PropertyandTheCity.com, Jakarta – Siapa yang mau tinggal di rumah berhantu? Kebanyakan orang justru memilih kabur dan tak kembali. Bayangkan, keringat dingin bercucuran, jantung berdegup kencang, dan napas tiba-tiba memburu. Ketakutan ini sepertinya sudah cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum tinggal di sana.
Namun, tahukah Anda? Ada studi ilmiah yang menyebutkan bahwa rasa takut yang dialami saat berada di rumah berhantu bisa memberikan manfaat bagi kesehatan. Kedengarannya aneh, bukan? Tapi ternyata ada penjelasan di balik fenomena ini.
Dikutip dari IFL Science, peneliti mengungkap, berada di rumah berhantu bisa membantu menghidupkan sistem adrenergic. Sistem adrenergic sendiri adalah bagian dari sistem saraf otonom yang bertanggung jawab mengatur respons tubuh terhadap situasi stres atau ancaman.
Ketakutan atau sata merasa terancam, memicu respons tubuh yang disebut “fight or flight.” Respons ini dapat meningkatkan aliran darah, memperbaiki fungsi otak, dan bahkan memperkuat sistem kekebalan dengan cara memodulasi penanda peradangan.
Ketika sistem adrenergic diaktifkan, respon ini dapat menekan aktivitas sistem imun untuk sementara waktu, yang berpotensi mengurangi peradangan yang terkait dengan berbagai penyakit kronis.
Rasa takut yang dicampur dengan kesenangan telah membuat para ilmuwan ini tertarik untuk melakukan riset. Mereka menyebutnya ‘recreational fear’ seperti nonton film horor, pergi ke wahana rumah hantu, olah raga esktrem dan lainnya.
Sebuah studi terbaru dilakukan di wahana rumah hantu untuk meneliti perubahan pada peserta yang memiliki peradangan tingkat rendah, baik selama maupun setelah paparan ketakutan. Penelitian ini mengeksplorasi perubahan pada penanda inflamasi dan sel imun seiring waktu.
Riset ini melibatkan 113 relawan dengan usia rata-rata 29 tahun. Mereka mengunjungi rumah hantu di Vejle, Denmark, yang dirancang untuk menakut-nakuti pengunjung dengan berbagai elemen seram, seperti badut menyeramkan, kejaran zombie, hingga hantu yang membawa gergaji mesin.
Selama penelitian, detak jantung para peserta dimonitor, dan sampel darah mereka diambil pada tiga waktu berbeda: sebelum masuk rumah hantu, segera setelah keluar, dan tiga hari setelah kunjungan. Sampel tersebut dianalisis untuk mengukur penanda inflamasi (hs-CRP) dan jumlah sel imun (leukosit).
Hasilnya, tidak ditemukan perubahan signifikan dalam kadar hs-CRP antara waktu kunjungan dan tiga hari setelahnya. Namun, data menunjukkan bahwa paparan rasa takut dapat berpotensi membantu meredakan peradangan, meskipun mekanismenya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Di antara peserta dengan kadar hs-CRP tinggi selama acara, sebanyak 82 persen menunjukkan penurunan kadar hs-CRP setelah tiga hari. Hal ini mengindikasikan adanya pengurangan peradangan.
Paparan terhadap rasa takut tampaknya mengurangi peradangan dan jumlah sel imun pada beberapa peserta. Mengingat bahwa peradangan tingkat rendah merupakan faktor risiko yang diketahui untuk berbagai penyakit kronis, temuan ini mungkin memiliki manfaat kesehatan tambahan.
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan. Misalnya, tidak semua faktor eksternal seperti konsumsi alkohol dan kebiasaan merokok diperhitungkan, tidak adanya kelompok kontrol, serta ketiadaan data awal tentang tingkat peradangan peserta. Selain itu, penelitian ini bersifat jangka pendek, dan beberapa faktor demografis juga tidak dianalisis.
Kendati demikian, hasil studi ini membuka peluang bagi penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara rasa takut rekreasional dan sistem imun. Temuan ini mengindikasikan bahwa ada potensi dampak positif dari ketakutan yang dialami dalam situasi terkontrol terhadap kesehatan tubuh.