Beranda Liputan Utama HIJAUKAN PROPERTI MELALUI GREEN FINANCING

HIJAUKAN PROPERTI MELALUI GREEN FINANCING

0
hijaukan properti

Green Financing dari industri jasa keuangan termasuk perbankan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan di Indonesia didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup melalui skema pembiayaan ‘hijau’.

Berdasarkan survei Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) tahun 2021, indeks ESG Indonesia masih berada cukup rendah pada peringkat ke 36 dari 47 pasar modal di dunia dan 40% perusahaan Indonesia masih belum sadar terhadap pentingnya penerapan ESG.

baca juga, Komunitas Ibu Arsitek, Support System Perempuan Pecinta Arsitektur

Payung hukum penerapan green financing di Indonesia, salah satunya diatur dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Penerapan green financing di Indonesia relatif masih dalam tahap awal, namun belum berjalan dengan baik. dukungan pemerintah dalam pengembangan green economy dituangkan dalam RPJMN 2020–2024. Selain itu otoritas keuangan juga telah melakukan inisiatif untuk mendukung pengembangan green economy, antara lain: Inisiatif kebijakan Kementrian Keuangan, berupa Anggaran
Belanja Perubahan Iklim di K/L, Perpajakan, Green Bond Sukuk Framework.

Bank Indonesia (BI) sempat merelaksasi Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) dan mengatur tambahan keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti yang berwawasan lingkungan sebesar 5 persen pada tahun 2019. Namun keputusan LTV/FTV saat ini tidak ada perbedaan yang spesifik antara properti yang berwawasan lingkungan dan tidak. Bank Indonesia sekiranya perlu untuk secara spesifik membuat skema agar skema ini lebih menarik bagi para pelaku bisnis.

Kurang menariknya green financing, juga seiring dengan persyaratan yang berlaku. Properti hijau harus mendapatkan sertifikasi kawasan hijau yang diterbitkan dari lembaga sertifikasi yang diakui. Sedangkan untuk kawasan yang belum tersertifkasi, penilaian kriteria bangunan hijau harus berdasarkan hal-hal sebagai berikut: 1. Properti yang didirikan dengan luas bangunan kurang dari 2.500 meter persegi maka harus dilakukan penilaian oleh bank dengan instrumen aplikasi yang disediakan oleh lembaga penyelenggara sertifikasi bangunan hijau yang tentunya, penyelenggara sertifikasi tersebut juga harus diakui; 2. Untuk properti yang didirikan dengan luas bangunan lebih dari atau sama dengan 2.500 meter persegi, maka dilakukan sertifikasi oleh lembaga penyelenggara yang diakui; 3. Untuk bangunan baru dalam satu kawasan yang dibangun baik oleh satu atau gabungan pengembang, maka pemenuhan kriteria bangunan hijau harus dilakukan melalui sertifikasi oleh lembaga penyelenggara yang diakui.

Para pengembang properti masih menganggap belum menjadi keharusan untuk menjadi ‘hijau’ apalagi harus memiliki sertifikat hijau. Beberapa proyek dibawah grup pengembang besar seperti Ciputra Group, Sinar Mas Land, dan Kota Baru Parahyangan telah memiliki sertifikat hijau dari lembaga terkait yaitu GBCI atau dengan sertifikat EGDE, namun masih banyak yang belum mengajukan sertifikat hijau. Berdasarkan pantauan Indonesia Property Watch (IPW) penerapan konsep ‘hijau’ di sebagian besar proyek pun masih sangat minim.

Dari 6 aspek kategori hijau, aspek pengembangan tapak menjadi aspek tertinggi yang berusaha diterapkan oleh pengembang, diikuti konservasi air, dan penggunaan sumber daya & material. Beberapa hal terkait transportasi umum dan TOD menjadi perhatian pengembang. Namun demikian terkait aspek efisiensi & konservasi energi, pengelolaan lingkungan, kesahatan & kenyamanan indoor, masih jauh dari optimal. Belum adanya tim atau ahli yang memantau dan memelihara konsep ‘hijau’ di proyek-proyek menjadi salah satu faktor yanag menjadi kendala, disamping pencatatan yang berkesinambungan mengenai pemanfaatan energi.

Namun demikian, Bank Indonesia terus mendorong ekonomi berkelanjutan melalui penerapan Kebijakan Likuiditas Makroprudensial untuk mendukung pembiayaan hijau. “Bank Indonesia menerapkan kebijakan barunya pada Oktober 2023 yaitu Kebijakan Likuiditas Makroprudensial untuk mendorong pembiayaan hijau dengan tambahan komitmen insentif mencapai Rp50 triliun,” kata Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Destry menuturkan selain penerapan kebijakan tersebut, langkah yang ditempuh BI untuk mendorong ekonomi berkelanjutan di antaranya menerbitkan peraturan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) hijau untuk meningkatkan penerbitan obligasi hijau dengan mengizinkan bank untuk memenuhi persyaratan rasio pembiayaan inklusif melalui pembelian obligasi hijau.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2022, di Bali, Communique, G20 Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menyatakan bahwa pendanaan berkelanjutan sangat penting untuk mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan, berketahanan, dan pemulihan ekonomi global yang inklusif. Hal tersebut menjadi landasan bagi bank sentral untuk terus mengedepankan kebijakan berbasis lingkungan hidup, termasuk mendorong upaya transisi untuk mengurangi emisi. Bank Indonesia mengumumkan akan mengalokasikan sekitar 5% dari total cadangan devisa yang dimiliki BI (atau setara $6 miliar) ke dalam bentuk obligasi berkelanjutan sebagai komitmen dan langkah maju dalam mendukung ekonomi hijau. Hal ini didukung dengan akan aturan terkait Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) Hijau. Sebagaimana diketahui, RPIM ini adalah rasio yang menggambarkan porsi pembiayaan/penyediaan dana yang diberikan Bank (Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah) untuk UMKM, Korporasi UMKM, dan/atau Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR) dalam rupiah dan valuta asing sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia.

Sumber: Survei Green Indonesia Property Watch (IPW), 2024

Tren pembiayaan hijau perbankan Indonesia pun terus meningkat. Saat ini, paling tidak ada 15 bank yang tergabung dalam Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Inisiatif ini merupakan bentuk komitmen nyata dari industri keuangan untuk mendukung pembiayaan hijau. Bank-bank yang termasuk dalam keanggotaan asosiasi ini, yaitu BRI, BNI, BCA, Bank BJB, CIMB Niaga, OCBC NISP Indonesia, Bank Syariah Indonesia, dan HSBC Indonesia.

Bukti komitmen tergambar dari kinerja Bank BRI pada kuartal III 2023 yang membukukan penyaluran kredit berkelanjutan atau kredit ESG sebesar Rp750,91 triliun atau tumbuh 11,89% secara tahunan. Porsi kredit ESG ini mencapai 66,1% dari total portofolio kredit bank, dimana BRI telah menyalurkan kredit sebesar Rp1.250,72 triliun hingga akhir September 2023 atau tumbuh 12,53% secara tahunan.

Sementara itu, Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit hijau naik 10,2% (yoy) dan berkontribusi sebesar 11,7% dari total
portofolio kredit. Kredit berkelanjutan juga yang disalurkan Bank BCA yang meningkat 10,6% pada tahun 2023 menjadi Rp202,6 triliun per Desember 2023, melampaui target pertumbuhan sebesar 9%.

Tambahan insentif menjadi kunci agar semua pihak mau terlibat dalam pembiayaan hijau, tidak hanya insentif bagi perbankan ataupun konsumen, namun juga para pengembang harus didorong untuk ikut berperan. Penerapan Green Tax terhadap semua kegiatan yang memberikan dampak kerusakan bagi lingkungan bila perlu harus segera dikeluarkan .pemerintah, selain insentif bagi pengembang yang
menerapkan secara konsisten konsep ‘hijau’ di proyekproyeknya.


+ posts

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini