Jakarta, propertyandthecity.com – Penyerahan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) dari pengembang ke pemerintah daerah (Pemda) kembali disorot. Ali Tranghanda, Property Expert dari Indonesian Property Watch, mengungkap praktik mencurigakan yang berpotensi menjadi benalu dalam iklim investasi properti nasional.
“Sebetulnya, pengembang itu tidak terlalu bermasalah ketika menyerahkan fasum-fasos ke Pemda. Tapi jadi masalah ketika ada penyerahan, banyak uang-uang siluman di sana,” ungkap Ali dalam sebuah pernyataan kritis yang kini tengah viral di kalangan pelaku industri properti.
Ali menjelaskan, praktik-praktik kotor itu muncul dalam bentuk permintaan uang dengan dalih-dalih tertentu dari oknum di pemerintahan daerah, bahkan setelah serah terima resmi dilakukan.
“Tidak bisa pengembang menyerahkan fasum-fasos, lalu dianggap sudah selesai setelah serah terima dan Berita Acara Serah Terima (BAST) ditandatangani. Tidak. Ternyata masih ada hal-hal lain, ada oknum yang bermain, bilang, ‘Oke, kalau mau menyerahkan fasum-fasos ke Pemda, ada tarifnya, ya’,” tegasnya.
Tak hanya itu, kebingungan juga muncul akibat multitafsir dalam regulasi penyerahan fasum-fasos secara bertahap, yang kerap berbenturan dengan kondisi proyek di lapangan.
“Masih ada penafsiran yang harus diperjelas. Bertahapnya seperti apa? Karena dalam praktiknya, fasum-fasos berada di satu hamparan lahan. Jika harus diserahkan secara bertahap, itu menjadi tidak masuk akal. Apakah lahan tersebut harus dipecah-pecah terlebih dahulu? Atau justru satu hamparan langsung kita kasih ke Pemda?” ujar Ali.
“Tapi ketika pengembang bilang, ‘ini belum selesai, diselesaikan dulu’, memang ada banyak sekali permasalahan. Ini mungkin bisa diselesaikan, tapi masalah di Indonesia itu selalu berkaitan dengan koordinasi. Dari beberapa diskusi yang kami lakukan, masalah utamanya terletak pada belum terjadinya harmonisasi antara Kementerian Dalam Negeri, Pemda, dan Kementerian PUPR,” lanjut Ali.
Kondisi ini diperparah dengan pendekatan represif terhadap pengembang yang dinilai tidak kooperatif. Beberapa di antaranya bahkan dipanggil hingga ke kejaksaan tinggi, seolah menjadi tersangka dalam kasus kriminal.
“Seakan-akan pengembang itu tidak dianggap sebagai partner, seakan-akan sebagai pesakitan. Seakan-akan ini menjadi yang salah. Ini menjadi mengganggu minat investasi dan ini pemerintah tidak bijak dalam hal inir,” keluhnya.
Ali pun mengingatkan, sektor properti memiliki peran strategis sebagai penggerak ekonomi nasional. Jika minat pengembang terus digerus oleh praktik-praktik semacam ini, bukan tidak mungkin geliat sektor properti akan lesu dan berdampak sistemik pada ekonomi Indonesia.
“Bisnis properti ini penggerak luar biasa. Ketika bisnis properti tidak berjalan, ekonomi tidak akan berjalan,” pungkasnya.
Ia berharap pemerintah pusat, mulai dari Kementerian PUPR, ATR/BPN, hingga Kementerian Dalam Negeri, segera turun tangan melakukan harmonisasi regulasi dan memperbaiki tata kelola di lapangan.
Asosiasi Pengembang Mengeluh: Minim Perlindungan dan Terus Dicurigai
Kondisi pelik ini juga dirasakan di tingkat nasional. Dalam rapat bersama DPR, lima asosiasi pengembang properti mengungkap keresahan mendalam terkait iklim investasi yang tidak kondusif dan program perumahan rakyat yang tidak berjalan.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, menyebut para pengembang semula menyambut baik pembentukan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) serta Program 3 Juta Rumah. Namun, harapan itu kini meredup.
“Setelah tiga bulan kita mengikuti kementerian, kondisi Program 3 Juta Rumah belum ada progres. Presiden Prabowo pun sudah tidak antusias lagi, tidak membicarakan program itu,” ujarnya di Gedung Nusantara II, Rabu (19/3/2025).
Lebih jauh, Joko menilai pengembang justru merasa dicurigai dan diintimidasi, bahkan rumah-rumah yang sudah siap akad dibatalkan oleh konsumen karena isu rumah gratis.
Ketua Umum Apersi, Junaidi Abdillah, juga menilai kebijakan pemerintah seperti penurunan harga rumah tidak sejalan dengan realitas harga tanah yang terus naik, menyulitkan pengembang kecil dan UMKM properti.
Ketua Himperra, Ari Tri Priyono, menambahkan bahwa meski sebelumnya ada insentif pajak dan dukungan pinjol, kini pengembang malah disudutkan oleh kebijakan yang tidak konsisten.
“Yang dipermasalahkan mungkin cuma sedikit pengembang. Pemerintah mestinya mendukung, karena target program hari ini tiga kali lipat lebih besar,” tuturnya.
Untuk menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh, dibutuhkan harmonisasi regulasi antar kementerian, transparansi dalam birokrasi daerah, serta penguatan pengawasan untuk mencegah praktik pungutan liar. Pemerintah pusat perlu membangun kembali kepercayaan dengan pengembang melalui pendekatan kolaboratif, bukan represif, agar ekosistem perumahan nasional tetap sehat, berdaya saing, dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan hunian yang layak.