PropertyandTheCity.com, Jakarta – Pemerintah melalui SKB 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo resmi menghapus retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Kebijakan ini ditujukan untuk meringankan beban MBR dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan.
Selain itu juga disinyalir, pemerintah akan memangkas harga rumah untuk rakyat miskin Rp10,5 juta per unit mulai Desember ini. Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri memberi contoh harga rumah tipe 36 dapat dikurangi hingga Rp10,5 juta dengan adanya aturan ini.
“Nilainya untuk rumah ukuran 36 meter persegi itu lebih kurang Rp6,2 juta (BPHTB yang dibebaskan) kemudian untuk izin persetujuan PBG itu akan berkurang Rp4,3 juta (dibebaskan). Jadi untuk rumah tipe 36 itu bisa dihemat lebih kurang Rp10,5 juta,” ungkapnya seperti yang dikutip dari laman cnnindonesia.com.
Menanggapi hal tersebut Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch sontak terkejut dengan pemahaman pemerintah mengenai hal tersebut.
“Dengan hapusnya BPHTB itu tidak berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan oleh pengembang karena itu konsumen yang bayar dan masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain dengan dihapuskannya PBG meskipun secara tertulis akan mengurangi beban biaya pengembang, namun tidak serta merta menghilangkan biaya-biaya siluman akibat pengurangan itu. Silakan Menteri cek ke lapangan seperti apa yang terjadi,” ujar Ali.
Selain itu dengan dikuranginya harga rumah subsidi, pemerintah membuat semua pengembang subsidi yang telah memiliki stok mengalami kerugian, karena biaya PBG sudah dikeluarkan sebelum SKB 3 Menteri ini.
“Penurunan harga tidak bisa dilakukan tiba-tiba seperti ini karena masih banyak rumah stok yang dibangun dengan biaya-biaya sebelumnya yang pastinya akan merugikan pengembang bila dijual dengan harga lebih rendah. Pastikan pemerintah memiliki data sebelum memutuskan sebuah kebijakan karena akan membuat pasar semakin kebingungan,” jelas Ali.
Kondisi ini juga dapat membuat konsumen menunda pembeliannya sampai awal tahun depan sambil meunggu kebijakan harga baru. Yang pasti hal ini akan merugikan pengembang karena terjadi penurunan penjualan. Belum lagi sebelumnya juga Pemerintah tengah gencar menyediakan rumah gratis untuk masyarakat yang membutuhkan.
Namun, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan program ini malah membuat banyak konsumen menunda pembelian rumah bahkan membatalkan pemesanannya karena kesalahpahaman bisa mendapatkan rumah gratis.
Saat ini ditengarai banyak kebijakan yang diluncurkan mendadak tanpa pemikiran yang mendalam dan dampaknya bagi pengusaha pengembang rumah subsidi yang telah mendukung pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat. Jangan sampai hal ini menambah kekisruhan program perumahan rakyat di Indonesia, dan pemerintah dituntut untuk lebih memahami pasar perumahan nasional dari semua aspek terkait.