PropertyandTheCity.com, Jakarta – Film Home Sweet Loan (2024) menyoroti perjuangan generasi milenial dalam meraih impian memiliki rumah sendiri di tengah tantangan ekonomi yang kian sulit. Karakter utamanya, Kaluna, adalah seorang wanita muda yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan gaji yang terbatas. Di usianya yang matang, Kaluna ingin memiliki hunian pribadi, tetapi realita harga properti di perkotaan membuatnya menghadapi pilihan sulit.
Salah satu adegan memperlihatkan Kaluna menaiki KRL di Stasiun Tebet, berdesak-desakan bersama ribuan komuter lain untuk menuju tempat kerjanya di pusat kota. Dalam rutinitas harian ini, ia juga sibuk mencari rumah yang terjangkau di daerah pinggiran seperti Sawangan.
Harga rumah yang jauh lebih murah di kawasan tersebut memberikan harapan, meski jarak yang jauh dari tempat kerjanya menambah beban perjalanan dan waktu. Penghasilannya yang hanya sedikit di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta membuatnya harus berhati-hati dalam mengelola keuangan, sementara kebutuhan keluarga terus mendesak.
“Di tengah kondisi saat ini kaum menengah lah yang merasakan dampaknya. Sebesar 60%-70% pekerja perkotaan khususnya yang bekerja di Jakarta merupakan kaum komuter kelas menengah. Pada jam-jam kerja Jakarta dipenuhi oleh 22 juta orang dibandingkan penduduk Jakarta 11 juta jiwa. Meningkatnya biaya transportasi akan semakin menekan daya beli kalangan pekerja menengah, belum lagi beban pengeluaran makanan dan biaya perumahan yang menjadi bagian yang terbesar dalam porsi pengeluaran kaum menengah perkotaan,” ungkap CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda pada Property and The City.
Layaknya Kaluna, kisah ini mencerminkan kondisi banyak pekerja kelas menengah yang terjebak dalam situasi serupa, memperlihatkan ketidakpastian kesejahteraan di tengah fenomena middle income trap yang semakin menghantui.
Middle Income Trap dan Dampaknya
Fenomena ini erat kaitannya dengan middle income trap yang dialami oleh banyak masyarakat kelas menengah Indonesia. Mereka memiliki penghasilan yang cukup untuk bertahan hidup, namun tidak cukup untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Pemerintah menyadari masalah ini dan berupaya mengatasinya melalui berbagai kebijakan. Salah satunya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dirancang untuk mengatasi tantangan ini dan mendorong Indonesia keluar dari middle income trap. Adapun postur APBN 2025 dirancang dengan target penerimaan Rp2.996,9 triliun dengan besaran belanja Rp3.613,1 triliun atau terdapat defisit anggaran Rp616,2 triliun. APBN 2025 menargetkan investasi besar-besaran dalam infrastruktur, termasuk transportasi, energi, dan telekomunikasi.
Dilema Hunian Kaum Komuter di Tengah Anacama Middle Income Trap
Banyak kaum komuter yang menghadapi tantangan serupa seperti Kaluna. Sewa apartemen di pusat kota menawarkan kenyamanan dalam hal aksesibilitas ke tempat kerja, tetapi biaya sewanya tinggi. Sebaliknya, rumah di pinggiran kota mungkin lebih terjangkau, tetapi jaraknya yang jauh membuat perjalanan menjadi panjang dan melelahkan.
Berdasarkan data Indonesia Property Watch, biaya transportasi di Indonesia, khususnya di Jakarta, biaya transportasi membebani sebesar 14,1% – 23,0% dari penghasilan rata-rata UMP Jakarta, dibandingkan di Singapura yang diperkirakan 4,8%, Hongkong yang diperkirakan sebesar 6,1%. Selain biaya, waktu tempuh juga menjadi momok bagi kaum komuter.
Hunian di pinggiran Jakarta bisa jadi juga tidak menjadi solusi, apalagi yang tidak terkoneksi dengan transportasi umum. Pastinya biaya transportasi akan lebih membengkak dan waktu tempuh semakin lama. Kapasitas transportasi massal di Jakarta pun masih berproses dan tidak bisa memaksakan masyarakat untuk menggunakannya selama belum dirasakan nyaman.
“Hunian vertikal perkotaan harusnya bisa menjadi solusi karena saat ini apartemen-apartemen yang ada sebagian besar untuk kalangan atas, justru kalangan menengah jelas menjadi semakin terpinggirkan. Mindset-nya tidak selalu harus beli, rusun sewa pun akan membuat kaum pekerja lebih produktif karena lokasi yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja. Dan dari kemacetan lalu lintas harusnya bisa lebih teratasi,” jelas Ali.
Hunian kelas menengah sangat terbatas di Jakarta, bahkan unit apartemen terkecil dibandrol dengan harga minimal Rp500juta. Karenanya Ali mengusulkan kepada pemerintah untuk memulai rencana hunian bagi kaum perkotaan di dalam kota, baik rusun jual atau sewa dengan insentif dan memberdayakan tanah-tanah pemda atau BUMN/BUMD.