjung. Tetapi tudingan ini dibantah karena masyarakat yang belanja lewat online tidak sampai 50 persen dari aktivitas belanja masyarakat. Ada juga yang menyebut mal-mal sepi karena kalah ciamik dengan mal-mal modern yang dimiliki pengembang kakap.
Tetapi tuduhan paling serius sepinya mal-mal sebagai dampak dari menurunnya daya beli masyarakat. Masalah ini langsung jadi viral di masyarakat, betulkah terjadi penurunan daya beli di masyarakat. Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro angkat bicara soal ramainya daya beli. Menurutnya, persoalan menurunya daya beli masyarakat sebagai cukup “mesterius”. Pasalnya, dari data ekonomi kuartal I/2017 dalam kondisi bagus. Di semester I /2017 ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tumbuh sekitar 13,5 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Tidak Menurun
Isu penurunan daya beli terus merembet ke sektor lain, termasuk ke properti. Betulkah sektor yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak ini lesu dari konsumen. Indonesia Property Watch tidak melihatnya seperti ini. Pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan II/2017 sebesar 5,01 persen relatif masih belum dirasakan sepenuhnya di sektor riil. Sebagian pihak menanggapi hal ini sebagai fenomena anomali dalam perekonomian nasional.
Indonesia Property Watch memberikan beberapa gambaran terkait hubungannya dengan sektor perumahan dan properti. Berdasarkan survei yang dilakukan, penjualan rumah di wilayah Banten di Q2-2017 mengalami penurunan tipis sebesar 9,3 persen dengan total penjualan rumah sebesar Rp 492.440.301.339, setelah pada triwulan sebelumnya juga mengalami 5,9 persen penurunan. Tren penurunan ini telah berlangsung selama 3 triwulan terakhir dan masih berlanjut sampai saat ini meskipun relatif mengalami penurunan yang landai. Penurunan hampir di semua wilayah Banten, kecuali Kabupaten Tangerang yang mengalami kenaikan sangat tipis 0,6 persen.
Meskipun secara nilai penjualan menurun, ternyata berdasarkan unit terjual, segmen harga Rp 300 – 500 juta mengalami kenaikan cukup tinggi sebesar 34,8 persen dan segmen Rp 500 juta – Rp 1 miliar sebesar 37,5 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Sedangkan segmen lainnya khususnya segmen atas di kisaran harga > Rp 1 miliar mengalami penurunan cukup tajam sebesar 63,6 persen. Diperlihatkan bahwa sebenarnya pasar yang bergerak naik adalah pasar menengah sampai bawah, sedangkan pasar menengah atas mengalami penurunan.
Namun demikian, penurunan penjualan di segmen menengah atas ini relatif bukan dikarenakan menurunnya daya beli. Selain dikarenakan masih banyaknya investor yang menunda pembelian properti dikarenakan isu sensitif keamanan dan politik, kondisi triwulan II/2017 dimana liburan hari raya dan liburan sekolah yang berbarengan membuat banyak masyarakat menengah atas menghabiskan uangnya untuk liburan di luar negeri. Hal ini juga yang membuat perputaran uang relatif tidak bergerak terlalu tinggi di dalam negeri dan membuat seakan-akan sektor riil tidak bertumbuh dengan baik.
Melihat indikator lain seperti produksi semen pada Triwulan II/2017 sebesar 14,38 juta ton, atau turun 3,64 persen (q-to-q) dan 5,01 persen (y-on-y) tidak selalu diartikan sebagai penurunan permintaan dan relatif masih wajar dengan kondisi pasar saat ini. Kebutuhan semen untuk pasar perumahan menengah bawah relatif meningkat. Menurunnya produksi semen tersebut lebih dikarenakan banyaknya proyek menengah atas dan apartemen yang membutuhkan semen yang banyak tidak terlalu agresif di triwulan II/2017.
Meskipun demikian kecenderungan penurunan daya beli di segmen menengah bawah harus tetap dicermati termasuk pencabutan subsidi listrik. Namun demikian di sisi lain pihak perbankan yang relatif mulai agresif untuk menurunkan suku bunga KPR diperkirakan membuat daya beli masyarakat di sektor perumahan akan naik. Kondisi ini yang membuat pemerintah harusnya dapat menggenjot sektor perumahan menengah bawah yang meskipun secara nilai terlihat kecil, namun secara jumlah terus menunjukkan peningkatan.
Indonesia Property Watch menilai bahwa kondisi perekonomian saat ini tidak sepenuhnya menggambarkan penurunan daya beli, melainkan sebuah kondisi siklikal sementara yang terjadi di triwulan II/2017. Saat ini Indonesia ibarat sebuah perusahaan yang baru mulai bangkit yang membutuhkan modal besar dengan pembangunan infrastruktur yang masif. Keuntungan dari infrastruktur tidak dapat secara instan meningkatkan sektor riil, butuh waktu dan pada saatnya perekonomian Indonesia harusnya bisa lebih tinggi lagi. [AT]