Kata skeptis tidak muncul dari beberapa kalangan saat ditanya seperti apa kondisi pasar properti Indonesia di tahun 2017. Semuanya mengisyaratkan nada optimis seperti properti akan bangkit, daya beli masyarakat akan meningkat, masuk masa siklus membaik, trennya bakal positif di tahun 2017 atau properti tumbuh sekian persen. Inikah pertanda bisnis properti tahun 2017 mulai meninggalkan bayang-bayang kelam yang telah dirasakan sejak tahun 2015 dan berlanjut di tahun 2016. Atau, optimisme hanya permainan kata-kata untuk menghindari kata ketidakpastian bisnis properti di tahun 2017.
Tentu kita harus melihat realita di tahun 2016. Faktanya di tahun 2016 kondisi ekonomi tidak sebaik yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung stagnan menjadi faktor krusial melemahnya daya beli masyarakat. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan di tahun 2016 dirasakan kurang implikasinya. Bisa karena kurang greget atau implementasinya baru dirasakan pelaku bisnis properti di tahun 2017.
Apabila pertumbuhan ekonomi di tahun 2017 tidak ada kejutan yang cukup berarti, diperkirakan hanya 5,2 persen, rasanya kita akan menemukan kondisi properti yang sama dengan kondisi di tahun 2016. Sesuatu yang tentu tidak diharapkan oleh pelaku bisnis properti. Dalam sebuah diskusi ekonomi belum lama ini, muncul istilah kondisi “normal yang baru”. Indonesia disebutnya sedang menghadapi “normal yang baru” dalam perekonomian Indonesia. Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Sri Adiningsih, seperti dikutip harian Kompas, memaknai terminologi normal yang baru sebagai sikap baru yang yang mesti dipahami, seperti pertumbuhan ekonomi tidak lagi tinggi.
Tanda-tanda pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lagi tinggi sudah terlihat beberapa tahun belakangan ini. Tahun 2014 perumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,03 persen. Tahun 2015 turun menjadi 4,79 persen. Tahun 2016 pertumbuhan ekonomi sedikit naik bisa 5,1 persen. Tahun 2017 rasanya pertumbuhan ekonomi juga tidak akan bergeser dari angka 5 koma sekian persen. Jika perekonomian berjalan baik, diprediksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 hanya berkisar 5,2 hingga 5,4 persen.
Sementara ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan tahun 2016 yang seharusnya mampu mendongkrak bisnis properti. Seperti Peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan rasio loan to value (LTV) yang membolehkan bank penyalurankan KPR hingga 85 persen dari harga jual rumah. Pemerintah juga mengeluarkan beleid yang terkait dengan properti yaitu Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII yang mempermudah perizinan pembangunan perumahan. Tujuannya untuk merangsang pengembang terus berekspansi.
Titik Balik di Triwulan III/2016
Dengan gambaran kondisi di atas, seperti apa pasar properti di Indonesia sepanjang tahun 2016. Betulkah terjadi pelambatan dan melemahnya daya beli masyarakat sebagai imbas dari kondisi makro ekonomi. Indonesia Property Watch (IPW) dalam analisanya menyebut pasar properti sebenarnya telah menunjukkan kenaikan di triwulan 3 tahun 2016, tetapi agaknya masih terhambat pergerakannya sampai akhir tahun 2016. Memasuki awal 2017, pasar sepertinya belum bergerak. Ini dampak dari beberapa faktor di luar siklus, yang ditengarai menjadi faktor belum bergeraknnya pasar properti lebih tinggi lagi.
Seperti dilansir oleh IPW sebelumnya, siklus pasar perumahan diperkirakan telah menunjukkan titik balik di Q3-2016. Tren positif ini ternyata terus berlanjut di Q4-2016 meskipun dengan pertumbuhan yang masih belum signifikan. Pasar perumahan mulai bergerak on the track. Terjadi kenaikan jumlah unit terjual di Q4-2016 sebesar 12,5 persen (qtq) dibandingkan Q3-2016. Angka ini masih lebih rendah -1,3 persen (yoy) dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015. Kenaikan ini terjadi di semua wilayah di Jabodebek-Banten, kecuali Bekasi yang menurun tipis -1,3 persen (qtq).
Menurut Ali Tranghanda, CEO IPW, meskipun terjadi kenaikan berdasarkan jumlah unit terjual, namun berdasarkan nilai penjualan mengalami penurunan 6,0 persen (qtq) dan 32,3 persen (yoy). Kondisi ini menggambarkan bahwa pasar terus bergeser ke segmen menengah sampai bawah. Sedangkan berdasarkan harga terlihat pasar bawah dengan harga di bawah Rp 300 jutaan memberikan kontribusi 34,9 persen. Diikuti segmen menengah bawah dengan harga Rp 300-500 jutaan sebesar 33,8 persen. Adapun segmen menengah di Rp 500 juta – 1 miliaran sebesar 23,8 persen. Untuk segmen menengah atas (> Rp 1 miliar) sebesar 7,5 persen.
Dengan kondisi tren suku bunga yang menurun, pola pembiayaan konsumen segmen menengah sampai bawah mulai terus bergeser ke pola KPR. Meskipun demikian untuk konsumen segmen atas relatif memiliki kecenderungan untuk memilih pembelian rumahnya dengan cash keras atau bertahap. Hal ini tergambar dari hasil riset IPW yang menyatakan pola pembiayaan konsumen segmen atas yang memilih menggunakan KPR menurun menjadi 75,4 persen, lebih rendah dari hasil riset sebelumnya sebesar 80,2 persen.
Terindikasi Over Value
Namun bukan itu saja yang menjadi satu-satunya faktor yang memengaruhi pasar properti. Bila kita melihat ke belakang ketika pasar properti mulai bergaung di tahun 2009 dan naik terus sampai 2013, ada waktu empat tahun untuk pasar properti mencapai puncaknya. Harga properti ketika itu naik tidak terkendali. Di satu sisi kenaikan ini menguntungkan para investor, namun di sisi lain kenaikan ini justru membuat pasar properti menjadi riskan karena kenaikannya sudah terlalu tinggi dan terindikasi over value.
Meskipun tidak terjadi gelembung properti yang besar, namun dengan kondisi ini akibatnya menjadi semakin lama di pasar untuk dapat dijual kembali. Ali memberi contoh, ketika si A membeli sebuah rumah tahun 2010 dengan harga Rp 2,3 miliar. Dua tahun kemudian dengan tipe dan lokasi yang tidak terlalu berbeda, pengembang menjual rumah tipikal seharga Rp 3,3 miliar (price list). Wow, kenaikan yang luar biasa!
Di saat yang sama ketika si A ingin menjual rumahnya kembali, ternyata tidak dapat setinggi yang dibandrol pengembang. Kalaupun ingin melepas rumahnya, maka harga rumah di pasar sekunder hanya Rp 2,7 miliar. Apakah si A rugi? Tentu tidak karena meskipun dengan harga tersebut, kenaikan harga rumahnya sudah cukup tinggi. Namun sebagian investor enggan melepas asetnya karena dia berpikir patokan harganya adalah rumah yang djual pengembang. “Dengan kondisi ini maka banyak investor saat ini yang mempunyai banyak ‘barang’ yang belum berhasil dilepaskan sehingga roda investasi belum diputar kembali,” ujar Ali.
Dengan berjalannya waktu pasar mulai lesu, dan harapan investor untuk dapat menjual asetnya lebih tinggi lagi tidak juga tercapai. Bahkan di tahun berikutnya mungkin kenaikan harga rumah tersebut hanya sebesar 7 persen setahun. Dia pikir mungkin rugi membeli rumah tersebut, namun bila dia mengerti siklus jangka panjang pasar properti, tentunya dia akan paham ini merupakan bagian alamiah dari siklus. Properti bukan semata-mata investasi jangka pendek, melainkan jangka panjang.
Di sisi lain pengembang pun tidak dapat menaikkan harga terlalu tinggi lagi karena penjualan sudah mulai seret. Kondisi ini yang menggambarkan bahwa di pasar telah terjadi over value dengan rasio perbedaan harga pasar sekunder dibandingkan pasar primer lebih besar dari 20 persen.
Sejalan dengan mulai stagnannya kenaikan harga dari pengembang, maka pasar sekunder pun mulai naik sedikit demi sedikit sampai mencapai range kurang lebih 10 persen sampai 15 persen antara pasar sekunder dan primer. Pasar mulai mencari keseimbangan pasar baru. Saat ini keseimbangan pasar belum jelas terlihat meskipun pergerakan di pasar sekunder sudah mulai terlihat. Akumulasi beberapa faktor menjadikan pasar properti saat ini terhambat.
Namun kondisi ini bukan berarti pasar kehilangan daya beli. Pasar hanya menunggu dan bermain di pasar properti dengan harga yang relatif masih masuk akal, mengingat pasar menengah atas sudah distempel kemahalan saat ini. Hal ini sejalan dengan prediksi yang dilakukan IPW bahwa ternyata pasar yang akan menjadi primadona adalah pasar properti yang berada dalam range harga Rp 500 sampai Rp 1 miliar secara umum.
Kondisi ini juga dicermati oleh para pengembang, sehingga mereka lebih banyak menggarap perumahan di harga Rp500 jutaan. Salah satunya adalah Agung Podomoro Land (APL) yang di tahun 2017 ini segmen hunian untuk middle low tetap mendominasi dengan kisaran sekitar 45 persen, selanjutnya middle-middle 35 persen, dan middle up 20 persen. “Jadi kita harus bisa mensiasati untuk melepas sebuah produk ke pasar, dengan pertimbangan jenis produk dan lokasi,” terang Indra W Antono, Wakil Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Tbk.
Semester II Naik
Lantas kapan pasar akan menunjukkan pergerakan yang nyata di tahun 2017? Ada beberapa indikator yang mungkin bisa mengindikasikan pasar properti segera bangkit. Pertama, situasi politik yang menghangat di akhir tahun 2016 sangat mungkin menimbulkan dampak, seperti ketidaknyamanan investor. Dampak politik tersebut relatif akan menurun sampai triwulan II tahun 2017. Diharapkan investor kembali nyaman.
Kedua, program amnesti pajak jilid III yang akan berakhir bulan Maret 2017, diharapkan capaian repatriasi yang terus masuk, akan lebih baik dibandingkan jilid II.
Banyak pengembang menunggu harap-harap cemas hasil dari program tax amnesty jilid III. Seperti kata Indra, program tax amnesty baru terasa efeknya setelah tahap III berakhir pada 31 Maret 2017.
Bogi Aditya, Direktur Utama Kopelland, setali tiga uang dengan Indra. Menurutnya, setelah program tax amnesty berakhir sampai tahap III, dana yang masuk akan bergerak tidak mungkin disimpan di bank begitu saja. Uang harus dipakai berbisnis, masuk ke sektor riil, investasi, atau masuk ke lantai bursa. Bagi pelaku bisnis properti tentu harapannya masuk ke industri properti. “Menurut saya hampir pasti uangnya akan masuk ke properti karena ada orang yang berpikir beli properti lebih aman,” ujar Bogi Aditya.
Ketiga, beberapa proyek infrastruktur telah mulai dapat dirasakan di tahun 2017. Berapa ruas jalan tol sudah bisa digunakan di semester II tahun ini. Jalur kereta api Bandara Soekarno-Hatta akan rampung di pertengahan tahun 2017 yang akan menambah moda transportasi menuju Bandara Soetta. “Dengan tren perekonomian nasional yang membaik, paling tidak di semester kedua tahun 2017 agaknya pasar akan terlihat lebih nyata, meskipun siklus besar sudah terlihat di triwulan 3 tahun 2016,” papar Ali.
Kalangan pengembang yang ditemui Property and the City menyatakan optimismenya menghadapi tahun 2017. Andrew Kusnadi, Direktur Sales and Marketing PT Graha Lestari Internusa, selaku pengembang apartemen Noble, mengatakan sejak berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di Indonesia, sangat banyak orang-orang asing dalam hal ini profesional yang bekerja atau membuka kantor perwakilannya di Indonesia. Ini peluang emas bagi pasar properti di Indonesia. “Otomatis mereka membutuhkan tempat tinggal. Namun, mereka tidak akan langsung membeli properti, tetapi akan menyewa lebih dahulu. Dari sewa inilah mereka baru akan memutuskan untuk membeli properti atau tidak,” ujar Andrew.
Tidak hanya pengembang swasta, pengembang plat merah pun yakin peruntungan akan datang di tahun 2017. Perumnas, kata Galih Prahananto, Direktur Pengembangan Bisnis dan Korporasi Perumnas, optimis prospek properti 2017 akan bagus karena banyak orang yang belum punya rumah. Menurut Galih, Perumnas baru saja menyelesaikan market research di 28 kota untuk mengetahui kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Hasil market research menunjukkan demand MBR sangat besar. Customer MBR yang formal 4,7 juta. Dari jumlah ini sekitar 2,7 juta ada di Jabodetabek atau sekitar 60 persen. “Tahun lalu, kita baru bisa bangun 20 ribu unit rumah. Di tahun ini targetnya kita akan membangun 30 ribu unit rumah. Di wilayah Jabodetabek punya potensi customer 2,7 juta. Jadi logikanya masuk,” ujar Galih.
Kalangan perbankan penyalur KPR juga menaruh harapan yang sama, pasar properti akan membaik di tahun 2017. Menurut Suryanti Agustinar, Senior Vice President Non Subsidized Mortgage and Consumer Lending Division Bank BTN, semua regulasi sudah bagus, tetapi pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi lagi. Kalau pertumbuhan sampai akhir tahun 2016 seperti yang diharapkan, maka ini sinyal bagus untuk memasuki tahun 2017. “Kami melihatnya lebih positif. Kalau tahun 2017 properti tidak bangkit juga berarti ada yang salah,” ujar Suryanti.
Agar properti kembali bangkit di tahun 2017, lanjut Suryanti, harus dipersepsikan bahwa investasi di properti menguntungkan. Persepsi ini harus diciptakan oleh pemerintah maupun pelaku bisnis properti. Sehingga orang yang punya uang berminat membeli properti, tidak membeli saham, SUN atau investasi lainnya.
Sekarang ini masyarakat yang memiliki uang masih menyimpan uangnya di instrumen-instrumen keuangan. Mereka inilah yang harus digerakkan agar mau masuk ke instrumen properti. “Kalau properti ingin bangkit kembali di tahun 2017 harus meyakinkan mereka yang punya dana untuk investasi di properti. Ini yang harus diciptakan,” ujar Suryanti.
Optimisme pasar properti di 2017, tetap mendapat catatan dari Ali Tranghanda. Menurutnya, ada yang sedikit berbeda dengan siklus pasar saat ini. Dengan perkiraan semester II tahun 2017 pasar akan naik, maka waktu untuk mencapai puncak bisnis properti tahun 2019 sesuai perkiraan periode siklus menjadi singkat, atau kurang lebih 1,5 tahun. Menurutnya, kita berharap pasar properti nasional akan terus memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara, tidak hanya segmen menengah atas, namun pasar perumahan sederhana pun semakin tumbuh. l (Hendaru, Pius, Wawan)