SPEKULAN BIKIN RUSAK HARGA TANAH

0
1710

Berbicara properti pasti tidak terlepas dari perkembangan harga tanah sebagai komponen utamanya. Kenaikan harga tanah yang tinggi menjadi isu penting dan sangat berperan pada kenaikan harga jual properti yang tinggi. Dengan semakin terbatasnya lahan, maka secara hukum ekonomi, harga tanah pun akan terus beranjak naik.

Baca juga :

Para pengembang yang menjual produk properti tidak dapat mengganti kebutuhan lahan. Harga perolehan yang tinggi membuat harga pokok penjualan (HPP) pengembang pun semakin mahal. Namun benarkah para pengembang yang menjadi penyebab kenaikan harga yang sangat tinggi? Jawabannya bisa benar bisa juga tidak.

Secara bisnis para pengembang pastinya mengharapkan keuntungan. Selain itu terdapat nilai tambah dari produk yang ditawarkan yang membuat harga jual semakin tinggi lagi. Termasuk hitung-hitungan risiko yang membuat patokan margin pengembang semakin tinggi. Dengan tingkat permintaan yang semakin tinggi dan pasokan yang semakin terbatas, maka harga pun akan mengikuti mekanisme pasar yang beranjak akan naik. Namun demikian, bila kita melihat jauh ke belakang sebelum tanah dibebaskan oleh pengembang, terdapat banyak faktor yang membuat harga tanah menjadi tinggi.

Sekitar dua tahun yang lalu di sebuah lokasi di Tangerang ditawarkan seharga Rp 90.000 per m2. Namun belum genap 2 bulan tanah tersebut dipasarkan, harga yang ditawarkan ternyata sudah berubah menjadi Rp 120.000 per m2 atau sudah naik 30 persen lebih dalam jangka waktu kurang dari 2 bulan. Apakah ini mekanisme pasar? Usut punya usut ternyata sudah mulai banyak calo atau mediator yang terlibat untuk memasarkan lahan tersebut. Dari mulai dengan 1 mediator dalam satu lokasi bisa berkembang menjadi 3 bahkan lebih hanya untuk memasarkan satu lokasi lahan. Mediator pun bisa bermacam-macam tingkatannya mulai dari calo perorangan, agen properti, bahkan sampai ahli waris atau keluarga pun ada yang ‘menitipkan’ harga.

Di lokasi lain, tanah pasaran yang harusnya dijual Rp 150.000 per m2 melambung menjadi Rp 225.000 per m2 karena ternyata ada titipan mediator Rp 25.000 per m2 dan titipan dari ahli warisnya Rp 50.000 per m2. Yang artinya nilai tanah langsung naik 15 persen dalam sekejap. Belum lagi bila diminta adanya sales fee yang sebenarnya sudah dapat termasuk dalam titipan ‘tersebut’. Beban biaya lahan menjadi tinggi.

Berbeda lagi dengan kasus lain dimana investor yang sangat kaya tanpa tawar menawar membeli lahan Rp 600.000 per m2 sedangkan harga tanah pasaran masih dibawah Rp 500.000 per m2. Aksi ini tentunya akan merusak pasaran harga tanah dan membuat patokan harga menjadi terlanjur naik.

Kasus lain lagi yang menyangkut spekulasi lahan untuk kepentingan umum. Di sepanjang lokasi pembebasan infrastruktur termasuk jalan, jalan tol, dan jalur kereta api, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak oknum yang bermain dalam pembebasan lahan. Sebagai ilustrasi harga tanah saat ini masih senilai Rp 50.000 per m2. Dengan adanya rencana proyek infrastruktur tersebut dimungkinkan harga akan naik semakin tinggi lagi. Para oknum yang mengetahui rencana tersebut akan menawarkan ke para investor atau spekulan dengan potensi kenaikan luar biasa bila proyek sudah terbangun. Harga pun ditawarkan bahkan bisa sampai 2 kali lipat dengan potensi keuntungan bisa lebih dari itu. Memang benar setelah proyek sedang dibangun, harga pun beranjak naik, dan pemerintah tidak akan sanggup lagi untuk menahannya karena semua lahan di sekitar lokasi akan terus beranjak naik. Ironisnya rencana pemerintah untuk membangun hunian murah di titik-titik transit oriented development (TOD) tidak akan tercapai karena patokan harga sudah tinggi. Pemerintah gagal untuk mengamankan tanah-tanah tersebut dan pada akhirnya spekulan yang diuntungkan.

Semua kejadian tersebut sedikit banyak membuat harga perolehan para pengembang mengalami kenaikan. Karenanya harga rumah yang semakin tinggi, ternyata bukan semata-mata salah pengembang. Aksi spekulatif dan sepak terjang para calo tanah membuat harga perolehan menjadi semakin tinggi. Dan umumnya dengan preseden ini maka semua mediator di lokasi tersebut biasanya akan seragam memasarkan tanah dengan harga di kisaran tersebut.

Bila berbicara produk yang dipasarkan untuk segmen menengah atas tentunya tidak terlalu bermasalah, karena pasar menengah atas tidak terlalu bermasalah dengan daya beli. Namun bila hal ini terjadi juga untuk kawasan perumahan menengah bawah, tentunya akan memberatkan, tidak hanya pengembang, melainkan konsumen yang pada akhirnya harus menanggung beban biaya spekulan yang tinggi. Bagaimana peran pemerintah untuk mengatasi praktek spekulasi tanah seperti ini? Perlu adanya sebuah mekanisme atau instrumen sehingga pemerintah dapat meredam aksi ini khususnya bila berkaitan dengan pengembangan rumah murah yang harus dijamin ketersediaannya. ● [IPW]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini