...

REI OPTIMIS DI 2021 KEMBALI KE NORMAL

Bagaimana REI melihat kondisi sepanjang tahun 2020 kemarin,seberapa burukkah bagi industri properti?

Properti sejak bulan Maret 2020 drop sekali, yang paling turun itu di bulan April, semua sub sektor properti turun di bawah 50 persen.Bahkan, hotel turunnya sampai 90 persen. Dengan kondisi yang ada sampai bulan Agustus, kemudian pemerintah mengumumkan new normal. Ini memberi efek cukup baik yaitu di luar dugaan ada kenaikan di kelas menengah. Harga rumah Rp300 juta sampai Rp1 miliar naik lebih dari 300 persen. Di sinilah kita berjuang, selain butuh dukungan peraturan, regulasi, relaksasi, restrukturisasi, kita juga harus berjuang bagaimana meng-create kondisi Covid-19 untuk kebaikan kita semua dan bisnis properti. Misalnya, bagaimana pengembang membangun rumah yang sehat. Mengarahkan masyarakat membeli rumah yang lebih kecil. Dari sini ternyata market menerima dengan positif. Konsisten market pada konsumen yang kita pertahankan untuk
menarik kelas atas dan subsidi.

Rumah subsidi di Maret sampai Agustus masih bagus, setelah itu jelek karena ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan itu terasa sekali. Seperti Kepmen yang mengatur batasan penghasilan konsumen Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sekarang syaratnya menjadi penghasilan take home pay sebesar Rp8 juta. Padahal dalam aturan sebelumnya, syarat penerima subsidi adalah MBR yang mendapatkan gaji pokok sebesar Rp4 juta. Keluarnya ketentuan baru tersebut sulit diaplikasikan ke setiap daerah mengingat adanya
perbedaan upah minimum regional (UMR).

Kemudian bank-bank melakukan pengetatan untuk realisasi. Ini lebih menghambat lagi karena banyak dari kelas MBR ini yang sebetulnya secara kondisi mampu mengangsur, tetapi karena kondisi sekarang, kemampuan konsumen MBR mengangsur menjadi takut. Bukannya tidak mampu tetapi takut. Bank takut merealisasikan kredit, sementara end user juga takut terealisasi. Kalau disetujui oleh bank mereka takut tidak bisa mencicil. Inilah yang menjadi hambatan sehingga target rumah sederhana di tahun 2020 tidak terpenuhi.

Artinya kurang dukungan lewat kebijakan dari pemerintah?

Masih banyak hambatan dari kebijakan yang dikeluarkan, misalnya, OJK memberikan restrukturisasi untuk Covid-19. Dalam surat edarannya jelas bahwa restrukturisasi tidak memengaruhi kolektabilitas. Ternyata ada beberapa bank yang mengumumkan orang atau debitur yang ikut restrukturisasi masuk kolektabilitas, dan ini malah diterima juga oleh BI. Jadi, ada stimulus dan relaksasi yang tidak ketemu di lapangan. Ini yang harus cepat diselesaikan supaya menjadi gayung bersambut. Kita sudah teriak-teriak ke bank.

Termsuk margin bank yang spread-nya tertinggi di dunia, kita juga teriak. Bank bersedia mengambil margin 3 persen, tetapi BI masih mengumumkan idealnya bank mengambil 5 persen. Bank mampu mengambil 3 persen, kenapa BI mengatakan boleh mengambil 5
persen. Kenyataan di lapangan sekarang 3,75 persen. Bukan
single digit malah jadi 11 sampai 12 persen, bahkan ada yang 15 persen. Ini tidak menyehatkan dunia mikro.

Supaya stimulus yang diberikan pemerintah lebih cepat, para menteri harus kolaborasi tidak bisa kerja sendiri-sendiri. Di properti ada 175 industri lain yang menjadi ikutan atau terkait. Sementara industri yang ada di Indonesia mencapai 185 industri. Itu artinya hampir semua industri terkait dengan properti. Sekarang pemerintah baru sadar, yang
sebelumnya tidak sadar, ternyata properti itu penting. Perubahanperubahan juga kita usahakan, termasuk meminta dari BPS. Sektor properti oleh BPS dimasukan hanya 2,7 persen dari PDB pengaruhnya karena BPS hanya memasukan transaksi jual beli rumah. Padahal harusnya lebih. Di seluruh dunia saja bidang properti kontribusinya
15 sampai 20 persen dari PDB. Ini yang harus diubah agar semuanya rasional. Supaya
property outlook 2021 betul-betul real.

Banyak yang berharap vaksin akan membangkitkan gairah
masyarakat?

Hidup itu jangan pesimis tetapi harus optimis. Vaksin sudah ada di Indonesia, tinggal pelaksanaan saja. Waktu bulan Agustus 2020 kita masuk new normal saja kelas menengah bisa bangkit. Adanya vaksin harusnya bisa lebih banyak yang bangkit.

Ada faktor lain yang bisa membangkitkan properti selain vaksin?

RPP (Rancangan Peraturan Pelaksana-red) UU Cipta Kerja akan keluar menjadi peraturan pelaksana (PP). Kalau PP dan Permin kondusif, lebih mempercepat lagi kebangkitan ekonomi. Ini yang ditunggu dunia investasi. Kita memperhatikan keseimbangan, tidak bisa hanya satu pihak. Saya bangun properti tetapi konsumen tidak ada yang beli, akhirnya tidak jalan. Mementingkan masyarakat tapi developer tidak diperhatikan, malah tidak ada yang investasi.

Segmen apa yang cepat bangkit di 2021?

Segmen menengah. Kalau segmen bawah lebih tergantung pada regulasi karena masih ada backlog. Kalau segmen atas akan terbawa kondisi dari kelas menengah. Segmen MBR yang bersubsidi pemerintah harus benar-benar pro. Ini saya tidak tahu masalah gaji yang Rp8 juta itu pro siapa. Pro rakyat tidak, pro developer tidak. Kalau saya punya penghasilan, bisa mencicil seperti kelas menengah, saya tidak mungkin membeli rumah sederhana. Kalau bisa beli rumah di tengah kota, kenapa mau beli di pinggir Jakarta. Jadi, tidak perlu dikhawatirkan rumah sederhana akan dijadikan spekulasi. Tapi yang ada dibatasi seperti kebijakan gaji untuk MBR Rp8 juta. Ini justru malah tidak jalan.

Padahal kita harus bisa menarik masyarakat untuk membeli properti. Ini yang kita usahakan terus, dan mendorong perlunya beberapa penyesuaian. Seperti di sektor mal perbanyak lifestyle untuk meningkatkan posisi di market. Perkantoran ruangnya diperkecil
karena sekarang orang tidak butuh ruangan besar. Dengan posisi seperti ini kita dari REI optimis di 2021 kembali ke normal.
[Hen]