Kepastian tax amnesty saat ini tengah ditunggu untuk direalisasikan, meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan pasar properti, namun dampaknya akan luar biasa untuk perekonomian di Indonesia dengan perkiraan Rp 2.700 triliun dana parkir di luar negeri yang akan masuk ke Indonesia dan tentunya akan menaikkan penerimaan ke APBN. Paling tidak dengan amnesti ini roda perekonomian akan sangat kencang dan minat investor untuk mengembangkan properti menjadi sangat besar dan ini pun akan disambut oleh para investor yang selama ini masih melihat pajak sebagai momok biaya tinggi dalam pembelian properti.
Apalagi mulai tahun 2017 rencananya akan memasuki babak baru dalam sektor perbankan global dengan Automatic Exchange System of Information (Sistem Pertukaran Informasi Otomatis). Data perbankan nantinya tidak lagi menjadi sebuah kerahasiaan dan dapat diakses oleh otoritas negara manapun di dunia sehingga hanya masalah waktu para penunggak pajak akan terlacak.
Tax amnesty masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan pengusaha Indonesia. Banyak orang berpikir bahwa tax amnesty hanya memberikan keuntungan yang tidak seharusnya dinikmati oleh mereka yang hanya memarkir dananya di luar negeri. Sedangkan para pengusaha yang nyata-nyata berkontribusi di dalam negeri, diantaranya pengembang properti belum mendapatkan kepastian hukum apakah terakomodir atau tidak dalam perumusan undang-undang tax amnesty. Tax Amnesty harus memiliki payung hukum yang konsisten. Penegasan ini disampaikan Ajib Hamdani, Ketua HIPMI Tax Center dalam acara diskusi “Tax Amnesty, Sebuah Peluang?”.
Ajib menambahkan, konsep pengampunan itu tidak ada yang adil. Bagi pengusaha di dalam negeri yang belum melaporkan pajak dengan benar dikenakan tarif normal ditambah denda yang besar. Sementara bagi para pengemplang pajak yang memarkir hartanya di luar negeri hanya dikenakan tarif atau tebusan sebesar 2 sampai 3 persen.
“Sektor properti yang juga menjadi lokomotif perekonomian nasional juga harus mendapatkan keadilan dalam kebijakan tax amnesty, bila mereka telah jujur melaporkan seluruh asetnya kepada negara. Jadi harus ada payung hukum yang jelas dan konsisten, terutama untuk sektor properti yang menyangkut tax amnesty,” tukas Ajib.
Tax amnesty masih terkesan eksklusif atau hanya menyasar kelompok Wajib Pajak (WP) beraset besar yang banyak memarkir asetnya di luar negeri. Ajib Hamdani yang juga pakar perpajakan Indonesia ini mengatakan, kalau selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia tak bisa optimal karena likuiditasnya memang sangat rendah lantaran perputaran uang konglomerat asal Indonesia banyak yang masih tersimpan di luar negeri.
Disisi lain, Ketua BPP HIPMI Bidang SDA, Andhika Anindyaguna, mendukung tax amnesty asal bisa dimanfaatkan juga untuk masyarakat agar mau melaporkan asetnya. “Pajak yang terhimpun harus digunakan untuk pemenuhan likuiditas dan intermediasi lembaga keuangan lewat kredit serta mampu menekan bunga kredit bank,” tutur Andhika. Bunga kredit perbankan di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di dunia, sehingga saat dana masuk lewat tax amnesty, maka suku bunga tinggi harus mendapat perhatian perbankan. Jadi, tambah Andhika, bagaimana caranya agar dana yang masuk bisa menurunkan suku bunga bank.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR yang membidangi keuangan negara, Maruarar Sirait menyatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty tidak hanya untuk mengejar pemasukan uang negara. Dia mengharapkan amnesti ini harus memuat aspek keadilan. “Jadi dana yang diparkir di luar negeri bisa masuk ke dalam negeri dan digunakan untuk investasi, sehingga bisa menggerakkan iklim usaha dalam negeri,” katanya. Karena amnesti ini hanya akan diberlakukan sekali maka ketentuan yang termuat di dalamnya harus dibahas secara matang. Sebab, pengulangan pemberlakuan tax amnesty hanya akan membuat wajib pajak yang bandel akan mengulangi kesalahan.
Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemulangan dana Indonesia yang ada diluar negeri bisa melonggarkan utang negara atau menggantikan investasi asing. “Repatriasi bisa mendatangkan dana Rp 500 triliun. Ini akan menggairahkan pasar modal, pasar uang dan perbankan. Bahkan, bisa menggerakkan sektor riil (lapangan pekerjaan),” kata Yustinus.
Yustinus juga mengatakan, tax amnesty juga harus ditujukan bagi sektor informal yang selama ini belum memiliki NPWP dan menyampaikan SPT Tahunan. Dengan memiliki NPWP, maka para WP akan terhindar dari sanksi pajak dan denda tinggi, yakni 30 persen dan 48 persen. Para pelaku sektor informal yang kebanyakan pengusaha UMKM dapat mengakses kredit perbankan yang bunganya sudah turun lebih rendah lagi pasca terjadinya repatriasi modal.
Dalam konteks sekarang ini, lanjut Yustinus, tax amnesty merupakan masa transisi untuk menuju transparansi perpajakan. Pasalnya, tax amnesty akan diikuti sejumlah kebijakan reformasi perpajakan seperti amandemen UU KUP, revisi UU PPh dan PPN.
Ketua Umum Kadin DKI, Ir. Eddy Kuntadi mengatakan, mendukung kehadiran tax amnesty. “Kadin Provinsi DKI Jakarta mendukung penuh tax amnesty. Kita berharap amnesti ini dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk sekarang dan ke depan. Dengan demikian pembahasan di dalam diskusi ini dapat berguna bagi kita semua.”
Eddy juga menegaskan bahwa ketidakjujuran (kejahatan) atau ketidakpatuhan para Wajib Pajak (WP) dalam melakukan pembayaran pajak sangat disayangkan, apalagi faktanya banyak pengusaha yang menyimpan uangnya di luar negeri demi menghindari pajak di dalam negeri seperti dalam kasus dokumen Panama Papers.
Di tengah pro kontra yang ada, tax amnesty harus memberikan keadilan bagi masyarakat dan akhirnya diharapkan dapat menggerakan roda perekonomian Indonesia menjadi luar biasa. l