Di Angkor Wat, pusat mahakarya kebudayaan Khmer, setiap momen dan sudut menawarkan pengalaman yang tak terlupakan.
Angkor Wat yang berarti “Kota Suci” merupakan bangunan candi Hindu terbesar di negeri Kamboja, dengan bentuk bangunan bergaya piramid dengan teras-teras yang bertingkat. Candi ini pusatnya berupa lima prang atau menara utama yang menjulang mengerucut sebagai simbolisasi Gunung Meru. Bangunan candi yang lebih cocok disebut istana ini dibangun oleh Suryavarman II (memerintah 1112-1150 M) yang juga membangun kompleks candi Banteay Samre. Pembangunan Angkor Wat diteruskan oleh keturunannya, Yasovarman II.
Kalau menyebut Angkor Wat berarti kita merujuk pada bangunan candi. Tapi kalau menyebut Kompleks Angkor Wat, berarti merujuk pada keseluruhan situs candi yang bertebaran hingga puluhan kilometer jauhnya di area sekitar kota Siem Reap. Angkor Wat yang ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage Site sejak Desember 1992, disebut-sebut sebagai monument keagamaan terbesar di dunia. Halaman luar Angkor Wat mempunyai panjang 1,5 km dari timur-barat dan 1,3 km dari utara-selatan. Dengan kata lain, luasnya sekitar 195 hektar. Sebagai perbandingan luas keseluruhan kompleks TMII sekitar 165 hektar.
Selain menjadi mahakarya monumen keagamaan, Angkor Wat juga merupakan sebuah mahakarya arsitektur. Kalau melihat denahnya, candi ini dibangun dengan keteraturan dan kesimetrisan yang luar biasa. Belum lagi relief-relief timbul yang menyelimuti keempat sisi dinding luar, yang jika diukur panjang totalnya mencapai 800 meter. Total ada sekitar 600 relief di semua bagian candi, belum termasuk 2000 relief bidadari Apsara di dinding-dinding bagian dalam.
Dengan diantar pemadu wisata, saya sudah sampai di Angkor Wat pagi hari saat matahari mulai menampakkan cahayanya. Begitu memasuki halaman belakang Angkor Wat, dari arah belakang, tampak kelompok kaum laki-laki berbaju biksu warna oranye safron di sisi kanan, dan kelompok wanita yang berbaju putih-putih di sisi kiri. Mereka duduk bersila di rumput, mendengarkan penjelasan dari seorang biksu yang tampaknya paling senior meski usianya baru sekitar 40-an. Ia didampingi beberapa biksu lain yang masih muda-muda. Ada seorang biksu muda yang bertugas memotret-motret dengan kamera besar.
Tampak beberapa anak penduduk lokal duduk-duduk di bagian dinding Angkor Wat yang posisinya agak tinggi. Mereka memperhatikan biksu muda di barisan depan yang berisi anak-anak seusia mereka. Setelah mendengarkan ceramah dari biksu senior itu, para peserta yang masih duduk bersila sambil memejamkan mata, bersemedi selama beberapa menit. Dilanjutkan dengan melantunkan doa-doa dari selembar kertas yang mereka pegang. Pagi yang hening bertambah syahdu mendengar doa-doa mereka.
Semula saya menduga, mereka adalah calon-calon biksu yang sedang dalam masa pembelajaran. Ternyata bukan. Dalam masyarakat Kamboja yang sebagian besar menganut Buddha Theravada, tidak dikenal adanya biksuni atau biksu wanita. “Ada wanita yang menjadi nun (suster) tapi bukan biksuni,” ujar Tonghann Chea sang pemandu wisata.
Menurut Tonghann, mereka adalah penduduk lokal Siem Reap yang masih mempraktekkan tradisi era Angkor (abad ke-10 sampai 15 M). Mereka ini umumnya adalah anak-anak sekolah biasa dan warga yang bekerja menjual suvenir di candi-candi yang banyak tersebar di kompleks Angkor Wat ini. Saat bekerja, mereka tidak terlihat seperti biksu atau nun. Kegiatan ini dilakukan secara berkala ada yang ikut di sesi sore, tergantung waktu sekolah atau berjualan mereka.
Setelah acara selesai, mereka lalu berbaris teratur menuju pintu sisi selatan Angkor Wat. Kelompok wanita berjalan di depan, dan akhirnya menghilang di bagian belakang bangunan seperti aula. Sementara kelompok laki-laki tetap duduk bersila lagi berhadap-hadapan. Di hadapan mereka sudah berjejer piring-piring berisi nasi, mangkuk-mangkuk berisi sayur mi, dan botol-botol air kemasan. Mereka pun mulai makan dengan menu yang sangat sederhana itu. Beberapa wanita penduduk lokal datang membawa nasi, sayur dan juga botol-botol air minum, dan memberikan derma itu sebagai tambahan menu.
Uniknya, sebagian besar pengunjung hari ini adalah turis lokal, dan tampaknya mereka datang tidak hanya untuk berwisata tapi bersembahyang. Beberapa patung Buddha saya lihat mengisi ceruk ruangan di beberapa sudut, dan orang-orang besembahyang dan menyalakan dupa di depannya. Memang, agama Hindu dan Buddha bergantian menjadi agama utama di era Angkor. Di era sekarang, kata Tong, sekitar 92,25 persen penduduk Kamboja menganut Buddha.
Bangunan candi Angkor Wat di setiap sisinya memiliki cerita sendiri seperti terpatri dalam relief-relief yang punya kisah pada masanya. Kalau kita masuk dari sisi selatan ternyata mempunyai dua koridor bersisian, memanjang dari depan hingga jauh ke belakang. Keteraturan tiang-tiang batu yang menyusun koridor ini begitu simetris. Bayangkan kita di dalam lift yang keempat dindingnya dari cermin. Di sini kita akan melihat bayangan kita berbaris ke belakang hingga puluhan banyaknya.
Sementara koridor satunya yang berbatasan dengan dinding candi, berlantaikan batu, dan juga beratap batu namun berpola seperti tegel dengan motif bunga bulat berdaun delapan. Tiap tegel ini disekat oleh material plaster namun tampak seperti rangka kayu, yang memanjang lurus sealur dengan koridor. Dinding candinyalah yang membuat siapapun yang ke sini pasti akan terpesona. Di dinding inilah terdapat galeri relief yang memanjang menyelimuti keempat dinding luar candi. Beberapa bagian relief di dinding ini berkilat kehitaman akibat sering disentuh pengunjung. Mungkin karena alasan itu di sepanjang koridor ini diberi tali dan kayu pembatas agar pengunjung tak terlalu dekat dengan dinding. Reliefnya yang seperti lembaran kanvas raksasa itu berada di ketinggian setinggi paha orang dewasa, selebar sekitar dua meter ke atas.
Kalau diamati lebih teliti, dinding ini sebenarnya balok-balok batu pipih-rata yang disusun dengan rapat, mungkin memakai semacam semen, sehingga relief-reliefnya tergambar mengalir dengan smooth seolah dindingnya bukan dari sambungan batu-batu. Berbeda dengan misalnya Candi Borobudur yang balok-balok batunya agak renggang. Tiap dinding ini dibagi lagi menjadi dua ‘sayap’. Jadi ada Galeri Selatan sayap barat dan timur, Galeri Timur sayap selatan dan utara, Galeri Utara sayap timur dan barat, serta Galeri Barat sayap utara dan selatan.
Galeri Selatan sayap barat sepanjang 96 meter, reliefnya merupakan gambaran peristiwa nyata yang terjadi saat itu. Pasukan berjalan kaki yang berada paling depan berderet-deret hingga puluhan orang panjangnya, diikuti 20 komandan pasukan yang mengendarai gajah. Gajah ke-12 membawa sang raja, yang reliefnya paling besar dan jumlah payung paling banyak, 15 buah. Memandang relief parade yang grande ini membuat saya kagum membayangkan betapa hebatnya kekuasaan sang raja di masa itu.