Beranda Liputan Utama MATERIAL HIJAU BUTUH SOSIALISASI MASSIF

MATERIAL HIJAU BUTUH SOSIALISASI MASSIF

0
material hijau
Doti Windajani Principal PT Quadratura Indonesia

Konsep bangunan hijau atau green building bukan sekedar mengikuti tren tapi sudah menjadi kebutuhan di tengah kian terbatasnya sumber daya alam. Tren bangunan ramah lingkungan ini telah dimulai pada awal abad 20 ditandai dengan bangunan bersejarah Falling Water karya Frank Lloyd Wright.

baca juga, APAKAH TEKNOLOGI VIRTUAL TERLALU MAHAL UNTUK INDUSTRI REAL ESTATE DI INDONESIA?

Jamak perusahaan pengembang properti mengharapkan bisa merancang proyeknya dengan konsep ramah lingkungan. Ini artinya bangunan hijau sudah menjadi bagian penting dalam bisnis.

Di Indonesia pengembangan properti yang mengandalkan unsur bahan bangunan ramah lingkungan sudah baik kendati belum tersampaikan secara masif, baik kepada konsumen atau pemilik rumah, maupun kontraktor dan developer sebagai pelaku bisnis properti. Demikian disebut Principal PT Quadratura Indonesia, Doti Windajani.

Menurutnya, respon positif dan kesadaran konsumen justru terlihat pada teknologi hijau ketimbang penggunaan bahan bangunan berkelanjutan. Ambil contoh, orang lebih mempertimbangkan rumah-rumah yang didukung smart home system yang mendukung
efisiensi energi, seperti peralatan listrik, lampu dan sanitary wares.

“Sosialisasi yang kurang mengakibatkan (masih) rendahnya kesadaran pemilihan dan pemanfaatan material hijau,” ujar Doti, menjawab pertanyaan redaksi Majalah Property and the City, mengenai urgens penggunaan bahan bangunan berkelanjutan, medio Februari lalu.

Pemanfaatan bahan bangunan alami tentu sangat berdampak pada keselamatan bumi. Bayangkan, jika keseluruhan fasad bangunan ditutupi dengan rumput dan pepohonan yang tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga mampu mengurangi panas ke dalam bangunan. Juga aneka tanaman berperan sebagai penghalang suara, memberikan kesan teduh, membersihkan udara sekitar, dan juga suplai oksigen di kawasan. Dengan konsep ini, penggunaan pendingin udara (AC) di dalam bangunan bisa lebih berkurang.

Kendati begitu, Doti meyakini setiap perencana akan merekomendasikan penggunaan green material dalam karyanya. Wujudnya beragam. Mulai dari pemilihan produk sanitasi yang hemat air, lampu yang hemat energi dan material lain yang memiliki green certificate.

“Sebagai arsitek kami selalu komitmen dengan sikap atau tanggung jawab terhadap kehidupan di bumi baik dari sisi manusia dan lingkungan. Ini juga sebagai upaya mendukung regulasi yang berlaku untuk kepentingan perizinan,” tutur Doti yang juga Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta periode 2021-2024 ini.

Ia menyebut selain edukasi dan sosialisasi yang belum serempak, tantangan lainnya adalah harga material ramah lingkungan lebih tinggi dibanding material konvensional. “Namun, hal tersebut dinilai wajar karena dalam proses produksinya pabrikan memerlukan riset dan uji material dan sertifikasi,” ungkapnya.

Doti memaparkan, ada dua tren atau tipikal konsumen, yaitu pasar developer (project based) yang minat sebab ada pemenuhan syarat regulasi untuk perijinan serta pertanggunganjawaban korporasi kepada negara dan dunia. Kedua, konsumen masyarakat umum yang belum sepenuhnya memahami peran material ramah lingkungan. Keduanya perlu edukasi atau arahan bahwa menggunakan material bangunan
berkelanjutan itu banyak untungnya.

+ posts

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini