Indra Widjaja Antono
Marketing Director Agung Podomoro Group
PILOT PESAWAT DAN ‘PILOT’ PROPERTI
Masih terekam dengan jelas suara kok jatuh di atas bilah bambu yang dijadikan garis lapangan bulutangkis yang terbuat dari tanah di kampungnya, kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Di sudut kampung yang berbatasan dengan pasar tradisional Kebayoran Lama, Indra kecil lahir dan dibesarkan. Di lapangan tanah tersebut Indra banyak menghabiskan waktunya bermain tepok bulu. Indra pun terdaftar pada sebuah klub bulutangkis di Jakarta Selatan dan beberapa nama pemain beken seperti Haryanto Arbi adalah teman seangkatannya.
Hingga suatu saat dirinya pun berkesempatan menjadi juara dalam sebuah turnamen bulutangkis tingkat anak-anak di lingkungannya. Saat malam semakin larut keriangan terpancar dari wajah Indra sambil menenteng raket dan piala menuju rumahnya untuk pulang. Namun keriangan berubah menjadi kesedihan. Pintu rumah terkunci, Indra pun tidur di rumah tetangga. Ini merupakan bentuk sikap tak setuju dari orang tua Indra akan kegemaran anaknya. Mimpinya menjadi atlet bulutangkis pun sirna, dirinya patah arang karena tak ada restu orang tua.
Berjalannya waktu, Indra menapaki masa remaja. Gagal menjadi atlet, Indra bermimpi menjadi pilot. Ia pun mencoba meretas mimpinya dengan mendaftar sekolah penerbangan di Curug, Tangerang, Banten. Dirinya tertarik melihat pilot bisa menerbangkan sebuah pesawat dari satu tempat ke tempat lain. Namun dirinya gagal sebelum belajar menjadi pilot lantaran ada aturan tak tertulis yang melarang ‘orang mata sipit’ menjadi pilot. “Saya melihat pekerjaan pilot itu luhur, ada aspek tanggung jawab besar, kepada Tuhan dan manusia untuk menerbangkan pesawat. Ini menurut saya hebat sekali. Melintasi lautan dan pulau bukan karena ingin gagah-gagahan,” jelas Indra mengingat mimpinya saat itu.
Pertemuannya dengan berbagai orang di pasar ternyata menjadi pengalaman tersendiri. Suatu saat ada tetangganya yang memiliki banyak kios menitipkan propertinya pada keluarga Indra untuk disewakan pada orang lain. Sang Ibu mengamanahkan kunci tersebut pada Indra dan saat itu ada penyewa datang menanyakan kios tersebut. “Saya menjelaskan profil kios sesuai dengan sepengetahuan yang ada untuk disewakan. Mulai dari pembayaran dengan cara bulanan atau tahunan dan tanpa sadar saya juga memasarkan kios yang lainnya yang kemudian tersewa hampir semuanya, lucunya tak ada komisi yang diterima karena pembayaran langsung kepada ibu saya,” jelas Indra tersenyum.
Pengalaman kecil tersebut teryata yang membuat Indra menjadi besar seperti sekarang ini. Dirinya saat itu menyimpulkan, bisnis properti seperti sewa-menyewa dan jual-beli tak kenal kata basi bahkan harganya terus naik dan riil. Perkenalan tak sengaja inilah yang membawa Indra menggeluti dunia marketing properti. Indra pun belajar tentang seluk-beluk pemasaran properti dengan mengikuti pelatihan di Era Indonesia. Tahun 1989, ia memulai pekerjaan di bidang marketing sebagai broker rumah seken. Dia menawarkan rumah seken dari pintu ke pintu dengan cara door to door di daerah Kebayoran Lama. “Saya tanya-tanya, siapa yang mau membeli atau menyewa rumah,” kata pria kelahiran tahun 1971 ini.
Dan untuk memperdalam ilmu marketing properti, sambil bekerja Indra kuliah Jurusan Program Real Estate, sekarang Planologi di Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat. Perjuangannya yang tak kenal waktu itu akhirnya mulai menunjukkan hasil. Dan ini sejalan dengan nasihat sang Ayah yang menyuruh Indra agar berdiri dengan kaki sendiri. “Sore kuliah, pagi sampai siang menjadi broker. Banyak pelajaran yang didapatkan dari keduanya dan saling mengisi antara kuliah dan pekerjaan. Ini sangat membantu dan memudahkan karena langsung praktek,” tutur dia.
Singkat cerita setelah berlabuh di beberapa perusahaan developer dan terakhir bergabung di Jakarta Baru Cosmopolitan dengan posisi terakhir sebagai assisten manager marketing. Pada 2001 Indra pun bergabung di APL menjadi general manager proyek Sunter Agung, Jakarta Utara. Dirinya pun dipercaya pemasaran produk baru dan program ISO manajemen. Karirnya melesat, pada 2003 menjadi deputy marketing director dan hanya berjarak beberapa bulan dirinya pun didaulat menjadi marketing director.
Lebih jauh Indra menjelaskan terkait karirnya yang menanjak, Indra melihat ini sebagai keputusan dan tanggung jawab yang berat. Dirinya merasa belum pantas, namun keputusan top manajemen lah yang mengangkat orang muda seperti Indra yang saat itu baru berusia 33 tahun.
“Saya pun berkata kepada Pak Trihatma (founder APG -red) agar membantu dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepada saya. Begitu pun kepada rekan-rekan kerja akan bekerja sama membesarkan APG. Hebatnya, jawaban Pak Trihatma sederhana, saya disuruh tekan gas sambil pegang stir dan mereka yang main kopling dan rem. Saat itu momentum juga pas, perusahaan sedang take off dan sedang bermetafora menuju perusahaan profesional dan sekarang menjadi Tbk,” papar Indra.
Salah satu tantangan Indra ketika itu adalah mewujudkan konsep Back to The City, konsep permukiman di tengah kota. Untuk itu, ia sempat menjajal naik kereta listrik atau pun bis untuk mendengarkan kebutuhan masyarakat urban terhadap hunian. Bahkan, dia juga meluangkan waktu untuk sekedar berdiri di Jembatan Tomang untuk menyaksikan aktivitas orang pulang kembali ke rumah usai bekerja. Dari hasil tanya sana-sini dan pengamatannya, Indra menarik kesimpulan, hunian di tengah kota sangat dibutuhkan. Dia pun mewujudkan konsep Back to The City dalam proyeknya dan sukses memasarkannya. Soalnya, “Orang pasti ingin tinggal di tengah-tengah kota,” tegasnya.
“SELAIN ITU SAYA INGIN TAHU KEMAUAN BAWAHAN DAN MEMBEBASKAN BAWAHAN MEMAINKAN RITMENYA SESUAI KEINGINAN DAN KEMAMPUANNYA ASALKAN SESUAI KAIDAH YANG ADA.”
Bahkan kadang dirinya menyelinap menjadi konsumen di proyeknya sendiri dan proyek developer lain. Dirinya berinteraksi dengan konsumen lain untuk sekedar menggali informasi dan kebutuhan mereka. kebiasaan ini dilakukan dengan mengajak anak-istrinya namun belakangan cara tersebut sudah tak rutin dilakukan karena wajahnya sudah familiar lantaran sering di ekspos media.
ini merasa jabatan bukan sebagai sebuah kebanggaan. Baginya posisi dan jabatan intinya harus tetap bekerja dan bekerja. Seperti pada setiap kesempatan dirinya selalu mengedepankan pada bawahannya, semua bisa menjadi leader. Karena pimpinan pun ada batasannya. “Selain itu saya ingin tahu kemauan bawahan dan membebaskan bawahan memainkan ritmenya sesuai keinginan dan kemampuannya asalkan sesuai kaidah yang ada,” tegas Indra berbagi tips dalam mensinergikan timnya.
Dan dengan kalimat merendah, Indra mengaku apa yang ada saat ini semuanya mengalir begitu saja, karena Tuhan selalu punya rencana. “Dan terpenting dalam menjalankan hidup, semua harus dilakukan dengan cinta. Mencintai apa yang kita miliki dan menekuninya dengan semaksimal mungkin, tentunya semua bisa dilakukan dengan cinta,” jelas Indra.
Jalan hidup juga yang merubah kandasnya impian sebagai atlet atau gagalnya obsesi menjadi pilot. Namun tanpa pesawat pun ternyata Indra dapat menjadi ‘pilot’ bagi perusahaan developer raksasa saat ini. Sebagian obsesi yang terobati .
Jakarta,4/5/2015
{jcomments on}