Propertyandthecity.com – Masih banyak Masyarakat yang hingga kini mungkin belum memahami apa bedanya perumahan syariah dan yang tidak (katakanlah perumahan konvensional). Hal ini wajar, sebab istilah ini munculnya terbilang baru – kisaran satu dekade ini. Di tambah lagi, dalam faktanya di lapangan, hampir taka da beda. Lalu di mana batas-batas perbedaannya?
Perumahan (yang diklaim) syariah sudah bermunculan di Depok, Bekasi, Bogor, hingga Yogyakarta, atau kota besar lainnya.
Ketua Real Estat Indonesia (REI) Yogyakarta, Rama Adyaksa Pradipta mengakui tren perumahan syariah mulai berkembang di Yogyakarta sejak lima tahun terakhir. Seperti dikutip dari bbc.com, (26/09/2024), menuturkan secara garis besar ada dua tipe perumahan syariah, yakni dari sisi kepemilikan syariah (pembiayaan) dan perumahan yang dikhususkan untuk umat Muslim (lokalisasi).
“Kalau yang pemilikannya syariah tentu saja sekarang sudah banyak difasilitasi melalui skema-skema perbankan syariah,” ujar Rama.
Namun, menurutnya, sebenarnya fenomena perumahan syariah itu tak lebih dari strategi marketing saja. Yang siapapun bisa memakainya, tak terkecuali non muslim. “Kita melihat perumahan muslim itu sebagai strategi marketing dari developernya saja untuk masuk ke segmen yang belum banyak digarap,” imbuhnya.
Dari sisi aturan, Rama mengakui tidak ada regulasi khusus yang mengatur soal perumahan yang harus heterogeny atau homogen.
Selama ini, penyediaan perumahan mengacu pada UUD 1945 pasal 28, bahwa setiap warga negara berhak atas perumahan dan lingkungan yang layak.
“Di situ jelas kata-katanya, setiap warga negara tidak membedakan suku, agama, ras dan golongan. Dari situ kita bisa simpulkan bahwa rumah itu kebutuhan pokok,”jelasnya.
Sedangkan perumahan biasa (atau konvensional) lebih mengedepankan sisi-sisi kenyamanan, Kesehatan, dan keamanan. Di mana fasilitas fasos dan fasumnya terpenuhi. Di dalamnya masjid dan kegiatan keagamaan juga bebas dilaksanakan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa “Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni”.
Kalau melihat itu, sepertinya perumahan biasa juga sama dengan “perumahan syariah”, paling tidak secara tujuannya atau maqosidusyariah-nya.
Sisi Negatifnya
Bahaya dari perumahan syariah yang lebih mengedepankan penghuninya harus seiman dan sepaham adalah sifat eksklusifnya. Yang tentu saja itu tidak cocok dan baik untuk di setiap lingkungan Masyarakat.
Ada kekhawatiran terkait meningkatnya gejala segregasi dan intoleransi dari konsep perumahan syariah ini.
Pengajar Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf, mengungkapkan banyaknya perumahan muslim ini tak terlepas dari “perubahan sosial masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah”.
“Di satu sisi bisa dipahami sebagai wujud dari kecenderungan untuk menciptakan ruang yang eksklusif, namun ini juga ada pertemuan antara aspirasi keagamaan yang bersifat esklusif itu dengan kepentingan pasar,” jelas Iqbal.
Ambil contoh salah satu perumahan syariah yang ada di Yogyakarta, Green Tasneem. Atau peruamhan yang ada di Desa Sawo Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul.
Di sana para perempuan, baik dewasa maupun anak-anak mengenakan niqab. Sementara para lelaki bercelana cingkrang dan memelihara jenggot. Ini yang mengkhawatirkan, lantaran homogenitas ini meniadakan toleransi. Ditambah lagi mereka ini membuat tradisi yang dipegang warga sekitar kian luntur.
“Sekarang ada ini (kampung santri) kampung marai kendho (menjadi kendor), istilahnya malam takbiran menjelang lebaran enggak boleh. Terus orang kampung biasa kalau ada yang meninggal itu tahlilan, sekarang enggak boleh. Jadi udah ikut-ikut kebiasaan di situ,” ujar nya.
Selain takbiran dan tahlilan, tradisi yang selama ini dilakukan warga seperti puasa sya’ban dan syukuran, juga sudah jarang dilakukan. Perubahan sosial itu, menurutnya, terjadi setelah orang-orang pendatang mulai merasuk ke kehidupan bemasyarakat dan mulai mengambil alih. “Masjid aja sudah dikuasai, istilahnya.”
“Padahal budaya lokal di Yogya, seperti halnya di tempat lain kan guyub, rukun, dan kegiatan keagamaan yang dihadiri orang non muslim, itu biasa di Yogya.”
“Tetapi karena ada pemahaman keagamaan yang baru sehingga orang merasa perlu memisahkan diri, merasa aspirasi keagaaman bisa dipenuhi ruang yang homogen,” jelas Iqbal.
Hal itu disayangkan oleh Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik. Bahwa seharusnya tidak boleh ada perumahan eksklusif yang berhubungan dengan kelompok agama tertentu.
Menurutnya, urusan agama menjadi domain pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat jika ingin mengembangkan perumahan berkonsep syariah di daerahnya. “Jadi jelas kami katakan tidak boleh urusan agama itu dicampuradukkan. Kalau perumahan ya perumahan saja, jangan ada perumahan syariahnya karena itu akan menyinggung urusan agama dan agama bukan urusannya pemerintah daerah, itu urusannya pemerintah pusat,” tegasnya. (ed.AT).