Beranda Property Trend TREN RITEL DI INDONESIA

TREN RITEL DI INDONESIA

0

Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia sangatlah pesat. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan kelas menengah dan menengah atas (MAC – Middle and Affluent Class) yang sangat pesat. Menurut data BPS pada tahun ini terdapat sebanyak 74 juta orang kelas menengah dan menengah atas, dan diperkirakan akan menjadi 141 juta orang pada tahun 2020. Setiap tahun diperkirakan antara 8 juta sampai 9 juta orang baru masuk kelas ini. Pertumbuhan kelas menengah dan menengah atas ini terdistribusi secara meluas di beberapa daerah di Indonesia. Tahun ini terdapat 25 daerah (kota atau kabupaten) yang jumlah kelas menengah dan menengah atasnya diatas 500 ribu jiwa, dan diperkirakan akan menjadi 54 daerah pada tahun 2020.

Terkait dengan perkembangan ritel itu sendiri, McKinsey Global Institute mengatakan FOOD AND BEVERAGES WILL REMAIN AN IMPORTANT SEGMENT—BUT GROWTH PATTERNS ARE EVOLVING WITH URBANISATION. Menurut McKinsey, pada tahun 2030 dalam masyarakat urban akan terjadi pergeseran biaya belanja sebesar 9 persen dari produk makanan ke produk non-makanan. Namun, makanan dan minuman tetap merupakan pasar menarik, dan mempunyai potensi menjadi kategori pengeluaran (spending category) kedua terbesar pada tahun 2030.

Masyarakat urban Indonesia pada saat ini membelanjakan sebesar US$ 73 miliar per tahun untuk produk makanan dan minuman, dan diperkirakan segmen ini akan tumbuh sebesar 5,2 persen per tahun hingga tahun 2030. Sektor Restoran juga memberikan kesempatan pertumbuhan yang lebih jauh lagi dalam produk makanan dan minuman. Diperkirakan bahwa pengeluaran untuk makan di restoran biasa dan restoran cepat saji akan menjadi tiga kali lipat menjadi lebih dari US$ 30 miliar pada tahun 2030.

Dalam laporan dari AT Kearney yang dituliskan dalam Global Retail Development Index, pada tahun 2015 Indonesia telah mencapai GRDI tertinggi dalam perjalanan bisnis retailnya, mencapai ranking 12, meningkat dibandingkan dengan tahun 2014 dimana Indonesia ada pada ranking 15 dan tahun 2013 di ranking 19. Namun di GRDI 2016, Indonesia melesat ke posisi 5 masih di bawah Cina (#1), India (#2), Malaysia (#3), dan  Kazakhtan (#4). Secara keseluruhan, Asia adalah pemenang regional di 2016, dengan empat dari lima negara teratas dalam Indeks, karena kombinasi dari populasi yang besar dan pertumbuhan yang tinggi.

Peluncuran resmi ASEAN Economic Community (AEC) diperkirakan menciptakan pasar US$ 2,6 triliun dengan penduduk lebih dari 622 juta jiwa, merupakan tonggak penting, meskipun pelaksanaannya akan menjadi proses yang panjang. Trans-Pacific Partnership (TPP), jika disahkan, bisa mendongkrak GDP di beberapa negara Asia, termasuk Vietnam (#11) dan Malaysia (#3).
E-Commerce Asia

E-commerce terus berkembang di Asia, naik 35,7 persen pada tahun 2015 mencapai US$ 878 miliar. Asia kini tidak hanya terbesar pasar e-commerce, tetapi juga memegang saham mayoritas penjualan online global (52,5 persen).

Angka-angka penjualan ritel yang besar itu di Indonesia saat ini masih didominasi oleh penjualan secara off-line, melalui toko-toko tradisional yang hadir secara fisik (“brick and mortar shop”). Meskipun pasar e-commerce ini belum terlalu besar, tapi mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini dipertegas oleh Ignasius Warsito, Direktur Industri Elektronika Telematika, Ditjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi yang menyatakan, prospek e-commerce pada 2015 cukup menjanjikan dengan pertumbuhan sekitar 60%-70% dibandingkan pertumbuhan e-commerce global yang “hanya” 20%. Oleh sebab itulah banyak orang yang mempunyai bisnis offline (toko offline) mulai mengembangkan bisnisnya di ranah online yang  membuat persaingan semakin ketat.

Berdasarkan Online Shopping Outlook 2015 yang dikeluarkan Brand & Marketing Institute (BMI) Research, peluang pertumbuhan pasar belanja online masih sangat besar seiring meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Hasil riset BMI Research mengungkapkan, pada tahun 2014 pengguna belanja online mencapai 24% dari total pengguna internet di Indonesia. Riset tersebut dilakukan di 10 kota besar di Indonesia terhadap 1.213 orang dengan usia antara 18-45 tahun melalui metode phone survey. Fakta mengejutkannya, nilai belanja online di sepanjang tahun 2014 mencapai angka Rp21 triliun dengan nilai belanja rata-rata per orang per tahun Rp825.000. Berdasarkan asumsi nilai belanja yang sama, maka di tahun 2015 nilai belanja online diprediksi meningkat hingga mencapai Rp50 triliun. Temuan tadi merupakan kondisi positif bagi pertumbuhan bisnis pasar belanja online di Indonesia.

Omnichannel

Jika semula pasar ritel terbagi dua dalam pasar online dan offline, maka batas itu sekarang menjadi kabur, dan orang mulai bicara dalam pasar yang disebut “Omnichannel”, atau ada yang menyebutnya juga “O to O” (online to offline atau offline to online).

Hampir seluruh pelaku ritel tekenal dari mancanegara menjalankan bisnis Omnichannel ini. Di Indonesia bisnis Omnichannel ini dipelopori oleh Matahari yang membuka Mataharimall.com pada 9 September 2015, diikuti oleh MAP group pada 18 Pebruari 2016. Pasar omnichannel ini membuka cakrawala baru dalam dunia ritel, dan bertujuan agar pasar offline tidak kalah bersaing dengan pasar online yang berkembang dengan pesat. Sebaliknya, pemain di pasar online juga bergerak ke arah omnichannel dengan membuka toko offline, dipelopori oleh Amazon.com yang membuka toko offline Amazon.com pertamanya di University Village di kota Seattle, USA.

Dalam bukunya yang terkenal, The New Rules Of Retail (2014), Robin Lewis menegaskan, bahwa pasar ritel sekarang sudah sangat berubah, bahkan sudah mencapai apa yang disebutnya gelombang IV (Wave IV). Pada pasar ritel gelombang ini, antara retailer dan consumer harus terjalin hubungan batin yang erat (mind connectivity). Untuk menjaga hubungan batin ini retailer harus menciptakan apa yang disebutnya “Neurological Connectivity”. Produsen dan retailer harus menyadari tren apa yang ada pada konsumen, sehingga konsumen akan membeli produk yang ditawarkan bukan hanya untuk sekali saja, tapi berulang-ulang. Bahkan tersedia juga software yang memang didesain untuk itu, seperti software Customer Analytic yang dapat digunakan oleh retailer maupun pusat belanja.

Kesimpulannya, agar tidak habis tergerus oleh perkembangan jaman, para retailer yang biasa mempunyai brick and mortar shop, harus membawa pengalaman belanja online ke dalam tokonya. Selamat Berubah!.

Website | + posts

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini