Selain karena kondisi ekonomi global dan regional, perlambatan pertumbuhan properti juga disebabkan oleh beberapa faktor lain. Diantaranya adalah realisasi penyaluran kredit oleh perbankan yang tidak mencapai target. Hal ini tentunya berdampak pada penyerapan pasar properti yang belum maksimal.
Direktur GMT Property, Sunardjaja Tjitjih, mensinyalir penurunan daya beli dan permintaan terhadap properti juga diakibatkan oleh ketatnya peraturan dalam proses pemberian kredit oleh perbankan. Padahal, lanjutnya, properti adalah salah satu sektor yang memiliki kemampuan untuk menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi.
“Setidaknya ada sebanyak 135 industri turunan dari sektor properti tersebut. Dan industri-industri tersebut juga berpengaruh langsung dalam ekonomi masyarakat luas,” ujar Sunardjaja dalam sambutan seminar bertajuk “Strategi Penanganan Pembiayaan Sektor Properti di Tengah Melemahnya Daya Beli: Kiat Bagi Pelaku Usaha” yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta, Kamis, (20/7/2017).
Seminar ini merupakan kerjasama antara GMT Institute dengan Marx & Co dan didukung oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Beberapa narasumber dihadirkan dalam seminar tersebut, antaralain Ketua Umum Kadin Indonesia, Direktur Bank Jatim, Perwakilan REI, dan Managing Partner dari Marx & Co.
Marx Andryan dari Marx & Co memandang bahwa gejolak ekonomi saat ini juga telah berdampak pada naiknya biaya kebutuhan hidup, sehingga masyarakat lebih memilih untuk menunggu atau bahkan berinvestasi pada produk investasi lainnya.
“Wait and see, banyak yang masih menunggu waktu dan momentum yang tepat untuk kembali berinvestasi di bidang properti. Dampaknya, tentunya para developer mengalami kesulitan untuk menjual produk properti mereka, sehingga mengakibatkan gagal bayar atau non performing loan,” sambung Marx dalam kesempatan yang sama.
Terkait hal ini, Direktur Operasional GMT Institute, Frumentius melanjutkan. Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya para pelaku bisnis, kadang timbul persoalan dimana saat debitur memiliki kemampuan bayar yang rendah dan tidak berpengalaman dalam mengelola plafon fasilitas kredit. Kemudian juga debitur yang kesulitan melakukan pembayaran cicilan dan bunga yang terus bertambah, akibat perubahan kondisi ekonomi global dan nasional yang tidak menentu.
“Di pihak lain, para pengembang juga mengalami kondisi yang sama untuk melakukan pembayaran kredit dan bunga kepada pihak pemberi yaitu bank maupun lembaga keuangan lainnya,” kata Frumentius.
Dorongan Pemerintah
Kuartal I 2017, pertumbuhan kredit di sektor properti mengalami kenaikan 15,2%. Hal ini sejalan dengan data Bank Indonesia (BI) yang menyebutkan kredit perbankan yang juga mengalami pertumbuhan 9,1%. Berdasarkan data uang beredar BI, penyaluran kredit properti per Maret 2017 tercatat Rp 719 triliun atau tumbuh 15,2% lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya yang tumbuh 15%. Peningkatan ini bersumber dari penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang menjadi 8,4% dibandingkan Februari 7,4%.
Guna menggenjot industri properti, selama tahun 2016 dan 2017, sebenarnya pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat mendorong bangkitnya industri properti. Contohnya, pada bulan September tahun 2016, Suku Bunga Acuan Bank Indonesia turun menjadi lima persen (7), diharapkan dengan penurunan ini akan mendorong permintaan akan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Tidak hanya itu, Bank Indonesia, pada Agustus 2016 juga melakukan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang tadinya 20 persen menjadi 15 persen untuk rumah pertama.
Bank Indonesia juga telah menurunkan LTV untuk rumah kedua dan rumah ketiga dengan rasio DP masing-masing 20 dan 25 persen. Sebelumnya rasio DP untuk KPR rumah kedua dan ketiga sebesar 30 dan 40 persen. Pada tahun 2016, pemerintah juga meluncurkan program tax amnesty, program ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap sektor properti. Melalui dana repatriasi dari program tax amnesty, diharapkan aliran dana tersebut bisa diinvestasikan ke sektor properti, sesuai dengan Peraturan Menteri Keungan (PMK) Nomor 122/PMK.08/2016) (8). Diperkirakan dana reptriasi yang akan masuk ke sektor properti akan mencapai Rp70 triliun. [Pius Klobor]