Isu mengenai Lahan Sawah Dilindungi (LSD) masih belum terselesaikan. Pasalnya banyak pengembang perumahan yang dirugikan dengan ketentuan ini. Alih-alih untuk ketersediaan lahan sawah, malah banyak plot LSD yang ternyata tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
baca juga, Dekoruma Resmikan Showroom Pertama di Luar Pulau Jawa
Berdasarkan penelusuran tim Indonesia Property Watch di lapangan, ditemukan beberapa plot LSD yang ternyata berada dalam sebuah master plan perumahan yang sudah diterbitkan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi terdapat plot Lahan Sawah Dilindungi yang berada menimpa unit-unit rumah yang sudah dibangun. Terus bagaimana sebenarnya penentuan LSD ini oleh pemerintah?
Penetapan Lahan Sawah Dilindungi diharapkan dapat mengendalikan maraknya alih fungsi lahan sawah untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri ATR/ Kepala BPN Nomor 1589/Sk-Hk 02.01/XII/2021 tentang Penetapan Lahan Sawah yang Dilindungi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Untuk itu, Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian ATR/BPN melakukan verifikasi dan klarifikasi lahan sawah
di kabupaten dan kota terkait. Hingga 1 April 2022, LSD telah selesai diverifikasi faktual pada 80 kabupaten/kota. Kemudian akan menyusul di 71 kabupaten/kota. Dirjen PPTR, Budi Situmorang menyampaikan, terdapat empat karakteristik lahan sawah yang dipertahankan sebagai LSD, yaitu terdapat irigasi premium di dalamnya, beririgasi teknis, produktivitas 4,5-6 ton/hektar/panen, dan memiliki indeks penanaman minimal 2.
Menurutnya, suatu lokasi dapat dikeluarkan dari plot LSD jika terdapat salah satu kriteria seperti, pada kawasan tersebut telah terdapat bangunan atau urugan tanah yang menutupi LSD sebelum tanggal 16 Desember 2021, Lahan Sawah Dilindungi memiliki luasan yang relatif sempit (kurang dari 5.000 meter persegi) terkurung bangunan; terdapat rencana Proyek Strategis Nasional terbaru di atas LSD, atau telah terbit Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Guna Usaha (HGU) non sawah atau Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP) di atas LSD sebelum 16 Desember
2021.
Namun pada kenyataannya banyak hal yang tidak sesederhana itu di lapangan. Sebagian pengembang membebaskan lahan setelah dikeluarkannya ketetapan Lahan Sawah Dilindungi, namun peruntukan lahan di Bappeda masih ‘kuning’ alias dapat dibangun perumahan. Dan sosialisasi ketetapan LSD pun dirasakan pengembang masih sangat minim. Apakah kemudian kesalahan dilimpahkan ke pengembang? Apakah pemerintah daerah mau bertanggung jawab atas ketidaksinkronan peruntukan tersebut?
Pada prinsipnya para pengembang sadar akan upaya pemerintah dalam ketahanan pangan nasional, namun di sisi lain jangan sampai ketetapan ini malah merugikan pengembang yang justru telah membebaskan lahan dan kurangnya informasi dari pemerintah setempat.
Verifikasi lahan di lapangan sebaiknya perlu dilakukan pemerintah sehingga tidak hanya berlandasan peta satelit.
Karenanya Indonesia Property Watch menghimbau pemerintah untuk segera melakukan verifikasi di lapangan yang lebih baik sebelum tergesa-gesa menetapkan LSD. Demikian juga dalam hal koordinasi antara pihak yang terkait perizinan harus berjalan baik sehingga tidak membuat dualisme di lapangan. Jangan sampai ketetapan Lahan Sawah Dilindungi ini merugikan para pelaku bisnis perumahan.•