Karawang adalah kawasan industri besar, dimana sejak pandemi tahun lalu, perusahaan-perusahaan di sana cukup stabil. Kemudian UMR-nya juga besar, sehingga selama satu tahun itu, kami tidak begitu merasa terdampak. Dari segi market memang unik, karena tidak begitu bergantung dari market dalam konteks seperti rumah komersial Rp200 atau Rp300 juta yang sangat terpuruk. Kalau rumah subsidi sendiri lebih bergantung kepada
kuota dari pemerintah. Tahun 2019 rumah subsidi seret, banyak rekan-rekan di Apersi juga seret sekali karena kuotanya habis.
Namun di 2020 ternyata jalan dan rata-rata rekan-rekan kami di Apersi juga jalan. Jadi, sepertinya dampak dari pandemi Covid-19 belum terasa di 2020. Tetapi jujur di 3 bulan terakhir di 2021 ini baru mulai terasa. Sepertinya belakangan ini pabrik-pabrik mulai pengurangan karyawan dan terutama adalah pengurangan jam lembur. Sehingga daya belinya menjadi berkurang. Kalau diibaratkan seperti ada bencana alam tsunami, dimana warningnya datang terlebih dahulu, sementara dampaknya baru terasa belakangan. Sehingga menurut saya tahun ini bisa lebih jelek dari tahun 2020 lalu. Mungkin tahun depan baru bisa recover. Intinya rumah subsidi masih tetap berjalan, beda dengan
perumahan komersil, seperti yang juga saya pasarkan, dimana masih sangat berat.
Kemudian yang cukup sulit juga adalah perbankan yang memperketat pemberian KPR. Kalau sebelumnya, orang yang ajukan KPR meski dia juga sedang cicil motor, tetap masih bisa diterima. Yang dirasakan di tahun 2020, minat masyarakat tinggi, tetapi tidak seluruh berkasnya dengan gampang lolos di perbankan.
Selain kepada konsumen, bank juga lebih selektif terhadap pengembang, dalam hal ini adalah kredit konstruksi. Kalau dulu, bank masih bisa pertimbangkan untuk developer baru, namun sejak pandemi, BTN memberlakukan peraturan baru, sehingga kredit konstruksi tidak diberikan kepada developer baru. Untungnya saya memang tidak mengalami karena kami sudah sejak 6 tahun yang lalu. Jadi, perbankan mungkin juga harus punya kebijakan atas seleksi yang bisa mengakomodir situasi saat ini. Dengan pengetatan yang luar biasa seperti itu, akan lebih sulit untuk pelaku subsidi bergerak.
Jadi, secara penjualan memang masih lebih bagus di 2020 dibandingkan 2019 yang lebih hancur. Kalau 2017 dan 2018 penjualan kencang sekali. Anjloknya penjualan di 2019
dikarenakan beberapa faktor, seperti ada event Pilpres dan terutama adalah kuotanya zero. Bahkan dalam 8 tahun terakhir belum pernah kuotanya sampai nol.
Betul bahwa tahun 2020 lalu terjadi penurunan daya beli, tetapi itu berada pada kalangan yang sebelumnya memiliki kemampuan beli di angka Rp200 juta dan Rp300 juta. Sementara rumah subsidi menurut saya sudah lain segmen, karena jika dengan cicilan Rp900 ribu atau Rp1 juta pun, rata-rata mereka masih sanggup. Ini saya perhatikan bukan hanya yang kami alami, tetapi rekan-rekan di Apersi pun demikian.
Dalam 3-4 tahun terakhir Kementerian PUPR terus melakukan berbagai upaya perbaikan untuk meningkatkan kualitas rumah. Sistem juga terus diperbaiki, memang menjadi lebih ribet, tetapi tidak menghambat. Dan semua langkah-langkah itu harus dijalani. Namun memang ada satu persoalan yang sudah terjadi sejak dahulu, bahwa kadang-kadang ekspektasi pemerintah terhadap kualitas rumah subsidi itu terlalu tinggi, sedangkan
harga perumahan subsidi berkisar antara Rp150-160 juta.
Usul saya, baiknya pemerintah juga bisa upayakan untuk punya bank tanah, dan tanah tersebut memang sudah diplot untuk rumah subsidi. Kondisi saat ini, pengembangnya disuruh berburu sendiri, tetapi harga jual justru dipatok. Setahun rata-rata tanah
naik 20%, sementara harga rumah naiknya paling 5%. Sehingga hal ini juga yang menyebabkan terus terjadinya backlog perumahan yang tinggi di Indonesia. Sebenarnya paling bagus adalah pemerintah patok harga tanah, kalau memang itu tidak bisa maka sebaiknya beli tanah dan jadi bank tanah.
Satu lagi, agar penjualan rumah subsidi bisa lebih baik, mungkin baiknya pemerintah juga memberikan stimulus ekonomi kepada sumber-sumber industrinya, agar tidak sampai jatuh karena dampaknya pasti menimbulkan ripple effect yang luar biasa. Market kami sangat tergantung daripada perputaran ekonomi di daerah tersebut. Ibaratnya begini, kalau rumah seharga Rp1 miliar di daerah Serpong, yang beli bisa dari orang Jakarta
atau bahkan kota lainnya. Namun, kalau perumahan subsidi tidak bisa. Saya bangun di Karawang, maka pembelinya adalah pasti orang yang berada di situ atau minimal yang bekerja di Karawang tersebut. Jadi kalau kita nempel ke Kawasan Industri maka industri di situ harus berjalan. Intinya ekonomi sekitar harus berjalan.
Saat ini, proyek yang sedang kami kembangkan di Karawang, yakni Kebun Kembang Asri. Perumahan ini berada di lahan 20 ha dari total 34 ha. Ada sebanyak 1.700 unit rumah yang kami bangun, 700 di tahap pertama dan 1.000 unit di tahap kedua. Namun tidak semuanya subsidi, 50% subsidi, 30% semi komersil, sisanya townhouse dan rukan/ruko. Proyek ini mulai kami kembangkan di akhir 2016. ● [Pius]