Meskipun Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) Hadi Tjahjanto memastikan aturan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) tak mengganggu pelaksanaan pembangunan rumah khususnya rumah subsidi, namun polemik mengenai LSD ini belum sepenuhnya terselesaikan.
baca juga, Tower Altuera di Apartemen Southgate Residence Siap Fasilitasi Content Creator dan Generasi Milenial
Sinkronisasi terus dilakukan karena masih banyak ketidaksinkronan antara peta LSD dengan beberapa lahan yang masih terkena aturan ini. Penetapan LSD diharapkan dapat mengendalikan maraknya alih fungsi lahan sawah untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Para pengamat pertanian mempertanyakan para pelaku bisnis properti yang seakan-akan menutup mata terhadap keberlangsungan ketahanan pangan karena adanya aturan ini. Namun hal itu dibantah oleh Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch.
“Ketahanan pangan menjadi tanggung jawab kita semua termasuk pengembang perumahan. Bila peta LSD ini hanya benar-benar peta sawah tidak lah masalah. Namun para pakar dan aktivis pertanian harus tahu bahwa aturan peta LSD yang ada saat ini juga berada pada tanah-tanah yang sebenarnya sudah sejak lama diperuntukan dan diizinkan untuk perumahan. Karena aturan ini banyak lahan yang sudah dibebaskan menjadi tidak dapat dibangun,” jelas Ali.
Selanjutnya Ali juga mengingatkan jangan sampai polemik ini menjadikan ‘lahan basah’ bagi para oknum untuk memancing di air keruh. Tim Indonesia Property Watch mendapatkan informasi di lapangan bahwa para oknum calo mulai bergerilya kepada pengembang untuk meminta ‘biaya percepatan’ untuk pengurusan LSD ini. Meskipun Kementerian ATR/BPN Pusat secara tegas mengatakan tidak ada kewajiban tambahan dari pengembang, namun di wilayah pemerintah daerah masih banyak ditemui hal tersebut. Angkanya bervariasi antara Rp5.000 – 10.000/m2 lahan bahkan ada yang lebih dari itu.
Ditemukan beberapa plot LSD yang ternyata berada dalam sebuah master plan perumahan yang sudah diterbitkan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi terdapat plot LSD yang berada menimpa unit-unit rumah yang sudah dibangun. Namun pada kenyataannya banyak hal yang tidak sesederhana itu di lapangan. Sebagian pengembang membebaskan lahan setelah dikeluarkannya ketetapan LSD, namun peruntukan lahan di Bappeda masih ‘kuning’ alias dapat dibangun perumahan. Dan sosialisasi LSD pun dirasakan pengembang masih sangat minim.
Pada prinsipnya para pengembang sadar akan upaya pemerintah dalam ketahanan pangan nasional, namun di sisi lain jangan sampai ketetapan ini jangan sampai merugikan pengembang yang justru telah membebaskan lahan dan kurangnya informasi dari pemerintah setempat. Verifikasi lahan di lapangan sebaiknya perlu dilakukan pemerintah sehingga tidak hanya berlandasan peta satelit.
Aturan LSD ini harus segera diselesaikan karena akan semakin meluas dan membuat para pengembang perumahan khususnya perumahan sederhana akan kesulitan untuk menyediakan rumah untuk masyarakat MBR. Dengan adanya aturan ini pun prakteknya akan mempersulit para pengembang karena harga tanah darat yang tidak terkena LSD akan naik semakin tinggi karena lahan semakin terbatas. Ada baiknya setiap
pemerintah daerah melakukan pemetaan lahan sawah sesuai dengan kebutuhan dan perkiraan kebutuhan lahan untuk perumahan. Pemerintah harus secara sadar mengakui bahwa adanya kesalahan beberapa peta tanah LSD yang kemudian menjadi bermasalah karena secara aturan di wilayah daerah ternyata berbeda. Dan secara sigap dan cepat memberikan solusi atas permasalahan ini, karena para pebisnis butuh kecepatan dan kepastian agar dapat berusaha dengan baik.•