Dalam dunia bisnis, banyak ditemukan kasus di mana suatu inovasi baru yang awalnya tidak diperhitungkan, ternyata mampu berkembang dan kemudian mematikan inovasi yang sudah berjalan. Kasus seperti Netflix versus Blockbuster, kamera analog versus kamera digital, dan lain-lain. Hal ini bisa kita jelaskan menggunakan konsep sustaining dan disruptive innovation.
DISRUPTIVE INNOVATION
Disruptive Innovation diperkenalkan oleh Profesor Clayton M. Christensen, melalui buku The Innovator’s Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail yang terbit tahun 1997. Dalam bukunya, Christensen melakukan penelitian industrI disk drive,
di mana beliau menemukan bahwa perusahaan besar dan mapan dari berbagai industri pada akhirnya gagal mempertahankan keunggulan kompetitif yang sudah mereka peroleh. Perusahaan-perusahaan besar yang sudah ada cenderung melakukan inovasi sesuai kebutuhan konsumen atau disebut inovasi berkelanjutan (sustaining innovation), sementara apabila terdapat inovasi baru dengan fitur-fitur khusus yang berbeda, namun kurang sesuai dengan kebutuhan konsumen, cenderung dilakukan oleh perusahaan baru yang kemudian berkembang dan mampu mengungguli bahkan mematikan perusahaan yang sudah ada. Kondisi ini disebut Disruptive Innovation
baca juga, BI Dukung Pembangunan 3 Juta Rumah untuk Atasi Backlog di Indonesia
Adapun ciri-ciri disruptive Innovation ada tiga, yaitu :
1. Seiring pesatnya perkembangan teknologi, perusahaan akan melakukan inovasi berkelanjutan dengan menambah fitur-fitur baru yang diluar kebutuhan konsumen atau over served. Hal ini akan menimbulkan celah bagi masuknya inovasi baru namun lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen.
2. Perusahaan cenderung melakukan inovasi berkelanjutan yang memperbaiki dan meningkatkan kinerja produk/jasa yang sudah ada, di mana hal ini akan memberikan pengembalian yang lebih baik tentunya. Namun lupa melakukan inovasi disrupsi, yang memberikan peluang baru pengembangan usaha kedepannya namun kurang menarik dilakukan saat ini.
3. Model bisnis dan basis konsumen yang sudah ada, membuat pengembangan inovasi berkelanjutan lebih menarik dilakukan terhadap kondisi existing, sementara perusahaan akan menghindari pengembangan inovasi baru yang disruptive yang kurang menguntungkan bagi perusahaan saat ini.
KASUS BISNIS
NETFLIX VERSUS BLOCKBUSTER
Blockbuster merupakan perusahaan besar dan terkemuka dalam industri penyewaan video di US sekitar era 1990 – 2000an. Pada tahun 1998, muncul Netflix yang menawarkan penyewaan DVD secara online. Pada saat itu Netflix dianggap sebagai pemain kecil yang
tidak dianggap oleh Blockbuster. Netflix sendiri pernah menawarkan kepada Blockbuster untuk digabung, namun ditolak. Seiring perjalanan waktu dan berkembangnya teknologi streaming yang dijadikan sebagai model bisnis oleh Netflix, membuat Blockbuster akhirnya harus gulung tikar.
KODAK : PERTARUNGAN KAMERA DIGITAL VERSUS ANALOG
Siapa yang tidak kenal Kodak ? Pada masa jayanya, istilah Kodak berarti juga kamera. Kodak didirikan pada tahun 1892 di US, dan dinyatakan bangkrut pada tahun 2013 yang berarti umur perusahaan sekitar 121 tahun. Kodak merupakan pemain besar dan penguasa pasar kamera analog. Seiring munculnya teknologi kamera digital, Kodak gagal melakukan perubahan bisnis dan pada akhirnya bangkrut. Ironisnya, teknologi digital diciptakan oleh karyawan Kodak sekitar tahun 1975, yaitu Steven Sasson. Dia yang meyakini akan terjadinya perubahan secara total dari teknologi analog ke digital pada tahun 2010an. Namun temuan tersebut ditolak oleh para
eksekutif Kodak. Pada akhirnya teknologi digital menjadi disruptive teknologi yang mematikan Kodak.
BAGAIMANA MENYIKAPI DISRUPTIVE TEKNOLOGI ?
Perusahaan existing cenderung melakukan inovasi berkelanjutan, yaitu inovasi yang sesuai dengan perubahan kebutuhan konsumen. Posisi kompetitif yang telah dibangun membuat perusahaan menjadi lamban dan cenderung enggan melakukan inovasi baru, dan bahkan menolak menerima inovasi tersebut. Contoh kasus di atas, memberikan pelajaran, bahwa perusahaan yang sedang memimpin pasar, tidak boleh meremehkan inovasi baru yang memberikan alternatif produk subsitusi.
Agar mampu bertahan, perusahaan harus selalu memperhatikan perkembangan inovasi baru dengan fitur-fitur yang unik dan berbeda, namun bisa menjadi produk subsitusi. Perusahaan dapat membuat parameter atau indikator yang mengukur sampai sejauh mana suatu inovasi akan menjadi disrupsi bagi produk yang sudah ada.
Sebagai contoh, teknologi Electric Vehicle (EV.) yang saat ini mulai menjadi disrupsi pasar kendaraan berbahan baku minyak. Dengan mengukur harga jual, kapasitas, dan daya isi baterai EV, dari tahun ke tahun. Dengan mengukur dan mengamati perkembangan gap tersebut, maka perusahaan dapat mengantisipasi kemungkinan disrupsi dari inovasi baru dan menyiapkan langkahlangkah menghadapinya.
