Koridor Citayam-Cilebut kini tidak lagi diramaikan rumah subsidi, tetapi sudah masuk ke real estate. Makin nyamannya naik commuter line menjadi daya tarik koridor ini.
Kota-kota penyangga Jakarta kian diminati oleh pemburu properti, baik untuk tempat tinggal maupun berinvestasi. Harga biasanya menjadi pertimbangan utama untuk membeli landed di pinggir Jakarta. Apalagi saat ini moda transportasi commuter line makin nyaman dengan jumlah keberangkatan makin banyak. Seperti di perlintasan commuter line Jakarta-Bogor, tepatnya di koridor Stasiun Citayam, Bojonggede hingga ke Stasiun Cilebut. Bahkan pertumbuhan perumahan yang mengitari ketiga stasiun tersebut tumbuh bak jamur di musim hujan.
Yang menarik di koridor Citayam-Cilebut, sejauh pengamatan Property and the City, pengembangan landed house didominasi segmen menengah ke bawah. Perumahan dengan skala lebih kecil memang telah menguasai kawasan di koridor Citayam-Cilebut. Bahkan rata-rata adalah perumahan dengan sistem klaster. Fenomena ini menurut konsultan properti, Ferry Supandji, sangat lumrah lantaran sebagian besar pekerja di Jakarta adalah kelas menengah ke bawah. Sehingga pilihan mereka adalah daerah penyangga, termasuk ke wilayah Depok dan Bogor. “Pagi atau sore hingga malam, pasti stasiun tersebut padat sekali. Itu karena mereka memang memilih untuk tinggal di wilayah sekitar itu,” ujar Ferry, kepada Property and The City.
Menurut Ferry, kondisi jalan di Jakarta yang semakin padat membuat waktu tempuh dengan kendaraan pribadi juga semakin lama. Di sisi lain, pelayanan commuter line Jakarta-Bogor semakin baik. Ini menjadi pertimbangan untuk ke daerah penyangga. “Selling point bagi pengembang properti sekitarnya transportasi massal tersebut. Apalagi commuter line juga lebih cepat dan relatif lebih tepat waktu,” ujarnya.
Beberapa pengembang yang disambangi oleh Property and the City, mengakui akses yang dekat ke stasiun commuter line menjadi daya tarik utama bagi konsumen. Bahkan beberapa proyek baru telah diluncurkan lantaran permintaan yang terus meningkat. Sebut saja PT Mitra Selaras Sejati yang membangun Cilebut Residence 1 di atas lahan12 hektar. Lebih dari 600 unit landed dalam 3 klaster sudah terjual habis. Lokasi yang hanya berjarak 1 km dari Stasiun Cilebut menjadi nilai jual tersendiri. Bahkan, kini tengah memasarkan Cilebut Residence 2. “Hampir semua pembeli kami end user dan mereka tertarik karena dekat dengan stasiun,” ungkap Tino, staf pemasar Cilebut Residence.
Hal senada disampaikan oleh Adnan, Marketing Communication Sentra Danau Kemuning yang mengembangkan beberapa proyeknya sekitar Stasiun Bojonggede, termasuk 63 unit hunian klaster di Sentra Danau Kemuning. Proyek di atas lahan 1,5 hektar yang digarap sejak tahun 2015 telah memasuki fase akhir dan tersisa hanya beberapa unit ruko 2 dan 3 lantai. Sentra Danau Kemuning terakhir memasarkan unitnya di kisaran Rp455 juta. “Kebanyakan yang beli di sini karena akses dan lokasi yang dekat dengan stasiun. Dan hampir tidak ada pembeli dari orang Bogor. Semuanya pekerja yang setiap hari dengan commuter line ke Jakarta,” kata Adnan.
Transformasi Komersial
Semakin tingginya permintaan perumahan di koridor Stasiun Citayam-Cilebut sejalan pula dengan meningkatnya harga landed dan tanah. Bahkan perumahan subsidi yang 3-4 tahun lalu masih mudah dijumpai setidaknya dalam radius 2 km dari stasiun sudah tak nampak lagi. “Peminatnya semakin tinggi, sehingga harga rumah subsidi sudah tidak masuk lagi. Kami jual yang komersial (real estat-red) dengan tipe yang sama tapi selisihnya hampir Rp200 juta,” sebut Maman, marketing di sebuah perumahan yang hanya sekitar 1 km dari Stasiun Citayam.
Sebagai perbandingan dia mencontohkan, pertengahan 2016 lalu rumah subsidi tipe 22/60 dipasarkan dengan Rp130 juta. Namun sejak awal 2017, tipe yang sama dijual dengan Rp210 juta. Bahkan kini sudah di angka Rp325 juta. Sementara tipe 36/60 di kisaran Rp400 jutaan. “Lokasinya memang lebih ke depan gerbang, tetapi luas tanah tetap sama,” kata Maman.
Perumahan Ambar Waringin Elok dan Puri Artha Sentosa yang cukup dekat ke Stasiun Bojonggede pun sudah tak ada lagi stok rumah subsidi. Padahal kedua perumahan ini sudah memasarkan ratusan unit rumah subsidi sejak beberapa tahun lalu. Ambar Waringin Elok kini memasarkan rumah dalam klaster, tipe 36/72 seharga Rp320 juta. Kemudian di Teras Country sekitar 5 km dari Stasiun Bojong Gede juga kini memasarkan unit tersisanya mulai Rp335 juta tipe 36/72.
Sedangkan Cluster Diamond Citayam (CDC) sejak awal Januari 2018 sudah merevisi harganya, dari Rp200-an juta pada akhir tahun lalu menjadi Rp290-an juta untuk tipe 36/71. Gerak naik juga dijumpai di Perumahan Pesona Intiland seluas 7 hektar yang berjarak 3 km dari Stasiun Cilebut. Tahun 2010 lalu harga tanah masih di kisaran 120 ribu per meter persegi, kini sudah di angka Rp2 juta per meter persegi. Harga rumahnya pun naik dari Rp200 jutaan menjadi Rp450 juta untuk tipe 40/60. Sementara tipe 110/120 naik dari Rp500 juta menjadi Rp1,5 miliar.
Bagi masyarakat yang ingin membeli rumah subsidi, bisa bergeser sedikit lebih jauh, seperti ke Perumahan Green Citayam City (GCC) yang dikembangkan oleh PT Green Construction City. Di sini, rumah tipe 27/72 masih terjangkau sekitar Rp141 juta.
Sedangkan kawasan Perumahan Twins City di Tajurhalang, Bogor, seluas 40 hektar berjarak sekitar 9 km ke Stasiun Bojonggede, masih tersisa beberapa unit rumah subsidi dari total sebanyak 160 unit. “Akses semakin terbuka sehingga harga pun naik, saat ini harga mulai Rp250-300 jutaan,” kata Fahrul Roji, Direktur Utama PT Kembar Intiland. Perumahan Sentra Tajur Halang pun kini beralih ke real estat dengan kisaran harga Rp395 juta. [Pius Klobor]